24. Cahaya Para Bintang

893 224 18
                                    


Aku baru melihat undangan yang dikirimkan komite juri Starlight Awards sehari sebelum acaranya dimulai.

Rupanya undangan-undangan itu dikirimkan ke agensi. Sambil menunggu waktu fitting di butik Tex Saveria, Tante Irma menyerahkan undangan itu padaku. Dari desain sampulnya saja, sudah kelihatan undangan itu jenis yang serius dan niat. Ukurannya sebesar kertas A4, tetapi tebal seperti art paper. Wangi pula. Di bagian depannya ada logo Starlight Awards yang di-emboss dengan tinta emas, angka tahun sekarang ini, dan sebaris moto: "Let the star in you shines."

Membaca moto itu saja bikin aku merasa seperti kontestan Miss Universe.

Isinya ditulis dalam bahasa Inggris, intinya aku diundang ke malam anugrah Starlight Awards untuk serial TV (untuk film sedang berlangsung malam ini). Tertulis juga namaku sebagai nominator, kategori nominasi, serta keterangan rundown acara. Di bagian bawah tertulis tema kostum untuk acara malam itu: Stars of The Galaxy.

"Ini pakai dress-code segala, Tan?"

"Mm-hmm. Konsep acaranya mirip gabungan Oscar sama Met Gala." Tante Irma mengedik ke televisi di ruang tunggu. "Coba kamu lihat..."

In-Shoot sedang meliput Starlight untuk Film. Para aktor dan aktris berjejer di red carpet, dihujani ratusan cahaya blitz sambil memperagakan busana-busana gagah dan anggun yang mereka pakai. Aku melihat Toni Ekanila di ujung barisan, kemunculannya seakan menyedot semua atensi di tempat itu. Dia diantar seorang laki-laki tegap, dan sedang melambai anggun ke para wartawan. Aktris senior itu memakai gaun body-press dari bahan sifon dan sutra warna cosmic blue yang memberi kesan semi-transparan, dengan taburan glitter perak yang mengingatkanku pada aurora di kutub. Anting-anting berlian di telinganya berbentuk planet bercincin. Dia persis seperti seorang "star of the galaxy".

Tante Irma tersenyum samar. "Sekarang kamu ngerti kan kenapa nggak bisa datang ke Starlight pakai busana yang dijahit sendiri?"

Aku bergumam mengiyakan. Ini bukan sekedar red carpet biasa. Aku yakin para selebritis saling tanding untuk dapat predikat "best dress". Pasti perlu puluhan jam untuk menjahit busana-busana menakjubkan ini.

"Tante?" Seorang gadis muda mendatangi kami. Dia memakai name-tag bertuliskan Lula. "Yuk. Udah siap."

Kami mengikutinya ke atas.

Lantai dua butik Tex Saveria dipenuhi puluhan gaun dan busana-busana yang bikin gadis manapun gemas ingin mencoba semuanya. Namun pusat perhatian hari itu menempel di sebuah manekin hitam di tengah-tengah ruangan.

Lula merentangkan tangannya dengan bangga ke si manekin. "Ini dia!"

Manekin itu sedang memakai sebuah mini-dress tanpa lengan warna perak yang betul-betul mini, kira-kira panjangnya hanya sampai sejengkal di atas lutut. Mini-dress itu berhiaskan motif sulur seperti lintasan komet. Ada satu mantel sutra yang disampirkan di bahu si manekin, berhias ratusan kristal berkilau, warnanya biru gelap dan panjang sekali sampai terseret di lantai.

Hal pertama yang terlintas di pikiranku adalah: dress ini terlalu pendek.

"Gimana?" tanya Tante Irma. "Bagus, kan?"

"Apa ini nggak terlalu seksi, Tan?"

"Tapi bagus, kan? Kamu suka?"

"Dicoba dulu, Kak," ajak Lula dalam nada yang mengingatkanku pada mbak-mbak penjaga konter di Mangga Dua. "Nanti bisa dibetulin, kok."

MANIS LELAH JADI TOKOH ANTAGONIS [TAMAT]Where stories live. Discover now