2. Wajah Pembawa Musibah

1.9K 424 72
                                    


Untuk memahami gimana ceritanya aku bisa disiram kopi oleh seorang wanita asing di ruang tunggu bandara, kita harus kembali ke satu tahun lalu, ketika aku bikin murid-murid TK Internasional Little Stars histeris dan ketakutan setengah mati cuma dengan berdiri selama dua menit di depan mereka.

Karena tangisan anak-anak semakin menggila, aku diseret keluar kelas oleh Nadia. Setelah menunggu selama lima belas menit, akhirnya aku diantar Nadia ke sebuah ruangan terpisah. Nadia masuk lebih dulu ke ruangan itu. Aku menunggu lagi sekitar dua puluh menit. Dari dalam aku bisa mendengar terjadi semacam diskusi heboh, kata-kata seperti "muka setan" dan "bikin histeris" terucap. Lalu Nadia keluar dan menyilakanku masuk. Dia hanya melempar senyuman prihatin padaku dan cepat-cepat kabur ke kelasnya.

Aku masuk ke dalam. Penghuni ruangan itu menyilakanku untuk duduk di kursi kosong di hadapan meja kerjanya.

Wanita paruh baya yang duduk di depanku menyipitkan matanya yang digaris dengan eyeliner tebal. Bibirnya mengerucut tak puas. Papan nama di mejanya bertuliskan: "Principal".

Dia berdeham. "Miss Nadia sampai harus membawa empat anak ke Infirmary," katanya. Infirmary yang dia maksud adalah UKS, tapi karena ini sekolah internasional, semua harus serba in English. "Nurse Yuni bilang mereka trauma."

"Maaf, Miss Yasmin. Saya nggak bermaksud—"

Yasmin si kepala sekolah mengangkat tangannya. Dia menarik napas dalam-dalam dan tersenyum singkat, kentara sekali dipaksakan. "Padahal kamu adalah salah satu lulusan terbaik dari kampus kamu, Manis."

Aku menelan ludah. "Pas kuliah, saya berusaha sekuat tenaga, Miss."

Yasmin menatapku dari atas ke bawah dan meringis. "Pastilah begitu," katanya sinis. Dia berbalik ke arah komputernya dan menggulir sebuah dokumen di layar. Itu adalah CV-ku.

"Kamu bilang sebelum melamar ke Little Stars, kamu pernah ditolak TK Cendikia?"

"Betul, Miss."

"Dan lima TK lain sebelumnya?"

Uh-oh. "Benar."

"Dan kamu bilang, kepala sekolah kelima TK itu nggak kasih tahu alasan mereka menolak kamu sebagai tenaga pengajar di sekolah mereka?"

Well, sebetulnya aku udah tahu, sih. Tapi... "Ya, mereka nggak bilang."

"Begitu." Yasmin berbalik menghadapku. Dia mengatupkan kedua tangannya di depan dada. "Setelah Nadia melapor, saya berinisiatif menelepon kepala sekolah TK Cendikia. Saya penasaran kenapa fresh graduate secemerlang kamu bisa gagal diterima di enam TK berturut-turut. Saya yakin kamu punya kompetensi mengajar yang mumpuni. Nilai-nilai kamu bagus semua. Alasan kamu ditolak cuma satu. Maaf sebelumnya. Bukannya saya kurang sopan, tapi saya harus mengatakan ini..."

Aku diam saja. Aku sudah tahu bagaimana ini akan berakhir.

"Muka kamu, Manis. Muka kamu bikin anak-anak ketakutan."



...



Kalau ada satu hal yang ingin kukomplain habis-habisan dari diriku adalah betapa nggak matched-nya nama dan tampangku. Meskipun bernama 'Manis', tapi tampangku itu nggak ada manis-manisnya sedikit pun. Entah apa yang merasuki Mama sampai memberiku nama itu sewaktu aku lahir.

Aku punya resting bitch face.

Alias tampang jutek permanen.

Gara-gara inilah aku gagal jadi guru TK di enam sekolah berturut-turut. Bukan cuma ke anak-anak, tampangku ini selalu sukses bikin orang-orang yang baru pertama kali bertemu denganku merasa nggak nyaman. Kata mereka, saat pertama kali melihatku, raut wajahku seakan menyiratkan aku lagi ngamuk. Aku sudah ratusan kali memeriksa wajahku sendiri di cermin. Tampangku nggak jelek, kok. Alis, mata, hidung, dan mulutku sempurna, tapi ada sesuatu dalam setting-an nya yang bikin aku kelihatan jutek dan galak sepanjang waktu. Bahkan pas aku lagi senyum, orang-orang malah mengira aku lagi menyeringai pada mereka, seperti psikopat pembunuh yang haus darah!

MANIS LELAH JADI TOKOH ANTAGONIS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang