1. Kopi

2.1K 436 28
                                    


Aku mengecek sekitarku untuk mencari sumber dengungan yang dari tadi mengikutiku itu. Jangan-jangan aku dibuntuti sekelompok tawon?

Wajah-wajah berpaling ketika tatapan mereka berserobok denganku, digantikan lirikan sembunyi-sembunyi dan bisik-bisik ingin tahu. Oh, jadi aku beneran diomongin orang-orang, nih? Makanya mereka malu saat terciduk lagi memelototiku.

Sambil menarik koper, aku meneruskan perjalanan menuju ruang tunggu. Untungnya sebelum sampai ke sini, aku sudah check-in online. Bawaanku juga hanya satu bagasi kabin yang ringan, sehingga nggak perlu lagi mengantre di konter check-in. Toh ini hanya perjalanan singkat.

Di ruang tunggu, bisik-bisik mengganggu itu masih mengikuti. Kepala-kepala tertoleh begitu aku datang. Hmm, padahal dulu nggak seperti ini!

Meski sekarang baru sekitar jam sepuluh pagi, tetapi ruang tunggu itu sudah ramai. Aku mencari tempat kosong di deretan bangku-bangku yang ada. Ada satu bangku kosong yang terletak di depan pendingin ruangan. Karena posisinya yang pas di depan aliran udara dingin, bangku itu satu-satunya yang belum diduduki.

Apa boleh buat, sepertinya aku nggak punya pilihan.

Untung aku pakai jaket!

Aku duduk di situ. Kusandarkan koperku di dekat kakiku. Mari kita menunggu! 

Sesuatu yang mencolok mencuri perhatianku. Begitu tatapanku jatuh pada benda itu, barulah aku sadar apa yang membuat orang-orang ini mengamatiku.

Persis seberang bangku-bangku, berdiri satu banner digital berukuran kira-kira satu kali dua meter. Di banner raksasa itu, wajahku terpampang besar-besar, bersama wajah kedua rekan kerjaku dan nama-nama kami: Valen Hadikusuma, Ursula van Oostman, Manis Maramis. Di bawah ketiga wajah kami, ada sebaris teks: "Lovebirds: Now on Netflix."

Pasti gara-gara ini!

Belum habis kekagetanku karena kehadiran banner digital yang begitu menarik perhatian itu, wajahku kembali muncul di televisi plasma yang tergantung di dinding. Sebuah video teaser sedang diputar. Adegan-adegan yang kumainkan bersama Valen–love interest-ku dalam Lovebirds–bermunculan. Kemudian teaser itu ditutup dengan adegan pertemuanku dengan Ursula, yang muncul di episode dua belas dan pasti sengaja ditaruh di teaser itu sebagai cliffhanger.

"Hanya satu dari kita berdua yang berhak mendapatkannya," kata Tari–tokoh yang diperankan Ursula–dengan mata sembab dan wajah penuh tekad.

"Dan kita tahu siapa orangnya," balas Carissa–karakterku, sambil tersenyum culas.

Akhirnya video itu ditutup dengan sebaris tulisan yang sama persis dengan di banner: "Lovebirds: Now on Netflix. Season 2  coming soon."

Ya ampun!

"HEI KAMU!"

Ada yang berteriak. Dari sudut ruang tunggu, kulihat seorang wanita berdiri dan berkacak pinggang. Usianya sekitar empat puluhan. Dia memakai blus dengan motif bunga-bunga, dan celana pensil yang kelihatan mahal. Rambutnya mengembang pertanda penggunaan hairspray skala besar, dan dia memakai kacamata hitam model mata kucing. Tangan kirinya menggandeng tas tangan, dan di tangan kanannya ada satu gelas mika Starbucks.

Kenapa dia berteriak?

Wanita itu menghadapku. Sebentar, dia berteriak padaku? Kucoba mengingat-ingat wajahnya. Siapa tahu dia kenalan Tante Irma atau orang-orang produksi (karena gaya berpakaiannya cukup kece). Tapi... enggak. Aku nggak kenal siapa dia.

Si Tante Kece mendatangiku dalam langkah-langkah panjang. Sepatunya menimbulkan bunyi kletak-kletok yang mengintimidasi di lantai keramik. Ruang tunggu itu menjadi sangat hening. Yang terdengar hanyalah suara video teaser Lovebirds dari televisi plasma.

Tante Kece menudingku dengan telunjuknya yang dipoles kuteks ungu. "Kamu Carissa, kan?"

Eh, mau ngapain wanita ini?

"Ngaku! Ngapain kamu bengong begitu? Kamu memang Carissa, kan?"

"Umm... ada apa, ya?"

Si Tante Kece mendengus. Tiba-tiba dengan gerakan selincah ninja, gelas kopi di tangannya terbang, dan sesuatu yang pekat dan dingin mencipratiku. Saking mendadaknya, otakku sampai belum bisa memproses apa yang terjadi.

"PELAKOR!" Si Tante Kece memekik berang. "Perusak rumah tangga orang! Cewek murahan! Jahat banget ngambil Ben dari Tari! Kamu itu brengsek, tahu?"

Es batu dan kopi dingin yang menetes-netes di wajahku, mengalir ke blus hingga merembes celanaku. Barulah aku tersadar. 

Aku baru saja disiram kopi oleh wanita asing ini!

Orang-orang di ruang tunggu menonton kami. Si Tante Kece melemparkan gelas kopinya yang sudah kosong ke wajahku, dan merangsek maju sambil menjerit-jerit ganas, ingin menempelengku. Aku refleks mengangkat tangan untuk melindungi kepala.

"Kamu-nggak-tahu..." Satu pukulan berhasil mendarat di bahuku. Sialan, sakit tahu! Aku beringsut menjauh untuk menyelamatkan diri, tetapi wanita gila ini menarik blusku dengan gemas. "Gimana-rasanya-jadi-istri-yang-diselingkuhin-dasar-perempuan-brengsek..."

"MAMA!" Ada lagi yang beteriak. Seorang laki-laki menghambur dan menarik Tante Kece mundur. "Mama! Apa-apaan, sih?"

"NGGAK BISA! PELAKOR KAYAK GINI HARUS DIBIKIN KAPOK!"

"Mbak Manis..." Laki-laki itu berdiri di depan si Tante Kece, menjadikan tubuhnya sendiri sebagai tameng. Wajahnya merah padam. "Maaf, ya. Istri saya sebal banget sama Carissa, dia sampai lupa kalau Mbak Manis itu cuma aktris yang memerankan Car—"

"OH, JADI PAPA NGEBELAIN DIA?" raung si istri sambil terus menggapai-gapai melewati tubuh suaminya, dari tampangnya kelihatan sekali dia ingin mencekikku. "PAPA LEBIH MEMILIH PELAKOR? PAPA MASIH KANGEN SAMA SI FITRI ITU, IYA? PAPA MASIH KEPINGIN KETEMU LONTE ITU, IYA?"

Seorang sekuriti menghampiri kami. "Ada apa ini?"

"Maaf, Pak Sekuriti... Mbak Manis..." Sang suami membungkuk dalam-dalam. Dia merenggut tangan istrinya yang masih menggila, lalu menarik wanita itu keluar ruangan. Sang istri melawan dengan gigih. Dia meneriakiku pelakor lagi–suaranya menggema di ruang tunggu–dan kali ini disertai hujan caci maki yang pasti akan disensor seandainya ini acara televisi. Sebelum melewati pintu, sang suami mengerling sekali lagi padaku dan nyengir serba salah.

"Mbak Manis?" Si sekuriti menegurku. "Mbak nggak apa-apa?"

"Saya..." Oh, is this real? Berasa kayak sinetron! "Saya... nggak apa-apa."

"Baju Mbak Manis basah kuyup begini."

"Saya..." Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Orang-orang mulai berkerumun, tatapan ingin tahu mereka yang begitu kentara terasa seperti hujan meteor. Di antara kerumunan itu, kulihat ponsel-ponsel terangkat, lensa-lensa kameranya membidikku.

"Pe-permisi."

Kusambar tasku dan bergegas kabur menuju toilet sambil menundukkan kepala. Malu-maluin banget. What the heck was that?

MANIS LELAH JADI TOKOH ANTAGONIS [TAMAT]Where stories live. Discover now