11. Curcol Ke Senior

1K 258 4
                                    


Kopi.

Ingatan akan peristiwa nggak menyenangkan di bandara diputar kembali dalam kepalaku. Wanita asing yang marah-marah dan meneriakiku pelakor. Suaminya yang mencoba membelaku. Tatapan mencela orang-orang yang hanya diam menonton. Pakaianku yang basah dan ternoda. Rasa malu yang bertengger di wajahku, menyengat seperti racun...

"Nis?" Satu wajah cantik muncul di depanku. "Kok bengong?"

Setiap kali aku melihat Ursula van Oostman, sulit membayangkan bahwa kami masih satu spesies. Rasanya nggak ada manusia yang bisa cantik dua puluh empat jam seperti Ursula. Meski umurnya sudah pertengahan tiga puluhan, tetapi aktris blasteran Indonesia-Belanda ini masih kelihatan sepuluh tahun lebih muda.

Kuangkat cangkir kopi itu dan kuhirup isinya sedikit. "Nggak apa-apa, Kak..."

Hari ini Kak Ussy memakai dress terusan warna hijau lemon dari bahan satin yang ringan. Setiap kali dia bergerak, bagian bawah dress-nya ikut melambai, membuat Kak Ussy kelihatan seperti peri.

Kak Ussy duduk di kursi berlengan di hadapanku. Aku sedang bertamu ke rumahnya. Rumah Kak Ussy lebih cocok disebut kastil mini: dua tingkat dengan delapan kamar, dilengkapi sebuah kolam renang, lapangan tenis pribadi, danau kecil, dan halaman depan yang bisa menampung dua puluh mobil.

Seniorku itu sedang mengamatiku, sepertinya menungguku untuk lebih dulu buka suara. Toh memang aku yang kepingin datang kemari. Hal yang ingin kubicarakan nggak bisa kubagi dengan Mama karena aku khawatir pikiran ibuku jadi terbebani. Saat ini Bulma juga belum bisa diajak berdiskusi yang berat-berat, mengingat kondisi psikisnya. Aku bisa curhat ke Dian, tetapi sahabatku itu belum tahu apa-apa soal pekerjaanku. Aku harus cerita ke orang yang mengerti profesi ini dan dunianya. Kak Ussy adalah pilihan yang tepat. Lagipula aku sudah menganggapnya sebagai kakak.

"Kak Arsen ke mana?" tanyaku berbasa-basi.

Kak Ussy menggerak-gerakan tangannya. "Hari ini di laut."

Suami Kak Ussy, Arsenio, adalah seorang petinggi di perusahaan minyak Prancis. Penghasilan Kak Arsen ditambah honor Kak Ussy sebagai aktris membuat pasangan ini nggak perlu memikirkan uang untuk kira-kira seratus tahun ke depan.

"Aku tahu kamu merasa dijebak, Nis..." Kak Ussy bangkit dari kursinya dan pindah ke sofaku. Dia sudah tahu secara garis besar apa yang terjadi. "Tapi hal kayak gini sering banget terjadi di dunia hiburan."

"Aku cuma nggak menyangka Tante Irma bisa 'kalah' dari para produser itu, Kak," balasku. "Selama ini Tante Irma selalu bisa... diandalkan."

"Tante Irma memang bisa diandalkan, kok," kata Kak Ussy adil. "Cuma kamu harus ingat, si Tante bukan pemegang kekuasaan tertinggi. Dalam produksi film atau serial, para eksekutif produser-lah yang berkuasa mutlak."

"Karena mereka yang punya uang."

"Betul."

"Bukannya aku protes atau apa, Kak..." Aku nggak mau kedengaran bak bitch tukang komplain di depan Kak Ussy. Cukup wajahku saja yang kelihatan bitchy. "Tapi aku risih kalau harus beradegan ranjang kayak minggu lalu itu."

"Aku ngerti, kok..." Kak Ussy bersedekap. "Terus setelah kamu protes, Tante Irma bilang apa?"

"Si Tante bilang dia udah mencoba menjelaskan keberatan aku," jawabku. "Tapi para produser itu memberi jawaban yang sama dengan Anwar: dramatic purposes. Season dua ini harus lebih seru dari season sebelumnya."

MANIS LELAH JADI TOKOH ANTAGONIS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang