Ugh, sungguh aku harus cepat mengurus visa ku, dan untungnya, sang ayah dari klien ku bersikeras untuk membantu dengan visa ku, secara legal tentunya. Awalnya ku tolak, tapi kau tahu orang tua, mereka selalu bersikeras untuk yang muda menerima bantuan mereka, jadi untuk menyenangkan hati dan mengurangi biaya uang yang ku keluarkan, aku menerima tawarannya.

Setelah menyelesaikan obrolan klien-pengacara, kami saling bersalaman dan pergi ke arah tujuan msing-masing, para Rockham keluar, aku menuju kantor Mr. Henson. Ia mengatakan ada yang harus dibicarakan dengan ku. Tetapi saat aku sampai di kantornya yang ku temukan hanya ruangan kosong dan asisten personalnya mengatakan ia keluar makan siang. Luar biasa, sungguh tidak profesional, kalau kau bertanya pada ku.

Aku meminta sang asisten untuk menghubungi sang bos dan memberi tahu kalau aku sudah datang. Hasilnya, sang bos akan kembali dalam waktu 35 menit. Sekarang apa yang harus kulakukan selama 35 menit? Kalau makan terlalu singkat, mengajak bicara personel lain mereka tidak ada ditempat. Ah sungguh menyebalkan jadi orang seperti ku.

Setelah bos kembali, hal selanjutnya yang ku tahu adalah aku tidak lagi pengangguran, firma merekrut ku, dengan gaji yang cukup keren per tahunnya. Oh, orang tua ku akan sangat bangga telah membesarkan seorang anak yang bisa berakhir seperti ini. Orang tua ku akan sangat bangga melihat anak pertamanya mendapatkan pekerjaan tetap pertamanya dengan gaji yang bisa dibilang cukup tinggi kalau dirupiahkan. Ahh! Aku tidak sabar memberitahukan orang tua ku tentang berita ini.

Sepulangnya aku dari kantor—melupakan kalau menelpon international itu mahal dan juga perbedaan waktu—aku langsung menghubungi telepon apartemen orang tua ku. Dan saat ada yang mengangkat, hal yang ku lupakan sebelumnya langsung kembali mengalir kedalam kepala ku.

"Halo?" suara serak ayah ku terdengar

"Ayah! maaf menelpon rumah semalam ini, eh, pagi. Tapi aku punya berita!" ucap ku senang

"Siapa ini?" tanyanya tidak menyambung

"Duh, siapa lagi yang memanggilmu ayah? Ini Shakira! Anak tertua ayah, ingat?"

"Bisa ditunggu sampai besok?" ucapnya lagi

"Ahh.. tidak bisa!" pekik ku tak sabaran

"Kami tunggu telepon mu," dan klik, sambungan terputus.

Oh, ayah ku memutuskan sambungannya! Sungguh sangat menyebalkan. Bagaimana kalau ini sebuah hal yang darurat dan ia memutuskan sambungannya begitu saja tanpa mendengarkan ku?!

**

Apartemen Mia terletak tidak begitu jauh dari kantor baru ku, sejak letaknya sama-sama di tengah kota, jadi aku sama sekali tidak masalah untuk berangkat dan pulang dengan kaki, setidaknya sampai aku bisa membeli mobil.

Gaji ku memang banyak kalau dirupiahkan, tapi kalau tetap saja menjadi dollar, tidak begitu banyak, hanya cukup untuk keseharian dan tidak lebih, apalagi kalau aku akan membayar setengah sewa apartemen Mia. Sepertinya sudah susah untuk mencari apartemen layak di saat ini, karena itu aku merasa sudah beruntung sekali memiliki teman seperti Mia.

Dalam perjalanan kembali ke apartemen, aku mampir ke sebuah kedai makan untuk mengisi perut ku yang sudah memanggil untuk diisikan. Aku belum makan makanan padat dari tadi malam, satu-satunya yang ada dalam perut ku saat ini hanya segelas teh dan bagel yang ku beli dalam perjalanan ke kantor tadi pagi, pantas saja sekarang perut ku sudah mulai bernyanyi dengan suara memalukan.

Saat itu kedai makan sedang menyajikan tayangan gosip orang terkenal, sepertinya semacam E! News, aku bukan jenis yang suka menonton hal seperti itu, tapi mengapa tidak mencoba sekali-kali? Aku tinggal dengan salah satunya, siapa yang tahu kalau ternyata Mia akan muncul disini dan akan kecewa saat ternyata aku tidak menyaksikannya atau apa.

Membicarakan Mia, sepertinya aku belum cerita detail tentangnya. Dia itu teman sekamar ku saat kuliah, ayahnya cukup dikenal sebagai producer dan sutradara film, sementara ibunya semacam penyanyi opera di tahun 80an yang sekarang menjadi seorang artis layar lebar semacam Julie Andrews—ya, tidak semua artis terkenal tinggal di Los Angeles, ada juga yang menetap di kota lain—saat kuliah, Mia mengambil literatur inggris, yang menurutku semacam tidak berguna saat ia telah lulus kecuali ia ingin menjadi guru literatur.

Setelah perut ku puas terisi, aku langsung melanjutkan perjalanan pulang ku sebelum gelap datang. Saat aku sampai di apartemen, seluruh ruangan gelap, yang berarti Mia belum kembali dari manapun ia pergi. Apa coba yang bisa dilakukan seseorang yang tidak punya pekerjaan selarut ini? Tapi siapa perduli? Dia sudah dewasa dan aku bukan orang tua atau pengasuhnya yang harus selalu tahu di mana dia, jadi lupakan saja aku bertanya.

1 jam lewat tengah malam, suara ramai-ramai terdengar dari luar kamar ku, saat itu aku masih mempelajari kasus Galilee, jadi aku belum tidur. Sedikit ku buka pintu kamar ku, yang ku lihat hanya kegelapan, tapi aku bisa melihat siluet 2 orang di luar yang sedang saling berhimpit. Oh, Mia membawa laki-laki pulang, dan sekarang mereka sedang melakukannya.

Jujur, aku tidak menghakimi. Kehidupan sosial dan seksual Mia selalu luwes. Sejak pertama kali kita bertemu saat kuliah dulu, dia sudah terang-terangan menunjukan hal ini. Jadi pada saat ini, melihatnya membawa pria ke apartemennya aku tidak lagi membuat ku terkejut. Itu hidupnya, siapa aku untuk membatasi atau menghakiminya?

Anyways, beberapa kali aku dengar seseorang menggumamkan 'shh' setiap kali mereka menimbulkan suara, yang kemudian diikuti dengan kikikan. Sudah pasti sekarang, mimpi ku untuk selesai mempelajari kasus malam ini telah kandas, mungkin sudah saatnya untuk tidur, lagipula, saat ini sudah lewat tengah malam.

Love Me Not.Where stories live. Discover now