06

0 0 0
                                    

06

Kenapa ketika aku sudah melupakan, dia justru datang dengan segenggam harapan?

-Kyla-

���

Aku tidak menyangka jika Gilang mengajakku ke acara reuni sma-nya. Aku benar-benar kesal karena baru mengetahuinya. Kata ibu, bukankah Gilang akan membawaku ke acara pernikahan temannya? Fix, aku merasa dibohongi sekarang. Kulihat raut wajah Gilang yang senyum-senyum sendiri setelah kami baru saja tiba di sini.

Aku heran, kenapa pria setampan Gilang membawaku yang justru bukan siapa-siapanya? Kenapa dia tidak mengajak pacarnya saja? Jangan berpikir Gilang tidak memiliki pacar! Tapi masak iya sih? Aduh, kenapa jadi aku yang penasaran?

"Ki!" suara Gilang menyentakku dari lamunan. Aku menoleh ke arahnya, aku sudah sedikit berbaik hati padanya setelah kejadian perut keroncongan.

"Kamu di sini aja gimana?" bisiknya pelan.

"Kamu tinggalin aku di sini sendirian, sementara aku nggak punya kenalan di sini? Kamu bener-bener pinter ya!" sindirku padanya. Enak saja dia, aku sudah terpaksa ikut bersamanya tapi ujungnya dia justru tega meninggalkanku. Dasar! Dia menggaruk tengkuknya yang kuyakin tidak gatal.

"Oke, kalau begitu mainkan sandiwaramu sebagai tunanganku."

Wait! Dia bilang apa? Tunangan? Ya kali. Nggak ada perjanjian kayak gini ya! Aku tegasin nggak ada dan gak bakalan pernah ada.

"Nggak! Enak aja kamu!" seruku maksimal dengan suara yang naik beberapa oktaf. Dia tuh suka tiba-tiba emang. Gilang menutup mulutku. Apa-apaan sih! Aku menepisnya dengan satu kali tangkisan.

"Suaranya dikondisikan." ucapnya.

"Kamu yang apa-apaan! Mendingan aku pergi dari sini!" ujarku lantas melangkah pergi.

"Hei, hei! Tunggu." Gilang menarik pergelangan tanganku.

"Oke sorry sebelumnya gue nggak ngomong dulu, tapi please kali ini aja. Tolongin gue! Setelahnya gue bakal cerita apa alasannya." ungkap Gilang dengan tatapan memohon.

Aku mengalihkan pandangan. Susah banget ngomong kalau dia memohon seperti itu. "Nggak lah! Jangan gila deh, Lang!"

"Kalau gitu-" ucapnya terhenti karena tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahuku.

Aku menoleh.

Deg.

Seketika aku merasa udara yang kuhirup terenggut dan meninggalkan rasa sesak hingga ke ulu hati.

���������

Sungguh rasanya tidak menyangka aku bertemu seseorang di masa lalu di tempat ini. Tempat yang terpaksa kudatangi demi menyenangkan hati ibu, justru membuat lukaku kembali terasa perih setelah sekian lama. Dia, Aditya. Seseorang yang menghancurkan hatiku tepat saat cinta pertama itu mulai tumbuh.

Dia satu-satunya orang yang membuat aku merasa tidak diinginkan dan juga tidak diharapkan dalam waktu yang sama. Secepatnya aku ingin pergi dari sini. Namun, suara itu kembali memanggil namaku. Lagi.

"Ki, apa kabar?" tanyanya. What? Nih orang nggak punya rasa bersalah sedikitpun, sama sekali. Muak aku mendengar suaranya yang seolah tidak punya rasa bersalah itu.

"Baik," jawabku cuek. Aku buru-buru menggandeng tangan Gilang demi bisa cepat meninggalkan tempat ini. Masa bodoh dengan acara yang aku sendiri tidak tahu apa sebenarnya.

"Duluan," ujarku lantas berjalan cepat untuk pergi.

"Tunggu...," serunya. Aku tahu tapi pura-pura tidak mendengar dan meneruskan berjalan secepat-cepatnya, meski seperti kelihatan berlari.

"Ki, dipanggil tuh!" ujar Gilang sambil menggoyangkan tangannya dalam genggamanku. Aku melotot padanya dan menyuruhnya untuk diam. Kenapa sih dia harus ikut campur?!

Untung Gilang langsung diam tanpa memberikan protes apa-apa.

"Tunggu Ki!" teriak Adit dengan lantang. Aku tidak peduli!

Setelah dekat dengan mobil, aku baru sadar, jika Gilang yang membawa kunci mobilnya. Huh!

"Lang, biar aku yang nyetir." perintahku dengan nada yang tidak bisa dibilang kalem.

"Oke," balasnya seraya melempar kunci mobil yang langsung kutangkap dengan cepat.

Setelah duduk di kemudi, rupanya Adit mengetuk kaca mobil Gilang. Aku mendengus. Bodo amat! Tidak akan aku buka. Sudah malas dan muak aku melihat wajahnya. Aku tanpa merasa kasihan langsung menjalankan mobil. Biar saja dia tahu, apa yang kurasakan dulu. Semoga saja dia tidak mengejar lagi.

���

Gilang melirikku aneh setelah mobil sudah berjalan dengan santai. Lirikan yang belum pernah dia lemparkan sebelumnya. Aku merasa lirikan maut itu dilayangkan sedari tadi sejak Adit mengetuk-ngetuk kaca mobil. Aku memalingkan wajah tidak suka. Gilang kenapa sih? Lama-lama aku ngeri juga dengan tatapannya padaku. Terlihat tajam dan menyorotkan amarah.

Aku menghela napas lelah, sedari tadi Gilang diam layaknya patung. Sebenarnya tidak masalah, tapi kilat-kilat amarah itu masih setia terlihat di dalam iris matanya membuatku merasa heran sekaligus takut. Bukan apa-apa sih, cuma aku kan baru mengenal Gilang. Kalau tiba-tiba dia menjadi manusia harimau gimana? Wait, pemikiranku kok jadi aneh ya? Salah sendiri Gilang diam saja sedari tadi. Aku sih nggak peduli, jadi kubiarkan saja mobil ini penuh keheningan sampai menuju rumahku.

Setelah sampai di depan rumah, aku bersiap untuk membuka mobil setelah melepas seatbealt. Namun Gilang menahan lenganku dan menyuruhku kembali duduk. Tak ada pilihan lain, aku memilih menuruti ucapannya. Aku terdiam lama di dalam mobil, karena Gilang tak kunjung menyatakan maksudnya. Aku geregetan sendiri dengan sikapnya.

"Gue masuk ya, Lang" Akhirnya aku berpamitan padanya karena sekarang aku ingin berdiam diri di dalam kamar.

"Bentar," cegahnya dengan menahan tanganku. Kutepis tangannya sekali.

Nih orang aneh banget sih! Ditungguin dari tadi juga!

"Kenapa sih?!" Moodku sedang tidak baik sekarang, dan tanpa sadar aku melampiaskan padanya.

"Cepetan!" selorohku.

Gilang terlihat seperti menimbang-nimbang sesuatu hal yang berat, terlihat ingin berbicara tetapi masih diam saja. Sepertinya ragu untuk mengatakan sesuatu.

"Kalau nggak sekarang, aku pergi!" ancamku dan membuat dia buru-buru mengatakan.

"Iya, bentar doang kali Ki!" bela Gilang untuk dirinya sendiri.

Bentar apaan?!! Udah lima belas menit aku nungguin dia ngomong, tapi nggak ngomong-ngomong juga. Maunya apa sih nih cowok!

"Ki, tadi itu mantan lo ya?" tanyanya dengan mimik wajah serius, sorot matanya seolah membuatku tidak ada pilihan lain untuk jujur.

What? Gue lima belas menit di sini cuma nungguin hal nggak penting kayak gini. Bener-bener deh Gilang!

"Nggak penting banget sih, Lang!" Tukasku sembari beranjak keluar. Tetapi Gilang meraih tasku, mencoba menghentikan dan menatapku dengan sorot tak terdefinisikan.

"Jawab aja kenapa sih!" ucapnya, suaranya terdengar berat namun tidak meninggi.

"Lo apa-apaan sih, kalau iya kenapa? Hah? Nggak penting juga buat lo!" marahku tak terima. Enak saja dia main menarik-narik tasku cuma ingin tanya masalah yang sama sekali nggak penting itu.

"Bagiku itu penting." lirihnya namun masih mampu terdengar oleh telingaku. Aku terperangah. Maksud Gilang, apa?

���

Strong Girl | COMPLETEDWhere stories live. Discover now