04

0 0 0
                                    

04
"Seseorang yang tepat akan datang di waktu yang tepat"

-Kyla-

���

Setelah kejadian kemarin malam, aku mulai curiga terhadap ibu. Kemarin ibu meninggalkanku berdua dengan Gilang dengan waktu yang cukup lama, dan membuatku bosan. Soal Gilang, aku tidak berniat mengenalnya lebih jauh. Cukup sampai di situ saja, pikirku. Namun, rupanya upaya ibu tidak berhenti di situ saja, melainkan mengundang keluarga tante Fika untuk makan malam bersama. Oh, aku benci sekali rasanya!

Aku tidak bodoh dengan mengabaikan gerak-gerik ibu yang berusaha menjodohkanku. Apa-apaanlah itu! Sudah kubilang bukan, bahwa aku bukannya tidak laku, melainkan fokusku belum mengarah ke arah itu. Aku akan mengakalinya dengan lembur atau bertemu dengan sahabatku, entah salah satu dari mereka atau kalau bisa kelimanya. Baru saja aku memikirkan hal itu setelah makan, namun ibu keburu berkata, "Awas saja kalau kamu mau coba-coba lembur! Ibu tidak suka nduk kalau kamu tidak menghargai tamu ibu," ucap ibu terdengar seperti sindiran untukku. Kalau begini aku bisa apa?

"Bu, tolong mengerti, aku tidak suka dipaksa, apalagi itu mengenai kehidupanku ke depannya." mohonku pada ibu dengan menggenggam tangannya.

"Ibu hanya ingin mengundang kembali tante Fika ke sini, itu saja. Untuk menghargai tamu ibu, tidak sulit kan?" terangnya dengan pandangan meneduhkan. Aku tidak berani untuk mengelak lagi. Aku tidak mau dianggap anak durhaka oleh ibu. Tapi apakah benar, hanya sebatas itu?

Aku terdiam. Dan ibu kembali berbicara, "Kamu hanya perlu ikut makan malam saja, sudah itu saja. Kalau memang kamu tidak suka ya tidak usah dilanjutkan, toh kamu belum kenalan sama nak Gilang 'kan?"

"Kemarin kan su-" ibu memotong pembicaraan, "Sudah apa? Kenal sebatas nama aja kan? Orangnya kamu belum tahu gimana, baik atau tidaknya seseorang itu tidak bisa kita simpulkan dalam sekali pertemuan. Cobalah dulu, nduk!"

Aku mendengus. "Iya deh," ujarku menyanggupi. Toh aku berpikir, ibu tidak akan bertindak macam-macam seperti menjodohkan dan langsung menikahkan seperti di novel-novel kan? Ya, aku harus percaya dengan ibu.

"Mudah lo sebenernya kamu buat ibu bahagia, cuma nurut aja, nggak susah kok." ujarnya lagi dengan senyum mengembang karena aku telah mengiyakan keinginannya.

"Kiki kerja dulu Bun," pamitku sambil meraih punggung tangannya untuk kucium.

"Kiki usahain nggak lembur," kataku lagi. Bibir ibu langsung tertarik ke atas, senang dengan perkataanku. Meski aku juga tidak yakin sih!

���������

Jam istirahat makan siang, aku melirik ke arah Febri berniat mengajaknya makan siang bersama.

"Feb!" panggilku membuatnya menoleh.

"Kenapa?" tanyanya.

"Makan siang bareng yuk!" ajakku setelah mendekat ke arahnya.

"Aduh, maaf ya, gue mau makan siang bareng pacar baru gue. Ehm, lo bisa ajak Rani apa siapa gitu, nggak apa-apa ya?" ucapnya sambil tersenyum-senyum sendiri.

Kenapa harus diperjelas sih?!

"Oke," jawabku pendek.

Aku mendekat ke kubikel Rani. Rani mendongak dan tersenyum melihatku. Dia mengambil dompet dan beranjak berdiri, sepertinya sudah tahu maksud dan tujuanku datang. "Yuk!" ajaknya meraih tanganku.

Sesampainya di kantin, aku memesan nasi ayam geprek dan air mineral biasa. Sedangkan Rani memesan bakso ayam dan jus mangga. Kami duduk dan terlibat percakapan sana-sini karena pesanan belum juga jadi.

"Lo mau gue kenalin seseorang ga?" tanyanya langsung.

Mungkin kalau saja aku sedang makan, aku akan tersedak karena ulahnya. Malas menanggapi, aku hanya berdeham.

"Mau gue kenalin sama abang gue?" tawarnya yang langsung saja kurespon dengan gelengan kepala tegas.

"Kenapa? Udah ada gebetan?" tanyanya lagi.

Ah, kenapa bahas itu-itu aja sih!

Aku menggelengkan kepala lagi.

"Orangnya ganteng loh!" Dia menaik-turunkan alisnya.

"Nggak! Belum tertarik aja ke situ." terangku.

Semoga dia tidak bertanya dan membahas lebih lanjut. Lagi. Dia hanya ber'oh' ria. Syukurlah... Pesanan kami sudah datang. Tanpa basa basi, aku langsung menyerbu dan melahapnya. Begitupun juga dengan Rani. Sepertinya kami benar-benar lapar!

���������

Tidak sesuai dugaan, rupanya tugas bertambah banyak sejak sore tadi. Aku bingung, bagaimana ini?

Aku menoleh ke kubikel Heraldy. Sepertinya dia juga sama, karena kami dalam satu bagian.

"Dy.."

Dia menoleh cepat.

"Kenapa?" tanyanya.

Sepertinya dia juga sama frustasinya seperti diriku.

"Lo ada janji?" Bukan aku yang bertanya, melainkan Heraldy yang masih menunggu jawabanku.

Aku mengangguk. "Maaf ya gue juga ada janji kali ini, jadi nggak bisa bantuin." jelasnya. Aku memaklumi dan tersenyum.

"Okay." balasku dan kembali menyelesaikan tumpukan berkas di hadapanku.

Jadilah aku tidak bisa menyanggupi permintaan ibu.

Bukan aku yang sengaja melakukannya, tapi aku mungkin memang ditakdirkan lembur hari ini. Maaf bu... Sepertinya memang bukan jodoh.

���

Strong Girl | COMPLETEDUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum