05

0 0 0
                                    

05

"Bukankah surga seorang anak berada di telapak kaki seorang ibu?

Lantas, alasan apa yang menyulitkan untuk menyanggupi perintahnya?"

-Kyla-

���

Tersudut. Itulah yang kurasakan saat ibu memerintahku menemani Gilang menghadiri acara pernikahan temannya. Hei aku tidak dekat dengan Gilang! Oh My God... Kenal saja hanya sebatas nama. Huh! Ini semua gara-gara kemarin aku lembur. Ibu tidak mau tahu meski aku menjelaskannya berulang kali.

"Bun, kemarin itu bukan atas kesengajaanku, tolong percayalah." mohonku kesekian kalinya.

"Iya ibu percaya, tapi kamu harus tetap menuruti kemauan ibu. Salah sendiri tidak menghargai tamu ibu. Kan, bisa pekerjaan kamu sementara di alihkan ke temenmu. Kamu itu hanya alasan." ujar ibu membuatku ingin menarik rambutku sendiri.

"Bu, kenapa harus sama Gilang?" tanyaku sebagai bentuk alibi untuk menolak. Kalau ibu tidak mempunyai alasan kuat, pasti aku bisa menghindar kan?

"Kemarin Gilang ke sini sama tante Fika, dan karena kamu bohongin ibu, jadilah Gilang sendirian kan. Nggak kasian kamu sama Gilang?"

Fix, ibu benar-benar membuat telingaku panas kali ini. Aku sudah mengelak berkali-kali, tapi ibu tetap kekeuh dengan keputusannya.

Aku harus apa?

"Kamu lupa kalau mematuhi perintah seorang ibu itu wajib." tegur ibu.

"Hanya untuk hal baik." tambahku spontan.

"Cuma menemani Gilang, kamu pikir itu perintah jelek begitu?" tukas ibu marah.

Aku diam. Pembicaraan ini membuat amarah antara aku dengan ibuku terpancing. Percuma aku menolak lagi, toh ibu sudah mengeluarkan kata-kata keramatnya. Aku sudah kalah telak. Sisi baik hatiku mulai memberikan nasihat. Sanggupi sajalah, toh ini pertama kali ibu menyuruhmu melakukan hal yang tidak kamu sukai, apalagi sampai tegang urat begini.

Sisi lain hatiku mengatakan, bagaimana jika ada beberapa kali setelahnya? Sisi baik itu kembali menyela, mau jadi anak durhaka kamu? Hah! Cukup! Mungkin hanya kali ini. Aku mengangguk lantas menaiki tangga untuk masuk ke kamar.

"Jangan lupa satu jam lagi Gilang ke sini. Cepat bersiap-siap!" perintah ibu dengan mendorong-dorong tubuhku.

Kenapa sikap ibu berubah?

Apa karena tante Fika?

"Iya.., iya Bun." Dengan lesu aku menyeret langkahku yang tiba-tiba terasa berat untuk menaiki tangga.

���������

Aku masih setia menatap wajahku di depan cermin, ketika suara ibu mengagetkanku.

"Aduh, kok masih belum apa-apa sih!" tegur ibu sambil berkacak pinggang.

Padahal aku sudah mandi dan berganti pakaian loh! Hanya saja wajahku masih basah dengan air wudhu tanpa riasan apapun.

"Kamu itu bener-bener deh! Coba hadap sini!"

Aku menghadapkan wajah pada ibu yang terlihat sudah memegang bedak dan lipstik.

"Bun, aku bisa sendiri." Keluhku seraya menggenggam tangan ibu.

"Kelamaan ah kamu," Ibu kembali memoleskan bedak di wajahku dengan cepat.

"Nih," ujarnya sambil menyerahkan lipstik padaku.

"Bun, pakai lipbalm aja ya?" tawarku.

"Jangan, jangan! Kayak anak kecil aja!" kata ibu sambil menggelengkan kepala.

Aku menurut saja. Akhir-akhir ini ibu suka sekali mendebat penampilanku. Yang begini lah, yang begitu lah. Aku capek sendiri rasanya.

Setelahnya aku memakai sneakers dan memakai pashmina berwarna krem. Beginilah penampilanku dengan jeans biru tua dan atasan panjang berwarna putih dengan aksen kecil-kecil yang kurasa tidak terlalu berlebihan.

Aku menuruni tangga dengan ibu di sampingku.

"Maaf ya nak Gilang, Kiki lama ya?" tanya ibu basa basi dengan Gilang yang sudah duduk di sofa ruang tamu. Entah sejak kapan dia sudah ada di sini.

"Enggak kok, Tan. Saya juga barusan." kata Gilang dengan ramah.

Gilang tersenyum saat melihatku. Aku tidak membalas senyumannya. Biarkan saja dia anggap aku sombong! Aku berharap dia perlahan menjauhiku karena benci dengan sifat ini.

Ibu menyenggol lenganku. Aku mendengus. Apa-apaan sih ibu?

"Yuk nak Gilang, diminum dulu tehnya," ujar ibu.

Gilang mengangguk. Tak lama ia lantas berpamitan pada ibuku.

Cepet banget sih!

"Hati-hati ya bawa anak tante." balas ibuku dengan senyum.

"Pasti tante," ujar Gilang dengan senyum mantap.

Aku melirik Gilang yang sudah berjalan di depanku. Kuyakin dia terkekeh, karena bahunya agak bergetar. Huh!

Awas ya kamu Gilang!

⛅⛅⛅

Setibanya di dalam mobil, aku duduk di belakang. Biarkan saja Gilang duduk di depan sendirian. Biar jadi supir dia. Lagipula aku belum membalas perbuatannya tadi.

"Kenapa duduk di belakang?" tanyanya.

"Pengen aja," jawabku dingin.

"Oh yaudah." balasnya kaku.

Nih orang mau ngajak berantem kayaknya!

"Kamu lapar nggak?" tanyanya lagi.

"Nggak!"

Kruk-kruk-kruk....

Aku tertawa keras saat menyadari perut Gilang berbunyi. Sampai-sampai sudut mataku berair karena tertawa. Dia ikut terkekeh.

"Makan dulu ya?" Dia memohon padaku dengan sok menampilkan puppy eyes.

Aku kembali tertawa terbahak-bahak.

Lucu banget sih dia!

Ampun deh, wajahnya itu loh! Ganteng sih ganteng, tapi saat dia mohon-mohon gitu kelihatan banget melasnya.

Aduh, aku nggak bisa berhenti ketawa kalo begini.

"Ya ya?" Dia menatap penuh ke mataku.

Asli ekspresinya dapet banget! Apalagi saat dia bilang, "Cacing-cacing di perutku belum makan."-sambil mengelus-ngelus perutnya.

Aku mengangguk samar karena saat ini aku masih tak bisa berhenti tertawa.

Aduh, bisa-bisa perutku sakit juga kalau kebanyakan tertawa.

Nih cowok... kok beda?

���

Strong Girl | COMPLETEDWhere stories live. Discover now