"AYAH!"

"SIALAN KAMU! BISA-BISANYA KAMU MENEMPATKAN AYAH PADA POSISI YANG SULIT?!"

"INI SEMUA GARA-GARA AYAH! KALAU AYAH NGGAK JAHAT KE MINCHAN, MINCHAN JUGA NGGAK AKAN NGELAKUIN HAL INI!"

"ANAK NGGAK TAHU DIUNTUNG!"

BRAKK!!!

Telinga Kangmin berdengung bersamaan dengan jantungnya yang berpacu. Kepalanya mulai terasa berat dan pusing. Tiba-tiba saja ia merasa energinya direnggut hingga terkuras tak bersisa.

Berbekal sisa-sisa tenaga yang masih ia miliki, Kangmin berlari sempoyongan menuju rumahnya. Tentu Kangmin penasaran dengan perdebatan Minchan dan Ayahnya. Namun instingnya mengatakan bahwa ia harus segera menyelamatkan diri dari sana.

Saat sampai di rumahnya, Kangmin segera mengunci pintunya. "Kenapa energinya besar banget di sana?"

Kangmin terduduk di depan pintu seraya mengatur nafasnya yang masih naik-turun.

"Aneh banget, kenapa tadi gue nggak bisa lihat satu pun mahkluk di sana? Harusnya kalau nggak ada mahkluk, energinya nggak akan sebesar itu. Sebenarnya apa yang disembunyikan di dalam rumah itu?"




***




Gyehyeon berlindung di balik selimut saat suara itu kembali datang. Suara berbisik dengan nada suara berat nan dingin. Siapapun yang mendengar suara itu akan mengalami sensasi yang aneh, seperti tubuhmu dibawa masuk ke dalam jurang yang tak berdasar.

Pada titik ini, Gyehyeon selalu terpikir untuk mati. Tidak ada cara lain lagi selain mati agar suara itu berhenti mengganggunya. Sebenarnya jika Ayahnya mau sedikit menurunkan egonya, ia bisa saja diobati lewat eksorsis.

Hanya saja Ayahnya tetap menganggap bahwa hal-hal yang bersifat supranatural dan dianggap gaib merupakan sesuatu yang tabu. Bukan tanpa alasan Inseong jadi seperti itu. Obsesinya pada sains dan klaim orang-orang yang mengganggap bahwa hal-hal gaib tidak bisa dijelaskan secara sains sangat berperan banyak dalam menuntun sudut pandangnya.

Gyehyeon sangat ingin sembuh.

Ia ingin kembali hidup normal.

Akan tetapi, teror yang terus ia alami perlahan-lahan mematikan jiwa Gyehyeon dari dalam. Gyehyeon menjadi tidak bersemangat lagi, ia hanya ingin mati. Terlebih, tidak ada seorang pun yang mau memahaminya.

Entah mengapa hidupnya jadi tak berguna seperti ini.

"Darahmu.... Jiwamu... Kemarikan..."

Gyehyeon memejamkan matanya rapat. Kedua telapak tangannya yang gemetar menutup erat daun telinganya. Kalau saja menjadi tuli dapat menjadi jalan pintas maka sudah sejak beberapa bulan lalu Gyehyeon merusak gendang telinganya sendiri.

Tetapi Gyehyeon tahu, suara itu tidak masuk melalui gendang telinganya. Melainkan melalui hatinya, jiwanya, dan merusak keduanya dari dalam.

Permainan ini tak akan bisa Gyehyeon menangkan.

Gyehyeon dapat bertahan sejauh ini karena ia menanti datangnya sang malaikat. Jauh di dalam hatinya ia selalu berdoa, meminta bantuan agar dikirimkan malaikat baik yang mengasihaninya. Gyehyeon ingin hidup lebih lama, ia ingin membahagiakan ibunya, adiknya, dan sahabatnya.

Ia tidak ingin mati sia-sia di umurnya yang masih muda.

Hanya saja sejauh apapun Gyehyeon berusaha bertahan, di saat yang sama pula sosok itu berusaha untuk mengambil darahnya dan membawa jiwanya pergi.

Pergi,

Ke tempat yang jauh.

Tempat yang indah katanya.

[iii] Connect | VERIVERYWhere stories live. Discover now