¤18¤

153 48 12
                                    

Soora yang awalnya sibuk mendesain sebuah gaun pengantin tiba-tiba mendongak bingung ketika salah satu pegawainya datang. Pegawainya itu segera mengatakan padanya bahwa Yongseung datang ke butik untuk menemuinya.

Selagi Soora berjalan menuju Yongseung yang menunggunya di luar ia berpikir hal apa yang membuat Yongseung menemuinya siang-siang begini. Jarang sekali Yongseung melakukan hal seperti ini, biasanya ia hanya datang ke butik ketika menjemput Soora, mengantar Soora, atau mengantar Kangmin setelah pulang sekolah.

Di luar, Yongseung nampak merenung. Ia berdiri di depan tembok kaca menatap jalanan ramai di depannya tanpa minat. Helaan nafasnya berkali-kali terdengar seolah laki-laki itu baru saja menerima beban yang sangat berat dipundaknya.

Soora menepuk pelan pundak Yongseung lalu ikut berdiri di samping laki-laki yang jauh lebih tinggi darinya. "Ada apa?"

"Kamu sibuk?"

Soora mengulum bibirnya. Kalau ia jujur, mungkin Yongseung tak jadi mengutarakan maksudnya. Namun kalau ia berbohong, Yongseung akan tahu karena sejujurnya Soora tak pandai menutupi kebohongan yang sedang ia lakukan.

"Nggak kok," jawab Soora seraya tersenyum ke arah Yongseung.

"Bohong."

Senyum bulan sabit yang terpatri di wajah Soora mendadak hilang. "Kalau udah tahu ngapain nanya?"

"Basa-basi aja sih." jawab Yongseung datar, seperti biasanya.

"Kalau mau cerita, cerita aja. Aku tadi bohong karena aku yakin, kalau aku jawab jujur kakak pasti nggak jadi cerita."

Yongseung menoleh menatap wanita yang telah menemaninya selama beberapa tahun ini. Tangannya terulur untuk mengusap lembut pucuk kepalanya. Orang lain yang melihat interaksi tersebut mungkin akan merasa iri tetapi sejujurnya mereka jarang melakukan kontak fisik karena sibuk satu sama lain.

Sudah hampir enam tahun bersama tetapi kadang kala Yongseung masih merasa canggung. Sifatnya yang selalu merasa tak enak hati membuatnya kadang merasa sungkan jika harus meminta lebih pada Soora. Begitu juga dengan Soora, ia tak pernah menuntut ini-itu pada Yongseung. Baginya melihat Yongseung bisa tersenyum setiap hari saja sudah lebih dari cukup. Mungkin itu sebabnya hubungan mereka selama ini masih seperti sepasang kekasih ketimbang suami-istri.

Setidaknya hal itu membuat mereka merasakan getaran baru setiap hari.

"Aku mau cerita, tapi pekerjaanmu gimana?"

"Aku bisa ngerjain nanti kalau kakak udah selesai cerita."

"Aku mau cerita di rooftop kedai tempat kencan pertama kita dulu, gimana?" tanya Yongseung yang semakin melebarkan senyumnya."

"Boleh."

Untuk pertama kalinya Soora mengesampingkan pekerjaannya demi hal lain yang mungkin saja tidak terlalu penting. Yeah, tergantung Yongseung sih, ceritanya nanti tergolong penting atau tidak. Tetapi, kalau hal lain itu Yongseung atau Kangmin, tidak ada salahnya kan Soora membolos selama beberapa jam kedepan?

Mereka menuju kedai dengan menaiki bus. Yongseung sengaja meninggalkan mobilnya di parkiran butik, katanya agar mereka berdua bisa mengenang masa-masa dimana mereka berkencan beberapa tahun yang lalu.

Di dalam bus Soora hanya bisa tertawa ketika Yongseung berceloteh tentang masa lalu mereka atau mengeluarkan candaan garing. Meski begitu Soora menyukai suasana seperti ini. Hangat dan menyejukkan. Kala lengan Yongseung merangkulnya, rasanya seperti jutaan bunga bermekaran di dalam hatinya layaknya musim semi.

Kalau ditanya apakah Soora pernah bosan hidup dengan Yongseung yang kesehariannya cenderung datar seperti triplek, maka jawabannya adalah tidak. Meski datar, terkadang Yongseung memiliki kejutan tersendiri. Caranya memang berbeda seperti kebanyakan orang dan Soora paham akan hal itu.

[iii] Connect | VERIVERYWhere stories live. Discover now