¤20¤

148 40 11
                                    

"Aku nggak sanggup, bahkan rasanya aku hampir mati ketika semua adegan itu terputar diotakku tanpa permisi."

Soora semakin mempererat genggamannya pada tangan Yongseung, berharap bahwa perasaannya dapat tersampaikan lewat genggaman tangan itu.

Langit cerah di atas mereka saat ini tidak sejalan dengan hati mereka yang berada dalam balutan duka.

"Lalu aku berpikir, apa mungkin perasaan seperti ini yang dialami Jo Inseong dan Ju Yeonseok setiap malamnya? Perasaan campur aduk yang tidak bisa diobati dengan obat apapun di dunia ini. Tidak ada ketenangan batin. Itu adalah penyakit paling buruk."

"Iya, jika mereka masih memiliki hati nurani."

Yongseung menghapus buliran bening di pipinya. Ia menatap ke langit cerah yang menampakkan pergerakan lembut awan putih ke arah barat. Terlihat indah. Kalau tidak dalam kondisi hati yang berantakan seperti ini, mungkin Yongseung akan betah menatap ke arah langit itu.

Ia beralih, menatap pada Soora yang masih setia menggenggam tangannya. Lihatlah, bahkan wanita dihadapannya itu masih setia menemani Yongseung meski bisa dikatakan hidup Yongseung berantakan sejak ia memasuki Sekolah Menengah Atas. Lebih tepatnya ketika Yongseung menjadi takdir sang iblis.

Soora adalah wanita paling pemberani yang pernah ia temui.

"Kak Yongseung bisa kok bagi rasa sakit itu ke aku." kata Soora membuat hati Yongseung sedikit mencelos.

"Kalaupun bisa, aku nggak akan pernah mau membaginya padamu."

"Kak--"

"Aku nggak mau menambah bebanmu. Sejak kamu memutuskan hidup sama aku, bisa dihitung jari kan kapan kita bahagia? Selebihnya, yang tidak bisa terhitung, itu adalah hal-hal yang buruk." jawab Yongseung sambil menunduk.

Pada titik ini Yongseung memang pengecut. Ia lebih memilih menunduk, menatap meja makan dibawahnya dibanding harus beradu tatap dengan mata teduh milik Soora.

Menatap Soora semakin membuat rasa bersalahnya berlipat ganda.

"Aku tahu rasanya sangat sesak," ujar Soora melembut. Ibu jarinya mengusap punggung tangan Yongseung untuk memberikan ketenangan. "Tapi kalau kakak menyimpannya sendiri, itu sama saja kakak membunuh hati kakak secara perlahan. Aku nggak peduli seberat apa nanti bebanku ketika kakak membaginya. Kita udah memutuskan untuk hidup bersama, bahkan kita udah punya Kangmin, jadi nggak ada penghalang untuk kita saling berbagi hal apapun itu."

"Sekalipun yang terburuk?"

"Ya, meski paling buruk sekalipun."

Melihat Yongseung yang masih meragu membuat Soora berusaha memikirkan cara lain yang dapat membuat Yongseung merasa nyaman saat menceritakan kegelisahannya. Yongseung itu pendiam, itu sebabnya ia lebih sering menyimpan masalahnya sendiri. Sangat sulit bagi Yongseung untuk bercerita meski pada orang terdekatnya sekalipun.

Soora paham, itu sebabnya ia berusaha mencari jalan alternatif.

Seperti kata Yongseung, sejak mengenal lelaki dihadapannya itu memang hidup Soora tidak bisa dikatakan berjalan dengan mulus. Lebih banyak duka daripada suka dalam hidup mereka selama ini.

Namun, justru karena kebahagiaan mereka bisa dihitung jari, mereka jadi lebih bisa menghargai arti dari kebahagiaan itu. Membuat Soora selalu mensyukuri hal-hal paling kecil sekalipun yang dapat membuat keluarga kecil mereka bahagia.

Itu sebabnya Soora masih bertahan di posisi ini.

Selain cinta, Yongseung benar-benar mengajarinya apa arti hidup yang sesungguhnya.

[iii] Connect | VERIVERYWhere stories live. Discover now