¤24¤

100 36 2
                                    

Keluarga kecil itu makan dengan tenang. Sesekali Yongseung bertanya perihal sekolah Kangmin dan Kangmin akan menjawabnya dengan ceria. Terkadang Kangmin juga menceritakan sesuatu yang Yongseung dan Soora anggap lucu. Usia Kangmin saat ini memang membuat anak lebih banyak merasa ingin tahu dan menuntut jawaban.

Hampir tiga puluh menit lamanya mereka di meja makan sampai piring mereka tandas. Ketika Soora akan mencuci piring-piring kotor itu, Yongseung segera menarik tangannya menjauh dari wastafel. Ia membawa Soora ke ruang tengah, di sana sudah ada Kangmin yang duduk di karpet, menghadap meja, dan menggambar sesuatu di buku gambarnya.

"Nanti aja cuci piringnya, aku bantuin."

"Kenapa?"

"Lupa? Aku mau cerita banyak hal ke kalian."

Soora sontak menepuk keningnya. Ia lupa. Di meja makan tadi mereka kebanyakan bercerita tentang sesuatu yang lucu dan menanggapi cerita Kangmin, tidak sedikitpun Yongseung menyinggung soal cerita yang akan ia bicarakan ini.

"Maaf." sesal Soora seraya mendudukkan diri di sofa.

Yongseung hanya menggeleng tak masalah. Ia lalu menggendong Kangmin paksa dan mendudukkan anak itu di tengah-tengah mereka.

Kangmin awalnya memberontak karena ia masih fokus menggambar tetapi Yongseung segera berkata. "Giliran Papa yang cerita. Oke?"

Kangmin membentuk huruf O dengan bibirnya lalu mengangguk lucu.

Setelah Yongseung menyamankan posisinya, ia berkata. "Keputusanku sudah bulat."

Soora memiringkan kepalanya. "Tentang?"

"Melaporkan orang tua sahabatku. Aku tidak akan melaporkan mereka. Biar mereka sendiri yang menentukan pilihan mereka."

Soora tersenyum senang. Sepertinya Yongseung telah memahami cerita yang ia kirim seminggu yang lalu. Namun Soora tetap memutuskan untuk bertanya. "Mengapa bisa begitu?"

"Ingat karya Edgar Allan Poe yang kamu suruh buat aku pahami? Awalnya aku bingung dengan semua kata, kalimat, dan paragraf ambigu di dalam cerita. Tetapi di suatu malam Kangmin pernah cerita padaku kalau ia bertemu kakek Jo. Ucapan kakek Jo itulah yang membuatku sadar dan membulatkan keputusanku."

Meski Kangmin tidak tahu hal apa yang dibicarakan oleh orang tuanya, ia hanya bisa mengangguk-anggukan kepalanya seolah ia paham.

"Memangnya apa yang diucapkan kakek Jo pada Kangmin?"

Yongseung tersenyum pada Kangmin sebentar lalu kembali menatap mata Soora yang memancarkan sorot penasaran. "Tentang kengerian dari sebuah sunyi."

Soora melebarkan matanya tidak percaya yang justru membuat Yongseung terkekeh.

"Aku awalnya juga terkejut, kok bisa timingnya pas gini? Tapi kalau dipikir-pikir benar juga. Selama ini kakek Jo dan Ju telah dihukum oleh waktu."

Yongseung menghela nafasnya sejenak sebelum kembali melanjutkan. "Setiap hari, jam, detik, mereka menyesali perbuatan mereka terhadap anak mereka yang tidak bersalah. Waktu seolah mencekik mereka dengan rasa bersalah yang tidak bisa diobati dengan obat jenis apapun di dunia ini. Kesunyian perlahan datang, awalnya memberi kedamaian, tetapi lambat laun berubah menjadi kengerian. Sunyi, waktu, dan kengerian, mereka bekerja sama untuk menghancurkan kakek Jo dan Ju luar dalam. Mereka sudah dihukum di dunia ini. Jadi aku memutuskan agar mereka memilih sendiri pilihan mereka. Toh, saat mereka tiada, mereka justru akan mendapat hukuman yang jauh lebih berat kan?"

Setelah Yongseung menceritakan semua ini, hatinya merasa jauh lebih lega. Beban yang selama ini menghantuinya perlahan memudar. Memang benar kata Soora, tidak semua hal harus dipikul sendiri. Manusia adalah mahkluk sosial yang mana terkadang ia harus butuh bantuan orang lain untuk mencari solusi atau sekedar menenangkan diri.

[iii] Connect | VERIVERYWhere stories live. Discover now