[ 18 ] -- Hujan

29 16 1
                                    

Deru kendaraan berpacu, bersama dengan rintik air hujan yang turun dari langit. Mereka meninggalkan begitu saja, sebuah rumah yang masih menyiratkan percikan bara api, serta tubuh seorang gadis yang terkulai lemas di atas tanah.

Entah mengapa, Adoff tidak kunjung datang menolong ketika gadis itu sudah berada di dalam bahaya. Ia lebih memilih untuk diam, mengamati kejadian yang berlangsung sangat cepat beberapa saat yang lalu. Nanar matanya masih mengembunkan duka, walaupun kini sudah tersamarkan akibat derasnya hujan.

Ia berpikir, tidak ada gunanya pula apabila tadi ia mencoba untuk menolong temannya itu. Malahan, bisa jadi dirinya malah ikut tertimpa nasib yang sama seperti gadis tersebut.

Tiba-tiba, ia terbelalak ketika melihat gadis itu dari tempatnya berdiri, masih mampu untuk menggerakkan tubuh. Wanita bersurai pirang tersebut duduk di atas tanah basah, membiarkan luka di tubuhnya terus terbuka dan mengalirkan darah.

"Aku tahu, kamu ada di situ, Adoff," celetuk gadis tersebut tanpa menoleh ke arahnya.

Adoff mengusap wajahnya. Ia segera membuka tudung dari jaket yang menutupi kepalanya. Membuat dirinya segera terlihat kembali.

Ia kurang yakin jika itu adalah kenyataan. Namun, pemuda tersebut tetap melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arah gadis yang terduduk di tanah itu.

"Ella, bagaimana bisa?" Ia ikut merendah agar sejajar dengan gadis itu di atas tanah.

Pendar mata milik Ella bersitatap dengannya selama beberapa saat. Gadis itu tersenyum simpul melihat dirinya yang kebingungan. "Aku sendiri tidak mengerti. Akan tetapi, ketika benda terkutuk milikku diambil oleh mereka, aku merasa kalau tenagaku berangsur-angsur kembali."

Adoff menggelengkan kepala. "Tapi, lukamu masih-"

"Memang benar," sela gadis itu. "Lukanya masih terbuka. Namun, rasa sakitnya sudah tidak lagi terasa begitu menusuk." Ia menggerakkan tangannya, menyentuh darah yang tercetak di tubuhnya.

"Kamu bisa mati kehabisan darah, tolol!" hardiknya khawatir.

"Ah, tapi kamu sendiri juga tidak bisa berbuat apa-apa, 'kan?" balasnya dengan seulas senyum yang tercetak di wajahnya. "Kamu tidak mungkin menghubungi pihak kesehatan, dan mana mungkin ada seseorang dokter dengan perawatan lengkap yang dibawanya, berani masuk ke hutan terlarang di tengah malam dalam keadaan hujan deras."

Kata-kata itu seolah menamparnya. Gadis itu benar, ia tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan untuk menolong temannya itu, yang keadaannya sudah sedemikian menyedihkan pun tak sanggup.

Adoff mengepalkan tangannya. Ia menghela napas berat, mengutuk diri sendiri ketika menyadari keadaannya yang begitu tidak berguna. "Maafkan aku," lirihnya, berusaha menahan umpatan yang memang ditujukan untuk dirinya sendiri.

"Hmm?" gumam gadis itu, "Minta maaf untuk apa, Adoff?" Ia menatap kedua iris biru milik pria tersebut dengan teduh. Paras eloknya masih terlihat jelas, walau kotoran membuat wajahnya sedikit menghitam.

Pemuda itu memalingkan wajahnya. Enggan bertatapan langsung dengan gadis yang menjadi lawan bicaranya. "Aku tidak bisa menghubungi Arnt, aku gagal menyelamatkan semuanya," akunya. Kemudian ia terdiam sejenak. "Aku belum dapat menolongmu," lanjutnya lirih.

Rasa bersalah kembali memenuhi setiap jengkal ruang di hati Adoff. "Maafkan aku," pungkasnya tanpa berpaling. Hanya kalimat itulah yang sanggup ia katakan berulang kali.

Tawa kecil lolos keluar dari mulut gadis itu. Di bawah derasnya rintik hujan, di dalam gelap gulitanya naungan malam, di saat hawa panas dari api yang membara kini mulai lenyap, entah mengapa wanita itu bisa terkekeh lepas. Apakah dia menertawakan diri sendiri? Atau menunjukkan tawanya untuk pemuda yang baru saja mengungkapkan permintaan maaf berulang kali?

Party ✔ [Complete]Where stories live. Discover now