[ 21 ] -- Suram

36 16 2
                                    

Kegelapan pekat yang sedari tadi menaunginya, sedikit demi sedikit mulai menunjukkan sebuah titik cahaya yang mengambang cukup jauh dari tempatnya berada. Ia yang melihat sebuah titik terang, langsung berlari ke arah sinar tersebut berada. Sebisa mungkin berusaha untuk menggapainya. 

Ia sudah terlalu lama tenggelam di dalam kegelapan, ingin segera melepas diri dari kepekatan itu. Menuju titik terang yang memberinya secercah harapan.

Lama kelamaan, semakin ia berlari mendekat, titik cerah itu semakin membesar di dalam pandangannya. Bahkan, saking terangnya, sampai-sampai membuat penglihatannya terganggu. 

Ia segera mengangkat sebelah lengannya, menghalau agar cahaya tidak masuk terlalu banyak ke dalam retina matanya. Selain itu, kedua pendar matanya pun secara reflek menutup.

Lagi-lagi ia kehilangan arah. Terus berlari menuju titik buta, tanpa mampu melihat tempat apa yang sedang ditujunya. Dunia seolah-olah memaksanya agar tetap berdiam di dalam kesuraman, tanpa boleh mengintip sebuah jalan kebenaran. Itu merupakan suatu bentuk ketidakadilan baginya.

Ketika ia merasa titik cahaya itu sudah mulai meredup, kelopak matanya sedikit demi sedikit kembali terbuka. Bersamaan dengan itu, langit-langit yang berwarna abu-abu gelap menyapa indera penglihatannya.

"Dimana aku sekarang?" gumamnya dalam keheningan. Ia mendapati dirinya terduduk, bersandar pada sebuah dinding yang berwarna abu-abu gelap pula.

Ia mencoba untuk bangkit berdiri. Akan tetapi, dalam sekejap kepalanya langsung terasa begitu pusing. Pandangannya pun berkunang-kunang, disertai dengan berbagai bagian otot tubuhnya yang terasa nyeri.

Tangannya secara reflek bergerak untuk menyentuh kepala yang terasa begitu berat. Akan tetapi, belum juga sampai pada jangkauannya, gerakan tangannya seketika tertahan. Bunyi gemericik rantai mengiringi tindakannya. Memaksanya untuk mengabaikan rasa sakit, alih-alih memusatkan pandangan pada keadaan di sekitarnya.

Ada borgol yang mengait di kedua pergelangan tangannya. Borgol tersebut tersambung langsung dengan sebuah rantai yang terkunci pada dinding yang menjadi tempatnya bersandar.

Sebuah ruangan petak tanpa celah, kini mengurungnya. Tidak ada satu pun ventilasi yang terpasang di dinding rubrik abu-abu tersebut. Kecuali, sebuah jeruji kecil yang tercetak di pintu tunggal ruang sekap itu. Celah yang memungkinkan untuknya mengintip keadaan di luar sana.

Tiba-tiba, tatapannya terpaku pada seseorang yang sama duduk di salah satu sudut ruangan tersebut. Gadis berambut putih keabu-abuan itu menundukkan kepalanya dengan lemah. Kedua tangannya sama-sama terborgol, dengan rantai yang menahan agar tubuhnya tidak ambruk ke depan.

"Grey?!" panggilnya setengah tercekat. Ia tidak menyangka kalau gadis itu juga tertangkap sama sepertinya.

Gadis itu seakan mendengar ucapannya barusan, kemudian mengangkat wajahnya, menatap kosong ke arahnya. Sebagian rambut putihnya tergerai menutup rupanya. Selain itu, tidak ada lagi kacamata yang bertengger di batang hidungnya. "Apa?" balasnya datar.

Ia sedikit terkejut, sekaligus tenang ketika melihat keadaan perempuan itu baik-baik saja. Sorot biru yang tetap kosong, menjadi ciri khas tersendiri bagi gadis elok tersebut. "Bagaimana bisa kamu berada di sini?" Ia sedikit memelankan suaranya. "Bukankah tadi kamu berada di bawah bersama Adoff dan Niger?" lanjutnya.

"Grey serta Niger berpisah dengan Adoff ketika sudah sampai di permukaan. Anggota PEP menemukan Grey dan juga Niger, kemudian membawa kami berdua," jelas gadis itu.

Pria beriris hitam itu menghela napas panjang. Ia merasa bersalah karena tidak segera mengaktifkan benda kutukan miliknya. Membuat teman-temannya tertangkap karena tidak mampu melawan banyak.

"Maaf." Tanpa seijinnya, sebuah kata lolos terucap di bibirnya. Ketika berhadapan dengan pamannya saat itu, ia menjadi begitu bimbang. Hingga ia tidak melakukan apa pun. "Andai saja saat itu, aku lebih berani mengambil keputusan–"

"Tidak perlu minta maaf, Arben," potong gadis itu. "Tidak perlu merasa bersalah, karena Arben memang tidak bersalah," imbuhnya.

Derap langkah terdengar menggema dari luar ruangan tersebut. Terdengar dari ketukannya, mereka berdua bisa menebak kalau jumlah orang yang ada di luar sana lebih dari satu orang.

Lorong senyap membuat kiprah mereka terdengar jelas, ditambah sepatu berbobot yang mereka kenakan. Lantai beton yang begitu padat, yang menjadi perantara suara itu dapat bekerja dengan baik.

Tidak lama kemudian, seseorang berdiri di depan pintu tunggal yang merupakan akses keluar masuk satu-satunya di ruangan yang ditempati oleh mereka berdua tersebut. Bunyi berdecit terdengar ketika kusen pintu bergerak, membukakan sebuah celah yang membuat mereka berdua bisa melihat cahaya putih di luar sana.

"Bawa gadis itu!" titah seseorang di depan pintu yang berpakaian serba hitam.

"Baik," jawab beberapa orang lainnya secara serempak. 

Dua orang yang mengenakan helm di kepala, kini menginjakkan kaki di ruang tahanan tersebut. Tanpa basa basi, mereka langsung bergerak menuju ke arah Grey yang masih terduduk.

Arben terlihat panik. "Grey! Jangan–"

"Tidak apa-apa," lirinya memotong ucapan pria tersebut. "Saat ini, tidak ada gunanya melawan, Arben. Grey sadar itu," tuturnya.

Kedua pria berhelm itu melepaskan rantai yang menahannya dari dinding. Namun, tidak dengan borgol yang mengikat kedua pergelangan tangannya. 

Sorot kosong yang dipancarkan kedua netra gadis itu, menatap ke arah pria bersurai coklat. "Grey ingin berpesan satu hal padamu, Arben," ucap gadis itu ketika sudah beranjak untuk berdiri.

Pemuda itu membalas tatapan kosong dari gadis tersebut. Ia terdiam, menunggu perempuan tersebut melanjutkan ucapannya.

"Ketahuilah, salah satu anggota Party-1.8 adalah penghianat. Dialah yang sudah membocorkan lokasi kita kepada musuh, serta meretas sistem agar kita tidak dapat saling berkomunikasi." 

Kedua tangan gadis itu yang masih terborgol rapat, kini disatukan di depan tubuhnya. Kedua orang yang mengenakan helm itu bersiaga di belakangnya. "Jalan!" titah salah satu dari keduanya.

Grey mulai melangkahkan kaki, mengikuti perintah mereka. Gadis itu mengabaikan tatapan Arben yang kebingungan sekaligus tercengang dengan ucapannya barusan. Hingga sepenuhnya wanita itu angkat kaki dari ruangan petak tersebut.

Setelah kepergian gadis dan beberapa orang berpakaian serba gelap itu, pintu kembali tertutup rapat. Menyisakan kegelapan yang hanya ditemani sedikit pencahayaan dari celah jeruji kecil yang ada di pintu.

Ia kembali termenung akibat pertanyaan yang baru saja didengarnya dari gadis tersebut. Pikirannya mulai melayang, menerka-nerka siapakah pengkhianat yang dimaksud oleh Grey tadi.

Gadis itu tadi menyinggung soal meretas, yang artinya hanya ada lima orang di kelompok mereka yang mampu melakukannya. Yakni Grey sendiri, Niger, Florence, Clara, dan juga ….

"Adoff," gumam Arben seketika. Ketika tadi Grey mengatakan kalau dirinya dan juga Niger ikut ditangkap, berarti besar kemungkinan yang masih selamat hanyalah Adoff. Ditambah dengan tingkah pria itu ketika berbicara dengannya di malam sebelum semuanya terjadi, serta sebuah situs yang sedang diretasnya.

Namun, Arben cepat-cepat menggelengkan kepalanya. Berusaha menepis rasa curiganya yang dilimpahkan secara berlebihan pada salah satu temannya itu. "Tidak. Mereka yang mengaku tidak bisa meretas pun, mungkin bisa saja berbohong." Ia menghibur dirinya sendiri.

Pandangannya mulai beralih melihat detail setiap sudut ruangan tak bercelah. Kemudian berakhir pada besi yang mengikat kedua tangannya. "Lebih baik pikirkan, bagaimana cara keluar dari sini," lirihnya pada diri sendiri.

∅∅∅



Notes :

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian sebagai pembaca di sini. Silahkan tekan bintang (🌟) yang ada di bawah situ, ya. Kritik serta saran juga sangat dipersilahkan. Terima kasih.

Party ✔ [Complete]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ