[ 3 ] -- Terbengkalai

78 47 36
                                    

Adoff mengendap ke salah satu dinding bangunan. Di balik tembok itu terdapat sebuah ruangan dengan jendela terbuka. Suara-suara berdebum yang samar terdengar dari ruangan itu.

Ia mengintip dari celah kunci pintu yang berlubang. Keadaan di ruangan tersebut terlalu gelap untuk dapat dilihat. Dirinya memang sengaja mematikan seluruh lampu yang ada di bangunan itu beberapa saat lalu.

Daun pintu tertarik ke dalam, menimbulkan sebuah celah tipis antara ruangan tersebut dengan dinding koridor tempatnya berdiri. Bukan dirinya yang membuka. Ada orang lain di dalam sana yang berkehendak untuk keluar dari ruangan itu.

Adoff mengambil langkah, menjauh dari koridor sempit. Tempat itu sangat tidak menguntungkan baginya, karena ia tidak bisa mengayunkan sabitnya dengan bebas. Ia menyelinap di kegelapan ruang tengah, menunggu siapapun itu keluar dari balik pintu yang terbuka.

Bunyi berdecit terdengar nyaring di tempat yang senyap. Pintu terbuka lebar, memperlihatkan beberapa orang dengan pakaian serba hitam melangkahkan kaki keluar dari ruangan tersebut. Mereka bersenjata, rupa mereka tersembunyi di balik helm gelapnya.

Adoff melangkahkan kaki perlahan, bergerak mendekat ketika mereka sudah mulai memasuki area ruang tengah. Sikapnya selalu siaga, ia memeriksa senjata apa saja yang dimiliki oleh enam orang penyusup itu.

Tidak ada yang menyadari kehadiran pemuda bersenjata sabit itu di antara mereka. Mereka mulai berpencar, mencari sosok kecil yang menjadi incaran itu ke seluruh penjuru bangunan. Hingga hanya menyisakan dua orang saja di ruang tengah tersebut.

Mereka bergerak tanpa suara, hanya berdasarkan isyarat tangan, atau apa pun yang bisa mereka gunakan untuk berkomunikasi tanpa membuka mulut. Membuat seolah-olah mereka itu bisa bertelepati.

Adoff tersenyum miring melihat orang-orang itu melakukan pekerjaan busuk tersebut. Membongkar sana-sini, memeriksa setiap kolong perabotan, dinding, lantai, hingga lemari.

Sebuah pemikiran melintas di dalam benaknya. Ia jadi ingin sedikit bersenang-senang, berjalan ke sebuah meja yang ada di tengah ruangan itu, kemudian menendangnya hingga benda itu terguling ke lantai.

Secara spontan, kedua orang yang tengah sibuk mencari-cari sang bocah, segera menoleh ke arah meja yang sudah tidak benar posisinya. Keduanya bangkit untuk melihat apa yang ada di balik meja tersebut.

Adoff berjalan dengan santai di tengah-tengah kedua orang tersebut. Ia masih menyeringai lebar, ketika dirinya berpapasan dengan mereka.

Mereka melaluinya begitu saja, kehadirannya tidak dapat disadari. Satu-satunya pemandangan yang mereka tangkap hanyalah meja yang terguling, bukan sosok manusia yang memegang sebuah sabit panjang.

Pria bersurai pirang itu sebenarnya tidak begitu menyukai cara ini, karena membuatnya terlihat seperti pengecut. Akan tetapi, ia sadar bahwa keselamatan nyawanya jauh lebih penting daripada harga diri. Dengan sekejap, Adoff memutar tubuh, kemudian membabatkan sabitnya ke arah dua leher orang tersebut.

Dua kepala terlempar ke atas lantai, darah membercak ke segala arah, termasuk melumuri tubuhnya yang masih tembus pandang. Dua target sudah terselesaikan, sisanya tinggal empat.

Adoff berdecak karena tidak merasakan sensasi apa pun ketika memenggal kepala kedua orang itu. Bahkan, ia bisa berhasil membunuh orang-orang itu dengan mudah, seolah tanpa sebuah usaha yang berarti.

Ia menghembuskan napas panjang. "Dua target sudah berhasil diatasi. Sisanya, mereka pasti segera menuju kemari karena suara yang aku buat. Kamu tetap bersiaga saja di tempat itu, tidak perlu memberitahu keberadaanmu," lirihnya.

"Baiklah, aku mengerti. Kuharap kamu tidak terlalu menganggap remeh mereka, Adoff." Sebuah suara terdengar, membalasnya langsung ke dalam gendang telinga melalui alat komunikasi yang terpasang di daun telinganya.

Adoff tersenyum sinis mendengar penuturan yang diungkapkan orang di seberang sana. "Tenang saja. Aku tidak mungkin ceroboh, Niger," desisnya membalas.

Tidak lama, empat orang yang lainnya juga tiba di ruangan tersebut. Mereka terkejut melihat kedua rekannya sudah ambruk tanpa kepala. Menatap sekeliling, mencari-cari siapapun yang sudah membunuh dengan tanpa ampun.

Ini tidak menguntungkan bagi Adoff. Tanpa dia sadari, jejak darah membekas di setiap langkahnya. Walaupun tubuhnya tembus pandang, tetapi kiprahnya membuat kehadirannya dapat disadari.

Seseorang dari mereka langsung mengeluarkan sebuah pedang laser, mengarahkan kuda-kudanya ke arah Adoff. Gerakannya sudah siap menyerang kapanpun itu.

Pemuda itu menghentikan langkahnya, kemudian menundukkan kepala. Ia segera menyadari kesalahannya, walaupun ruangan itu gelap, tetapi helm yang digunakan orang-orang itu mampu memancarkan sinar tersendiri. Membuat mereka mampu melihat jelas dalam kegelapan.

Adoff tersenyum lebar. Ia membuka tudung hoodie yang semula menutupi kepalanya seraya berkata, "Aku ketahuan, ya." Ia terlihat begitu ringan tanpa beban, bahkan suaranya sama sekali tidak terdengar bergetar karena takut.

Bersamaan dengan tudungnya yang lepas, wujudnya kembali terlihat oleh mata lawannya. Sosoknya yang tengah berlumuran darah, menyunggingkan seringai yang begitu merendahkan orang-orang itu. Lengkap dengan sabitnya, ia makin serupa dengan sosok malaikat maut.

Orang yang membawa pedang laser, langsung bergerak melesat ke arah Adoff. Sementara salah satu dari tiga orang yang berada di belakangnya, mulai mengangkat senapan tempurnya untuk membidik pemuda berwajah persegi tersebut.

Pemuda beriris biru itu hanya mampu menghindar ketika pedang laser dibabatkan ke arahnya. Tidak ada gunanya ia melawan balik serangan itu. Sebab, gagang besi dari sabitnya bisa patah jika terkena mata pedang yang mengeluarkan cahaya merah tersebut.

Adoff dengan lincah melompat ke sana kemari, menyikapi serangan itu dengan tenang, tetapi tetap siaga apabila tiga orang di belakangnya juga mulai melancarkan serangan.

Namun, ketiganya hanya terdiam melihat rekannya mengayunkan pedang untuk membunuh pria berambut pirang itu. Seseorang hanya mengamati gerakannya sambil berusaha meluruskan moncong senapan ke arahnya. Sedangkan yang satunya lagi, mulai memasangkan sebuah kuku besi panjang ke dalam sarung tangannya.

Adoff melemparkan sabitnya ke arah tiga orang itu. Membuat benda itu sedikit berputar di udara, mengarah ke kepala mereka. Ia ingin tahu, hal apa yang membuat ketiganya hanya berdiam diri. Di sisi lain, tangannya segera mengambil pistol semi-otomatis dari balik kantung jaketnya.

Di tengah ketidak fokusan orang yang menyerangnya secara langsung akibat sabit yang dilemparkannya, ia segera menggunakan kesempatan itu untuk menembak kepala manusia berpakaian serba hitam yang hanya dilindungi oleh kaca helm tersebut.

Kaca helm itu pecah, peluru dengan cepat menembus masuk ke dalam kulit serta tempurung kepalanya. Membuatnya ambruk seketika dengan cairan kental yang tumpah di atas marmer. Adoff tersenyum girang melihat salah satu musuhnya kembali tumbang.

Namun, bersamaan dengan robohnya orang itu, sebuah gelembung biru yang tembus pandang segera menaungi tiga orang lainnya dari sabit yang berputar. Akibatnya, sabit yang tadi dilemparkan olehnya, malah kembali terpental. Kemudian menancap di dinding sebelahnya.

Adoff segera sadar, alasan mengapa tiga orang itu hanya diam secara bersama adalah untuk mengurangi jatuhnya korban di pihak mereka. Seseorang selain yang membawa senapan tempur dan juga yang memiliki kuku besi, dia telah mengaktifkan gelembung pelindung itu. Membuat ketiganya menjadi aman dari ancaman sabit yang akan melukai mereka.

"Niger, kemarilah. Aku sudah cukup kesulitan untuk menghabisi mereka," lirih Adoff.

∅∅∅







Notes :

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian sebagai pembaca di sini. Silahkan tekan bintang (🌟) yang ada di bawah situ, ya. Kritik serta saran juga sangat dipersilahkan. Terima kasih.

Party ✔ [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang