[ 15 ] -- Masalah

32 19 0
                                    

Langkah mereka terdengar menggema di lorong temaram. Cahaya putih redup berkelip di langit-langit, memberikan sinar minim bagi penglihatan. Akan tetapi, beberapa langkah kemudian semua sinar putih itu berubah menjadi biru yang mendominasi.

Ini baru pertama kalinya, GOB mendapatkan serangan terlebih dahulu. Mereka biasanya yang melakukan teror, menyerang dengan rencana penuh, kemudian menghilang tanpa jejak. Namun, kali ini justru malah lawan mereka yang datang mengincar mereka.

Padahal sebelumnya, hampir seluruh anggota PEP kesulitan untuk menemukan titik koordinat yang tepat, di mana tempat mereka berada. Sedangkan saat ini, mereka bisa melancarkan serangan besar dan tidak takut jika salah sasaran. Yang berarti menandakan mereka memang sudah benar-benar menemukan segelintir kecil anggota GOB.

Adoff menghentikan langkah ketika sebuah dinding beton memblokir jalannya. Lorong itu terlihat buntu, seolah tidak lagi ada celah yang tersisa untuknya lewat. Ia bergeming di hadapan bongkahan tembok padat tersebut.

Pria tersebut menghela napas panjang. Dengan malas, ia membalikkan badan. Menghadap ke arah dua temannya yang semula berada di belakangnya. "Alat komunikasi khusus yang disediakan untuk menghubungi pusat, ada di balik tembok ini." Ia menempelkan telapak tangannya ke dinding beton kokoh yang dingin.

"Namun, seperti yang kalian tahu, kita tidak memiliki hak untuk menghubungi pusat. Maka dari itu, kita juga tidak diberi akses untuk bisa membuka dinding ini," urai Adoff.

Niger mengambil langkah maju, ia mendekati dinding itu berada. "Menurutmu, apakah di dinding ini ada sensor, atau sandi khusus. Atau apa pun itu?" Ia mengamati tembok padat yang terbangun di depan sana.

Adoff menggeleng. "Kupikir sarung tangannya. Arnt selalu menggunakan benda terkutuk itu kemana pun dia pergi, termasuk saat mengakses ruang komunikasi pusat ini. Dan jika benar memang sarung tangannya adalah pemicu agar dinding ini terbuka, berarti kita tidak akan pernah bisa membukanya."

"Kamu yakin tidak ada tuas atau benda lain yang bisa saja menjadi pemicunya?" Niger masih mencoba menarik secercah harapan.

Akan tetapi, lagi-lagi Adoff menggelengkan kepalanya. "Kalaupun seandainya ada, seharusnya aku sudah menemukannya sejak tadi." Ia membeberkan sebuah fakta yang memupuskan harapan mereka.

"Kamu tahu, 'kan? Sudah berapa lama kita berjalan bolak-balik di koridor ini, memeriksa jika saja ada satu tuas yang bisa ditemukan untuk membuka sedikit saja celah dari dinding ini, supaya kita bisa masuk ke dalam sana? Kalau benda seperti itu memang ada, seharusnya kita sudah menemukannya sejak tadi." Ia menegaskan.

"Sial!" erang Niger. Pemuda itu melayangkan tinjunya ke arah dinding beton. Yang jelas saja, usahanya hanya menyebabkan rasa sakit yang menjalar di tulang jemarinya.

Adoff mengangkat wajah, ia melemparkan pandangan ke arah wanita bersurai putih keabu-abuan yang sejak tadi hanya bergeming sambil menatap layar ponsel. "Bagaimana denganmu, Grey? Apakah sudah dapat kabar dari Arnt?" lontarnya.

Gadis itu berbalik menatapnya dengan sorot hampa. Iris biru mereka berdua saling beradu pandang. Antara tatapan cemas dari Adoff, serta pandangan kosong milik Grey.

Ia menggelengkan kepala. "Tidak," jawabnya, "Grey sama sekali tidak dapat menghubungi Arnt. Pesan tidak terkirim, telpon tidak dapat terhubung."

"Astaga, kupikir ponselku yang bermasalah. Ternyata punyamu juga sama, ya?" Adoff kembali mengambil benda pipih dari kantong jaketnya. Ia menyalakan benda tersebut, mengeceknya berulang kali. "Ini menyebalkan!" umpatnya.

Niger ikut mengambil ponselnya. "Punyaku juga tidak bisa." Ia menatap layar kaca kecilnya. "Ini aneh. Semua sistem seolah menghalangi kita untuk bisa berkomunikasi dengan anggota GOB lainnya."

"Grey merasa memang ada seseorang yang sedang masuk ke dalam sistem GOB. Tentu ini pertama kalinya, sistem GOB dapat dibobol," tutur gadis tersebut.

Adoff menghembuskan napas berat. Ia mengangkat bahunya seolah tak acuh, kemudian menunjukkan seringai lesu. "Siapa yang menduganya, 'kan?" ratapnya, "Kupikir, kita sudah terlalu kelewat santai. Karena memang sejak dulu, semua aman-aman saja. Ini merupakan sejarah baru bagi GOB."

"Lebih tepatnya, sejarah buruk yang baru terjadi untuk pertama kalinya," timpal Niger. Pria yang memiliki sayatan melintang di sebelah matanya, kini menyandarkan tubuh di dinding yang menutupi jalannya. Ia sudah merasa tidak memiliki kesempatan lagi untuk bisa menghubungi pihak luar.

Tiba-tiba, sebuah dentuman terdengar begitu memekakan telinga. Secara reflek, mereka bertiga segera merunduk. Bergerak untuk melindungi diri. Apa yang mereka pijak, dan apa yang ada di atas mereka, kini bergetar dengan hebat. Seolah-olah bangunan yang berpondasi dari beton tersebut akan segera roboh.

Untung saja, hal itu tidak berlangsung lama. Detik-detik berikutnya, guncangan tersebut sirna. Hanya tinggal menyisakan lampu biru yang berkelip akibat saluran yang tidak stabil. Percikan listrik keluar dari salah satu lampu panjang tersebut, menandakan ada masalah di sana.

Bunyi gaung akibat ledakan itu masih tertekan di dalam lorong kedap udara. Mereka bertiga mematung, sama sekali belum berdiri dari posisi merunduk untuk bertahan.

Adoff memandang kedua temannya sambil meringis geli. "Bagaimana bisa kita merasa tenang di sini, sementara keadaan di atas sana sepertinya sudah tidak lagi baik-baik saja." Ia mengutuk keberadaannya sendiri.

"Kamu benar, Adoff. Padahal mereka bilang akan segera menyusul kemari. Namun, hingga saat ini, belum ada seorang pun yang datang ke sini," sambut Niger.

Kedua pria itu memaksa tubuhnya sendiri agar mau berdiri. Tidak ada kerusakan cukup berarti di tempat itu, selain listrik yang memercik dan lampu yang berkedip. Koridor tempat mereka berada semakin remang, tetapi masih memungkinkan untuk melihat.

Gadis bersurai putih keabu-abuan itu ikut berdiri. Ia memandang tenang ke arah kedua lelaki tersebut. "Grey rasa, jika Adoff dan Niger memilih untuk keluar lewat lift, itu bukanlah pilihan yang bagus." Ia memberi peringatan.

"Aku tidak ingat apakah ada jalan keluar dari tempat ini selain melalui lift, sih. Namun, sepertinya memang ada." Adoff mulai mengambil langkah. Ia pergi menjauhi bongkahan padat yang sejak awal memblokir jalannya. "Entahlah. Jangan terlalu percaya dengan perkataanku barusan."

"Jangan bercanda, Adoff! Seharusnya jalan keluar selain lift itu memang ada, 'kan?" tegas Niger spontan. Terjebak di bawah tanah bukanlah hal yang baik. Itu sangatlah buruk. "Tidak mungkin tempat tertutup seperti ini hanya memiliki jalan tunggal untuk keluar masuk," protes pria itu.

"Lift sangat rawan untuk rusak, ataupun macet di tengah jalan. Grey rasa, Niger benar. Jalan masuk tidak hanya satu," timpal gadis tersebut.

Adoff menghela napas berat. Ia berbalik, menatap kedua temannya itu secara bergantian. Sorot pandangnya teduh, seolah mengisyaratkan kalau mereka akan baik-baik saja. "Ingat, di sini banyak saluran udara seukuran tubuh manusia. Kalian lupa?" ungkapnya dengan santai.

Dalam sekejap, pundi-pundi harapan kembali megar di dalam pikiran mereka. Setidaknya, mereka tidak akan terjebak terlalu lama di koridor beton sempit yang redup tersebut.

"Aku paham maksudmu."

"Grey mengerti."

Kedua orang itu mengucapkan kata yang memiliki arti serupa secara berbarengan, menanggapi perkataan Adoff sebelumnya.

∅∅∅




Notes :

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian sebagai pembaca di sini. Silahkan tekan bintang (🌟) yang ada di bawah situ, ya. Kritik serta saran juga sangat dipersilahkan. Terima kasih.

Party ✔ [Complete]Where stories live. Discover now