[ 16 ] -- Suram

24 16 0
                                    

Asap semakin mengepul di hadapan mereka. Tempat sempit yang mereka lalui harus dengan merangkak, kini mulai mendekatkan pada titik terang. Namun, sepertinya keadaan di sana, jauh lebih buruk dari saluran sempit yang saat ini menampung tubuh mereka.

Jeruji besi petak menutup jalur keluar mereka. Adoff langsung bergerak cepat untuk menggeser tutup tersebut. Kemudian menarik dirinya sendiri agar bisa keluar dari tempat sempit tersebut.

Saluran udara yang ia masuki, membawa dirinya pada loteng yang cukup terbengkalai. Bubuk mesiu menyeruak dengan tajam ke dalam indera penciumannya. Tempat yang gelap, dingin, serta cukup berantakan.

Adoff segera menyadari kalau tempat yang kini dimasukinya, adalah gudang milik Fane yang biasa digunakan untuk eksperimen bahan peledak. Bangunan yang berdiri cukup jauh dari rumah musim panas yang ditinggalinnya. Terletak lebih tersembunyi di pedalaman hutan.

Niger segera ikut keluar dari saluran udara yang sama dengannya. Pria yang memiliki luka melintang di wajahnya itu terbatuk beberapa kali, mengingat ruangan tersebut memang sangat berdebu.

Gadis yang selalu berdiam di tempat ini memang kurang menjaga kebersihan. Dia lebih memikirkan tentang ledakan, hingga melupakan kenyamanan.

Disusul oleh Grey yang merangkak keluar dari saluran udara yang menempel di dinding. Gadis itu menatap kosong ke arah kedua pria itu. Sama sekali tak mempedulikan pada debu yang menempel di wajahnya.

Untung saja, di samping dinding tempat mereka keluar, ada jendela lebar yang dibiarkan terbuka. Dari situ, udara dingin berhembus menerpa. Memberikan hawa malam yang menyegarkan.

"Baiklah, sekarang apakah kalian lebih memilih untuk kembali ke pondok?" tanya Adoff sambil menatap kedua temannya itu.

"Kurasa, lebih baik berjalan menuju menara pengintai terlebih dahulu. Tempat itu lebih dekat dari sini. Selain itu, dari puncak menara, kita bisa mengetahui keadaan pondok," saran Niger.

Pria bermata biru itu mengalihkan pandangannya ke arah gadis berambut putih keabuan tersebut. "Kalau menurutmu, Grey?" lontarnya.

"Grey sedang tidak ada pendirian," jawabnya, "Namun, pendapat Niger boleh juga." Ia melanjutkan ungkapannya.

Terlihat sorot pandang gusar dari Adoff. Pria itu menatap jendela yang terbuka lebar, membiarkan pemandangan pepohonan yang gelap gulita memasuki penglihatannya. Ia menarik napas panjang, kemudian beranjak bangkit dari posisi duduk di lantai tak beralas.

"Kalau begitu, kalian berdua saja yang pergi ke menara. Aku akan segera menemui teman-teman yang lainnya," ucapnya setelah beberapa saat membiarkan mereka diselimuti keheningan.

Niger langsung ikut berdiri. Pria itu menatap Adoff dengan tajam, sekaligus terkejut. "Jangan bodoh, Adoff! Kita tidak tahu apa yang sedang terjadi di sana. Apa kamu lupa ketika kita masih berada di area bawah tanah, ledakan itu–"

"Aku ingat," potong Adoff dengan tenang. Ia menatap balik pria bersurai hitam legam itu dengan sorot teduh. "Dan aku tidak bodoh," tambahnya.

Tatapan dalam yang dikeluarkan Adoff, membuat Niger membisu. Pasalnya, jika pria bersurai pirang itu sudah bergerak begitu tenang, berarti apa yang dikatakannya sudah bukan bualan semata.

Akan tetapi, Niger tahu kalau keputuasaan yang diambil oleh pemuda itu tidaklah tepat. Tempat yang dituju oleh Adoff, bukanlah tempat aman. Malahan, pria itu bisa saja terbunuh jika tetap berjalan ke sana, apalagi hanya seorang diri.

"Berpikirlah dengan akal sehatmu, Adoff. Lebih baik kita pergi ke menara terlebih dahulu. Saat sudah tahu apa yang mengancam keadaan di pondok, barulah kita menyusun rencana. Lalu pergi ke sana bersama," ucap Niger berusaha menahan agar Adoff tidak pergi ke sana.

Akan tetapi, pemuda beriris biru itu malah memalingkan pandangan darinya. Ia melempar sorot tatapannya ke arah jendela yang terbuka. "Dalam sebuah pertempuran, satu detik adalah hal yang sangat berharga. Lalu, berapa menit waktu yang terbuang untuk sampai di menara?" tolaknya halus.

"Bahkan, detik yang terbuang ketika kita berbicara di sini, jika diubah dalam respons aksi, mungkin saja kita sudah bisa membalikkan keadaan." Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya, terdengar begitu dalam.

Adoff kembali menatap ke arah Niger. "Aku sadar, kalau aku juga mengemban tanggung jawab. Aku tidak mungkin pergi mengambil langkah aman, sementara teman-temanku berjuang secara langsung. Itu munafik, aku tidak menyukainya." Ia menyunggingkan senyum tipis.

"Selain itu, aku juga sudah gagal membantu dalam memintakan pertolongan, ataupun untuk menghubungi Arnt. Aku tidak bisa meninggalkan mereka lebih lama lagi, Niger. Kuharap kamu mau mengerti," lirihnya.

Pria berambut hitam itu menatap Adoff tajam. Iris yang sama hitamnya, menyorot penuh emosi ke arah pemuda bersurai pirang. Ia mendengkus kasar. "Kalau begitu, aku ikut denganmu," desis Niger.

"Tidak," tolak Adoff.

"Cih, mengapa?"

"Kamu tidak akan mampu melakukan banyak hal, dengan wujud yang terlihat dengan jelas," jelasnya.

"Lalu, bagaimana kalau sesuatu juga akan terjadi padamu?"

Pria itu mengarahkan selaput pelangi birunya ke arah lawan bicaranya. Kedua sudut bibir ditariknya, membentuk garis lengkung yang menambah kesan tampan di wajah yang memang sudah rupawan dari sananya. "Kamu pikir, aku tidak bisa menjaga diri?" balasnya santai.

Pertanyaannya dibalas dengan pertanyaan pula, membuat Niger menghembuskan napas pasrah. "Ah, terserahlah," celetuknya malas. "Baiklah, aku dan Grey akan segera menyusulmu setelah menginjak menara." Ia akhirnya mengalah, membiarkan Adoff melakukan apa yang diinginkannya sendiri.

Adoff puas mendengar ungkapan itu. Ia segera berbalik, membelakangi kedua temannya. "Terima kasih," bisiknya, "Aku pergi sekarang," pungkas lelaki itu pada kedua temannya.

Ia segera berlalu pergi, meninggalkan dua orang yang masih menatap punggungnya dengan pandangan ragu, sekaligus cemas. Melewati begitu saja meja besar yang di atasnya terdapat banyak sekali bahan peledak, yang mungkin saja dapat berguna untuknya nanti.

Pria beriris biru itu membuka lebar pintu keluar dari gudang. Ia melesat ke dalam rimbunan pepohonan, secepat mungkin menjauhi bangunan gudang tersebut. Kegelapan memeluknya dari belakang, serta depan. Namun, ia tidak mempedulikan itu.

Matanya seolah mampu menyesuaikan dengan keadaan gelap, membuatnya dapat mengetahui keadaan sekitar walau melihatnya hanya dalam keadaan remang-remang. Tak lupa, ia juga memasangkan hoodie agar menutupi kepalanya. Membuat sosoknya tembus pandang dengan sempurna.

Walaupun di gudang tempatnya berada tadi memiliki banyak bahan peledak, tetapi satu pun tidak ada yang disentuhnya. Atau bahkan diambilnya. Hal itu disebabkan, karena memang hanya Fane, gadis penggemar ledakan yang menciptakan semua bahan peledak di tempat itu, yang mampu mengatur fungsi bom buatannya sendiri.

Hanya ada dua buah senapan yang berisi penuh peluru di dalam kantongnya. Ia mengandalkan benda tersebut untuk bertahan dan menyerang nantinya. Harapan membuatnya berpikiran, kalau semua temannya masih hidup, dan akan dengan siap membantunya.

Itu seperti bukan harapan, melainkan keyakinan. Ia sangat percaya kalau semua temannya yang ada di rumah musim panas itu masih baik-baik saja, sama seperti sebelumnya. Ia sangat yakin akan hal itu.

Adoff terus berlari, menuju pondok rumah musim panas yang sudah menjadi tempat tinggalnya selama ini. Menghampiri teman-temannya. Serta, mendatangi bahaya yang bisa saja mengancam kelangsungan hidupnya.

∅∅∅






Notes :

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian sebagai pembaca di sini. Silahkan tekan bintang (🌟) yang ada di bawah situ, ya. Kritik serta saran juga sangat dipersilahkan. Terima kasih.

Party ✔ [Complete]Where stories live. Discover now