9. Permintaan

21 8 10
                                    

Dia adalah labirin yang gelap. Semakin aku masuk kedalamnya maka aku akan semakin tersesat.

-Through The Dark-

Sepulang sekolah ini, Zee langsung menuju klinik Dokter Anton –atas permintaan Dokter Anton sendiri tentunya.

Zee butuh lima langkah lagi untuk sampai di depan pintu ruangan Dokter Anton ketika pintu itu terbuka dari dalam, dan seorang wanita paruh baya keluar dari sana dengan handphone menempel di telinga.

"Saya ingat. Saya ingat semuanya, Pak Veri, anda tidak perlu repot-repot mengulang."

Zee berhenti. Wanita itu berdiri tepat di depan pintu sementara ia ragu untuk menginterupsi percakapan wanita itu dengan siapapun itu ditelepon.

Wanita itu terlihat gelisah, mungkin orang di telepon itu membawa kabar yang buruk untuknya.

"Tiga bulan. Setelah tiga bulan kami akan membawa Allegra menemui anda, saya berjanji."

Zee semakin bimbang. Ingin menunggu tapi sepertinya percakapan itu tidak akan berakhir dengan cepat, tapi menginterupsi pun rasanya tidak enak.

"Bagaimana bisa?!"

Zee terlonjak kaget. Suara wanita itu naik beberapa oktaf.

"Maaf, tapi satu bulan tidak cukup bagi kami, anda tau kasus seperti ini sangat sulit untuk ditangani! Banyak yang harus kami pertimbangkan, termasuk kesiapan mental Allegra!"

Wanita itu mencoba mengatur nafas, satu tangannya mampir ke kening dan memijat pelan disana. Zee bisa menebak bahwa masalah yang tengah di hadapi wanita tersebut pasti sangat sulit.

"Baik. Saya akan mencoba, satu bulan, tapi kalau setelah satu bulan ini mental Allegra belum siap, saya tidak akan memaksanya. Selamat sore."

Zee langsung menghela nafas lega. Syukurlah, percakapan yang –sepertinya– lebih pantas disebut perdebatan itu akhirnya selesai.

Wanita paruh baya itu berniat kembali masuk ke dalam ruangan Dokter Anton, tapi ketika dia menyadari keberadaan Zee, dia menoleh.

Zee melemparkan senyum sebagai bentuk keramah-tamahan, dan wanita itu mulai mengamatinya, mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tiba-tiba saja, Zee merasa salah tingkah.

Ok, apa yang harus ia lakukan? Atau, apa yang harus ia katakan? Tetap diam saja sambil tersenyum, atau bagaimana?

Zee yakin, wajahnya sekarang pasti terlihat aneh.

"Ze– Zeleya?"

Zee mengerjap. Tunggu dulu, apa wanita itu baru saja menyebutkan namanya? Namanya?! Dari mana wanita itu tau namanya?

Zee berdehem. "Iya..." Kalimatnya menggantung, bingung harus memanggil wanita itu dengan sebutan apa, Kakak? Tante? Ibu?

Wanita itu menghampiri Zee lebih dulu, dengan senyuman ramah. "Nama saya Diana, kamu boleh panggil saya Tante Diana." Begitulah ucapnya ketika sampai di depan Zee.

Zee mengangguk dengan segera. "Ah iya, Tante– Diana tau nama saya dari mana?"

Wanita yang mengenalkan diri bernama Diana itu tertawa kecil. "Masalah itu, bisa kita bicarakan di dalam ruangan Dokter Anton? Kurang nyaman rasanya mengobrol di koridor seperti ini."

Zee hanya mengangguk dan mengekor di belakang Diana. Wajahnya jelas mengatakan bahwa dia tengah bingung dan tidak mengerti apapun.

Pintu terbuka, ruangan yang Zee datangi beberapa hari lalu masih terlihat sama, pemilik ruangan –Dokter Anton– tengah duduk di salah satu sofa sembari mengamati selembaran dengan serius.

Through the Dark   [ HIATUS ]Where stories live. Discover now