6. Alecia Dan Mata Biru

32 9 10
                                    

Dia, dilingkupi kegelapan. Kegelapan yang tak akan mampu diusir sekalipun dengan ribuan lentera.

- Through the Dark -


Zee menghirup udara dengan rakus. Dalam hati merapalkan segala jenis kalimat positif untuk menenangkan dirinya sendiri.

Ia masih berdiri di ujung gang, mencoba memantapkan diri untuk melangkah menyusuri gang sempit yang minim pencahayaan itu. Melihat ke arah ponsel sekilas, mendapati angka 21.21 tertera dengan jelas disana.

Rasa ingin mengutuk guru yang membuatnya pulang begitu malam karena tugas kelompok ini seketika tercokol di hatinya. Hah... Nasib sialnya tak berhenti sampai disana karena benda pipih yang kini berada di genggamannya sama sekali tidak bisa membantu.

Mau meminta Ayah atau Kakaknya untuk menjemput pun ia tidak bisa karena pulsanya habis.

Zee kembali menarik nafas. Kali ini kakinya mulai bergerak maju. Walaupun segala bentuk bayang-bayang menyeramkan menyerang benaknya tanpa ampun, ia tetap bersikeras menerobos gang sempit itu.

Bismillah...

Ia sudah empat belas tahun! Tidak seharusnya menjadi penakut seperti ini.

Zee mengedarkan pandang. Hunian-hunian ditepian gang itu sudah tertutup rapat, tanda bahwa penghuninya sudah tenggelam dalam waktu santai dan istirahat mereka.

Ujung gang mulai terlihat, disanalah rumahnya. Sebentar lagi.. sebentar lagi ia akan berdiri di pekarangan rumahnya yang tak seberapa besarnya.

Tapi kemudian, sorot biru sapphire itu tertangkap retinanya. Spontan, kaki Zee berhenti melangkah. Diamatinya sosok yang bersandar di dinding tinggi bagian samping rumah pak Wira, salah satu orang kaya di daerah ini.

Seketika semuanya menghilang, rumah-rumah warga, tembok tinggi pagar rumah Pak Wira, pun lampu pijar di ujung gang yang menjadi penanda pekarangan rumahnya.

Disana hanya ada dirinya, bersama dengan sosok bermata biru yang terus menatapnya dari jarak lima meter itu. Dia, dilingkupi kegelapan. Kegelapan yang tak akan mampu diusir sekalipun dengan ribuan lentera. Zee mulai merasakan ketakutan itu mendera.

"Well.. well.. I've got surprised..."

"ZELEYA ANDRIANII!!!"

Kelopak mata Zee terbuka lebar seketika, ia begitu terkejut, sampai rasa-rasanya tak sanggup untuk sekedar menarik nafas panjang dan membawa kembali semua kesadarannya.

Dengan wajah linglung, ia mengedarkan pandang. Tepat di depan pintu, wanita paruh baya itu berkacak pinggang, wajahnya sudah menunjukkan raut tak ramah sama sekali.

"Kamu dipanggil dari tadi nggak bangun-bangun! Ayo bangun, mentang-mentang liburan bangunnya jadi siang!"

Tangan Zee terangkat untuk mengusap wajahnya, berharap dengan itu kesadarannya akan langsung kembali. "Iya, Bu, maaf," sahutnya seadanya.

"Abis ini mandi ya, terus sarapan, abis sarapan kamu ke depan, ibu mau minta tolong." Ibu Zee berlalu dari kamar gadis itu tanpa berinisiatif menutup pintu kembali.

Hening. Zee masih duduk bersila di atas ranjang yang berukuran tak terlalu besar itu. Selimut masih menutupi kakinya, sementara pandangannya kosong menyorot lurus pada berbagai kuotes yang menempel di satu sudut dinding kamarnya.

Sosok itu lagi..

Satu tahun berlalu dan bayang-bayang laki-laki bermanik biru itu tak berhenti mengganggu alam bawah sadarnya.

Through the Dark   [ HIATUS ]Where stories live. Discover now