Tidak - Nadia

6 0 0
                                    

Tidak

Hari ini, aku dipaksa menyaksikan pertandingan sepak bola oleh kekasihku. Katanya dia akan bermain di turnamen yang hanya diadakan beberapa tahun sekali ini. Ternyata memang benar-benar turnamen yang spesial, begitupun dengan luka spesial di lututnya. Aku melihatnya. Di tengah stadion tadi, dia terjatuh dengan indahnya. Selain luka di lututnya, aku berani bertaruh pergelangan kakinya juga keseleo sekarang. Aku segera turun dari tribun, menyusulnya di bawah. Mengikuti petugas yang menandunya ke ruang kesehatan. Petugas medis melakukan pengobatan sebelum akhirnya pergi membiarkannya istirahat sendirian. Aku mengamati sekitar sebelum masuk ke dalam. Bahaya jika seseorang melihat 'penonton' masuk. Bisa digrebek satu stadion---mungkin. Setelah memastikan tak ada seorangpun di sini. Akupun segera masuk untuk melihat kondisinya. Di lututnya terlilit perban yang kini sudah berwarna kemerahan akibat Betadine bercampur darah miliknya. Beralih ke pergelangan kakinya, terdapat ice bag yang telah diletakkan oleh petugas untuk mengurangi sakit akibat cidera.

"Sakit?" tanyaku. Entahlah, aku tahu itu sudah pasti sakit. Hanya saja, untuk memulai pembicaraan tak apalah.

Pasya---kekasihku---menoleh ke arahku. Kemudian bangkit dari rebahannya. "Kelihatannya?" Dia balik bertanya. Aku melirik ke arah lukanya. Aku menghela napas, dan diam sejenak menatapnya. Kasihan sebenarnya. Turnamen spesial hari ini hangus sudah, dan akan diadakan lagi entah tahun kapan. Aku juga bisa melihat sedikit guratan kecewa di wajahnya. "Keseleo," katanya pelan.

Dia menunjuk pergelangan kakinya. Ice bag yang tadi menempel, aku ambil dan menggantinya dengan tanganku di sana. Mengelusnya selama beberapa detik, lalu menekannya lumayan keras. Dia memekik, dan melayangkan tatapan protes padaku. Aku menyengir padanya. "Untuk apa aku menonton pertandingan jika pemainnya begini?" sindirku setengah bergurau. Sambil kembali mengompres ice bag tadi di kakinya.

Setelah aku berbicara begitu, kulihat wajah Pasya justru jadi muram. Dia menunduk, tak berani menatapku. Sepertinya dia malu. Memaksaku melihat pertandingannya, tapi dia malah keseleo bahkan di babak pertama.

"Maaf," ucapnya dengan nada bersalah.

Oh Tuhan, aku hanya bercanda. Kenapa dia sangat tidak percaya diri begini? Aku mendongakkan dagunya dengan tanganku. "Kenapa kau menunduk? Jujur saja, aku tidak suka jika memiliki kekasih yang le---"

Aku belum menyelesaikan ucapanku karena dia langsung menyela, "Tidak! Aku tidak menunduk." Dia kini mengangkat dagunya tinggi-tinggi.

Aku tertawa melihatnya. Dia sangat lucu, kan? Kami tertawa bersama di ruangan sepi ini. Sambil masih berpikir keras tentang ucapanku tadi yang sepertinya membuat rasa percaya dirinya berkurang. "Maaf, aku bercanda tadi." Aku tersenyum padanya. "Tak usah kecewa, kau tidak lumpuh dan bisa main lagi lain waktu," lanjutku terkekeh.

"Sebagai penanda kalau kau adalah pemain yang buruk?" Aku merentangkan tanganku, menawarkan sebuah pelukan. Berniat menenangkan hatinya---yang sepertinya masih kecewa. Tapi selanjutnya ia tertawa mendengar perkataanku.

"Serius nih?" tanyanya jenaka. Masih merenggangkan tangan, aku mengendikkan bahuku.

"Aku mencintaimu," ucapnya sebelum membalas pelukanku.

"Aku tidak mencintaimu," balasku tepat di telinganya.

"Kenapa?" Dia terkekeh.

Aku tak menjawab. Biarkan saja dia menebaknya. Apakah sikapku selama ini mencerminkan aku mencintainya? Tidak.

Tidak salah lagi.

By
ZyreXse

Bukan Kepala Yang Kehilangan TubuhWhere stories live. Discover now