*story by Keysha

4 0 0
                                    

Bulan tidak tahu, apakah ini suatu kebetulan atau memang takdir. Bulan juga tidak tahu, mengapa Tuhan mengambil orang-orang tersayangnya tetapi juga sekaligus memberikan pengganti.

.

.

.

"Kita mau kemana?"

Bulan bertanya pada orang tuanya. Saat itu umurnya masih dua belas tahun. Belum mengerti apa itu cinta, belum mengerti kejamnya dunia.

"Kita ke pantai, sayang."

Bulan mengangguk-angguk mendengar jawaban dari ibunya. Waktu itu Bulan masih suka dengan air. Ia suka berenang, menyelam ke dasar kolam, menyapa ikan-ikan di laut. Bulan senang sekali, saat akhirnya ia akan digendong dipundak oleh ayahnya agar bisa melihat ombak.

Namun rasa sukanya tentang air, musnah begitu saja saat kedua orangtuanya di tarik paksa oleh ombak.

"MAMA!!"

Bulan berteriak histeris. Ombak tidak lagi menjadi temannya. Ia benci ombak.

"Bulan, panjat pohon ini sayang."

Ayah Bulan mengangkat tubuh Bulan naik ke atas pohon yang tinggi. Bulan menangis sejadi-jadinya. Ia tidak malu, karena orang-orang disekitarnya juga begitu.

"Tidak apa-apa sayang. Ayo cepat naik."

Bulan bisa melihat ombak semakin dekat dengannya. Saat semakin dekat mengenai kaki putihnya, seseorang menarik tangan Bulan. Hingga akhirnya ia selamat. Tetapi tidak dengan ayahnya. Air berhasil menenggelamkan ayahnya. Sekarang ia sendiri.

"AYAH!TIDAK!"

Bulan meraung-raung memanggil orang tuanya. Seseorang yang menarik tangannya tadi memeluk Bulan, berusaha menenangkan.

"Hai, aku Bintang. Siapa namamu?"

Bintang mengatakan itu saat tangisan Bulan sudah mereda. Bulan menatap orang di sampingnya. Ia jadi teringat, ibunya pernah mengatakan bahwa suatu saat Bulan akan menemukan Bintangnya. Bulan dan bintang selalu bersama.

"Bintang, aku Bulan."

Bulan tersenyum. Sesaat ia melupakan bencana yang terjadi persis di bawah mereka. Saat itu, Bintang juga masih berumur empat belas. Mereka berdua tersenyum lalu berjabat tangan.

Siapa sangka kehancuran yang terjadi justru mempertemukan sang Bulan dan Bintang. Mulai sejak itu, Bulan hanya memiliki Bintang, dan Bintang hanya memiliki Bulan. Mereka tumbuh bersama-sama dibawah takdir Tuhan.

Tahun demi tahun berganti, dan di tempat yang sama mereka akan bertemu. Mengenang bagaimana hilangnya kedua orang tua mereka, sekaligus menjadi tempat awal mereka dipertemukan.

.

.

.

"Bintang, lihat itu!"

Bulan menunjuk kearah atas. Melihat Bulan dan Bintang yang saling menghiasi langit malam. Satu detik ketika pandangan mereka tertuju pada langit, sebuah cahaya muncul.

Bintang jatuh.

Tidak, bukan Bintang yang ini, tetapi bintang yang itu. Yang ada di langit.

"Make a wish, Bulan."

Bulan mengangguk. mereka berdua berdoa di atas tanah, di bawah langit. Berdoa agar keduanya bisa bersama sampai akhir hidup mereka.

Dan Tuhan sepertinya memberkati.

Beberapa tahun kemudian, mereka sudah mengucap ikrar janji pernikahan. Berjanji agar selalu membahagiakan satu sama lain. Berjanji untuk tetap mencintai hingga maut memisahkan.

.

.

.

"Langit, makan dulu sayang."

Anak laki-laki itu berlari sambil membawa mainan pesawat kesayangannya. Ibunya, melayang-layangkan sendok seperti pesawat yang akhirnya mendarat didalam mulut anaknya.

"Anak Papa mau jadi pilot, ya?"

Anak itu mengangguk dengan pertanyaan ayahnya. Mereka adalah sebuah keluarga kecil yang tinggal di perkotaan. Masih dengan kebiasaan lama, setiap tahunnya. Mereka akan datang ke dekat pantai. Dimana awal semua ini terjadi.

Tetapi bedanya, hari ini bertambah satu anggota kecil.

"Di tempat ini Papa dan Mama bertemu?"

Sang anak bertanya. Disusul dengan anggukan kedua orang tuanya. Biarlah Langit yang menjadi saksi bagimana Bulan dan Bintang bertemu.

Bukan Kepala Yang Kehilangan TubuhWhere stories live. Discover now