story by Rani

10 1 0
                                    

Hujan yang memadamkan listrik satu desa menjadi penyebab Afan berjalan menuju rumah sang Kepala Desa. Pasalnya rumah Kepala Desa adalah satu-satunya rumah yang memiliki genset.

Jalan setapak hanya diterangi oleh tempias cahaya rembulan. Sebuah payung di tangan menyerta dan satu buku berada di genggaman.

Tujuannya ke rumah Kepala Desa hanya satu -- mungkin -- yaitu untuk membaca buku pinjaman dari perpustakaan yang besok habis tenggat waktu peminjamannya. Selain Afan, sudah ada beberapa orang yang rupanya ikut bertandang di teras Kepala Desa. Telah menjadi hal yang biasa jika teras rumah sang Kepala Desa menjadi ramai saat listrik padam. Untungnya teras rumah ini luas dan memiliki banyak kursi.

Afan memilih duduk di kursi paling pinggir. Konsentrasinya mulai terfokus pada buku bawaannya. Bulan bergeser sejengkal, tanda malam mulai larut. Satu-persatu orang yang menumpang lampu di teras rumah Kepala Desa mulai pamit pulang. Hanya tersisa beberapa orang termasuk Afan.

"Apa mengganggu jika aku duduk di sini?" sapaan halus itu membuyarkan konsentrasi Afan. Itu Ami, putri kedua Kepala Desa yang seumuran dengan Afan.

Afan dengan cepat menggelengkan kepala. Dirinya terdiam sejenak sebelum menyadari responnya yang begitu canggung. Tangannya menggaruk tengkuk perlahan.

"Buku apa yang kau baca?"

"Ini buku anatomi tubuh manusia, Am. Aku pinjam dari perpustakaan."

"Wah kau mempelajarinya? Apa Afan ingin jadi dokter?"

"Iya, aku ingin jadi dokter. Walau keluargaku tidak mampu membiayai kuliahku nanti dan tidak ada yang mendukungku, aku akan tetap memperjuangkan mimpi ini."

"Aku mendukungmu, Fan."

Afan mengulas senyum. Gelenyar rasa hangat memenuhi rongga dadanya. "Terima kasih, Ami."

"Omong-omong, sudah jam berapa ini?" Afan mencari benda bulat dengan dua jarum penunjuk waktu.

"Setengah sepuluh. Sudah lumayan malam."

"Kenapa kau belum tidur, Am?"

"Aku melihatmu datang tadi pukul tujuh. Tapi masih banyak orang yang membutuhkan tempat ini. Jadi aku menunggu waktu cukup larut."

"Terima kasih sudah mau menungguku, Am. Aku sangat senang kau melakukannya."

Senyuman tipis tersemat di bibir Ami. Entah mengapa perkataan Afan terasa memiliki makna yang lebih dalam. Tetapi Ami tidak ingin membahasnya. Biarkan dirinya merasakan kesenangan yang masih tertahan ini.

"Kembali kasih, Afan."

"Setelah lulus, universitas mana yang ingin kau tuju?"

"Aku ingin ke Jakarta." aku Ami.

"Kalau begitu kau harus semangat, Ami. Karena sainganmu bukan hanya si Rangking Satu di kelas."

"Aku tau. Aku akan lebih giat belajar lagi."

"Bagus."

"Ayo buat perjanjian untuk memacu semangat kita. Saat lulus kuliah nanti, ayo berfoto bersama di Tugu Kuda di pusat kota."

"Baiklah."

Jari kelingking mereka tertaut manis. Menandakan sebuah perjanjian yang mengikat hingga beberapa tahun ke depan. Kali ini biarkan si anak desa menikmati waktu sempitnya dengan sang pujaan hati. Ditemani suara dan aroma rintik hujan yang selalu menjadi obat ampuh untuk menanamkan ingatan.

Bukan Kepala Yang Kehilangan TubuhWhere stories live. Discover now