Bulan Purnama - Dedey

10 0 0
                                    

Bulan itu indah bila di pandang dari kejauhan. Namun, aku tidak setuju akan hal itu. Kenapa? Karena seperti yang kusaksikan sendiri jika menatap bulan baik dari jarak dekat maupun jauh, dia tetap indah. Bahkan semakin indah saat kutatap dari jarak yang sangat dekat.

Bukan cuma indah, dia juga memiliki hati bak malaikat, tetapi bukan malaikat pencabut nyawa, ya. Dia baik, sangat baik. Dia adalah Bulan Purnama. Iya, itu nama lengkapnya. Tetapi, sebenarnya nama itu tak berarti apa-apa bagiku karena bagaimanapun dia tetap kupanggil dengan sebutan 'sayang'.

“Ambil aja baju yang paling mahal, Sayang!”

Kini aku dan Sayang, eh, maksudku Bulan sedang berada di sebuah butik langganannya. Nanti malam, kami hendak menghadiri acara reuni angkatan sekolah SMA kami dulu. Aku ingin dia tampil cantik, apalagi kami masih terbilang pengantin baru walaupun sudah hampir tiga bulan menikah, itu sebabnya aku ingin dia membeli pakaian yang paling mahal di butik ini.

Dia menggeleng tidak mau. Sudah kubilang, kan, dia mempunyai hati yang sangat baik. Bahkan dia tak ingin menghabiskan uangku hanya untuk sebuah pakaian mahal. Padahal, siapa lagi yang akan menghabiskan uangku jika bukan dia?

“Kamu mau ke mana?” tanyaku saat dia hendak pergi meninggalkanku.

“Mau mencoba baju ini,” katanya seraya menunjukkan sebuah gaun yang dipegangnya.

Aku mengerutkan dahiku, gaunnya memang cantik tapi menurutku itu sedikit terbuka. Lalu aku pun mengambil sebuah gaun yang menurutku cantik dan cocok untuknya.

“Kamu sepertinya lebih cocok pakai ini!” Aku menyerahkan gaun itu pada Bulan.

Dia terlihat menghela napasnya namun tetap memaksakan senyumnya. Itulah, yang membuat Bulan sangat istimewa.  Dia pun mengambil gaun yang kuberikan dan membatalkan gaun yang dipilihnya sendiri.

Setelah beberapa menit, Bulan keluar dengan memakai gaun pilihanku. Aku terpana, untuk kesekian kalinya aku jatuh cinta lagi padanya. Dia benar-benar sangat cantik, rasanya aku tak ingin ada yang melihat kecantikannya.

“Bagaimana?” tanyanya padaku. Apalagi yang bisa kukatakan jika dia sudah secantik ini?

Aku tersenyum lalu melangkahkan kakiku mendekat padanya. Kutatap dalam matanya seolah tak ingin melepaskannya.

“Tak ada yang bisa menandingi kecantikan istriku.” Aku membisikkan kata-kata itu di telinganya. Dia tersenyum malu-malu membuatku semakin gemas ingin cepat-cepat membawanya pulang agar aku bisa bermesraan dengannya.

Cup!

Aku refleks mencium pipinya. Dia terlihat terkejut, menatapku sejenak lalu menatap sekitar memastikan bahwa tidak ada orang yang melihatnya.

Bulan memukul lenganku pelan. “Kalo ada yang lihat gimana?” Dia tampak memarahiku.

Aku tertawa, aku melakukannya karena aku tahu tidak ada orang di sekitar sini. Lagipula, jika ada yang melihatnya pun aku tidak perduli. Bulan adalah istriku, aku tidak akan masuk penjara hanya karena mencium pipi istriku di tempat umum.

Setelahnya, kami pun memutuskan untuk pulang. Sekarang, Bulan sedang memasak di dapur, padahal aku tadi mengajaknya untuk singgah makan di rumah makan saja. Tetapi dia menolak, katanya masakannya jauh lebih enak dan dijamin lebih sehat.

Aku setuju, bukan cuma masakannya tetapi juga orangnya. Buktinya saja mau bagaimana lelahnya pun aku pulang bekerja, jika aku sudah melihat wajah istriku, lelah yang aku rasa akan lenyap begitu saja.

Sudah sepuluh menit tetapi Bulan tak kunjung memanggilku. Aku pun turun dan langsung menghampirinya. Dia belum menyadari kedatanganku. Refleks aku memeluknya dari belakang, sengaja ingin mengganggu aktivitasnya.

“Bagaimana caranya aku bisa memasak jika kamu menggangguku?” ujarnya namun masih membiarkanku memeluknya.

“Aku lapar tapi aku lebih kangen kamu. Gimana, dong?” kataku dengan nada yang sangat manja.

Dia tertawa renyah dan aku sangat menyukai tawa itu. Setelah itu, Bulan mematikan kompor lalu melepaskan pelukanku dan berbalik menatapku.

“Sekarang kamu pilih, nahan laper atau nahan kangen?” Dia mengatakannya dengan senyum yang sengaja.

Aku mendecak, bagaimana bisa aku memilih? Sedetik kemudian ide jahil pun terlintas dalam pikiranku.

“Nahan laper aja, deh. Soalnya kalo nahan kangen lebih gak enak.”

Dia terlihat mengerutkan dahinya, aku pun melanjutkan ucapanku memperjelasnya.

“Kalo kangennya teratasi, kan, aku bisa makan kamu. Kalo udah makan kamu, otomatis aku bisa kenyang.” Aku tertawa mengatakannya. Begitu juga dengan Bulan yang melototkan matanya padaku.

“Dasar mesum.”

Aku tertawa lagi. Sepertinya aku sedang di mabuk cinta istiku. Aku sangat suka menggoda Bulan. Tidak, bukan hanya menggodanya, banyak hal yang kusukai jika mengenai tentang Bulan. Singkatnya, aku sangat mencintai Bulan. Bulan adalah hidupku dan tidak akan ada yang bisa menggantikan Bulan di sisiku.

—END—

Bukan Kepala Yang Kehilangan TubuhWhere stories live. Discover now