05.03 Surat : Kontrakan Sambung

Începe de la început
                                    

"Ayo, bantuin turun barangnya."

Gadis itu tersenyum mencoba menyamarkan rasa sedih yang menerpa. Secuil hatinya dicubit masih berharap dirinya dicari.

Tapi memangnya siapa yang mau mencari?

"Bibi bakal sering-sering telepon kamu," ujar wanita itu membawa kardus-kardus masuk ke dalam rumah.

"Bibi minta maaf tiba-tiba ngejual rumahnya tanpa kasih tahu kamu."

Ciera hanya membalas dengan senyum kecil, toh, dia tahu, mau seberapa kuat pun dirinya bilang tidak rela, bibi akan tetap menjual rumah itu. Lagian itu bukan rumahnya, itu rumah milik nenek yang sepenuhnya diserahkan pada bibi setelah kematian menjemput. Ciera hanya manusia yang menumpang tinggal di sana, syukur-syukur tanpa biaya sewa.

"Gapapa, itu kan memang punya bibi."

Wanita itu menoleh, melihat ke arah Ciera yang tengah menyingkap tirai jendela, berjalan menuju rak menyusun sepatu di samping pintu. Rumah itu kecil, telah dibersihkan sebelumnya oleh pemilik kontrakan, jadi keduanya hanya perlu menyusun barang-barang.

"Ciera."

"Iya?"

"Kamu gak marah?"

Gadis itu melirik dari ujung mata, masih sibuk dengan urusannya. Bohong jika mengatakan bahwa ia rela rumah tersebut dijual. Ada begitu banyak hal yang membuatnya ingin menangis tidak bisa pulang kembali pada bangunan yang menyaksikan ia tumbuh.

"Buat apa?" tanyanya, beranjak mengeluarkan penanak nasi listrik menaruh di atas meja.

"Aku gak berhak buat apapun," katanya menampilkan senyum lebar, dengan kedua mata menyipit, berusaha menampilkan ekspresi tulus tersebut, meski hatinya mencelos meringis ingin menangisi semua hingga mata membengkak. Dadanya terasa agak sesak, menjadikan ia agak susah menarik napas. Tapi ia harus tetap berpura-pura.

Bibi mengangguk berpindah ke kamar menyusun pakaian-pakaian Ciera di dalam lemari sana.
Senyum Ciera memudar, ia bersandar pada tembok mencoba merasakan sensasi dingin. Menengadah mencoba agar air mata tidak turun begitu cepat, mengigit bibir bawahnya dalam diam.

"Ciera."

"Iya?"

"Kamu mau makan apa? Bibi mau keluar beli makanan."

"Apapun yang penting makan deh."

"Ciera."

"Iya?"

Bibi terdiam beberapa saat pada ambang pintu.

"Bibi bakal balik nanti malam, bibi udah pesan tiketnya."

Ciera mengangguk paham, tersenyum.

"Bibi, keluar sebentar dulu. Nanti kita lanjutin."

Pintu rumah ditutup, sepasang manik coklat kelamnya menatap kosong, napasnya tercekat, tubuhnya melorot jatuh.

"Aku, kenapa aku?" gumamnya tidak jelas memegang kepala menyingkirkan suara-suara mengerikan dari sana.

Surat Untuk JanuariUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum