🔆𝕾𝖊𝖘𝖚𝖆𝖙𝖚 𝖞𝖆𝖓𝖌 𝖙𝖆𝖐 𝖉𝖎𝖘𝖆𝖓𝖌𝖐𝖆🔆

68 19 2
                                    

Rasa penasaran selama ini terbayar dengan kehadiran perempuan yang ada di depannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rasa penasaran selama ini terbayar dengan kehadiran perempuan yang ada di depannya. Bayang-bayang yang datang seperti dalam mimpi ternyata tak seperti kenyataan sekarang.

Irsyad menatap kembali apa yang dilihat, takut matanya tak bisa melihat secara sempurna, efek seharian menatap layar monitor. Apa yang barusan ia lihat ternyata tidak berubah.

“Ini?” Satu kata yang lolos dari bibir Irsyad karena ia tak bisa lagi mengeluarkan ribuan kata yang sudah dihafalkan semalaman, pada akhirnya ia sama sekali tak bisa terlelap.

Hati rasanya seperti menertawakan raga yang mati dan mendadak kaku karena bertemu dengan seseorang yang tak sesuai ekspektasi.

“Iya,” balas perempuan berkulit putih dan memakai kaca mata dengan bingkai warna hitam.

“Lulusan mana?” Irsyad lebih memilih menanyakan itu dibandingkan nama lawan bicara, padahal ini lebih penting.

“Freie Universität Berlin.”

“Ambil kedokteran?” tebak Irsyad sambil melirik jas putih yang masih dikenakan perempuan itu.

Anggukan penuh semangat dan dibarengi senyum bulan sabit dari perempuan yang sekarang duduk berdampingan dengan Irsyad. Cuma posisi mereka saling berjauhan, masing-masing duduk di ujung kursi.

Riak air mancur di tengah kolam kecil dan semilir angin sore, mewarnai pertemuan dua orang yang tak saling mengenal sebelumnya.

Irsyad masih bungkam, pikiran melalang buana,  mencari kalimat yang tepat untuk mundur dari tempat ini dan juga mundur dari permintaannya kemarin. Namun, entah mengapa raga sulit sekali digerakkan karena pandangan selalu  tertuju ke depan.

“Maaf kalau kedatangan saya sedikit telat karena tadi sempat ada jadwal mendampingi beberapa pasien radioterapi.”

Irsyad hanya mengangguk, diam-diam mencuri perhatian ke samping. Aura perempuan di samping terlihat berbeda, berkelas, dan dari nada bicara juga terdengar sangat wibawa. Mungkin saja di tempatnya bekerja mempunyai jabatan yang tinggi. Pendidikan sampai Jerman, bahkan orang yang ditangani juga bukan pasien biasa, melainkan pasien yang terkena kanker. Namun, rasanya masih sulit dan tidak bisa menaruh rasa suka pada sosok ini.

Kenapa rasa saat hatinya berbunga-bunga ketika menerima kiriman kemarin, tak bisa dirasakan sekarang. Ke mana hilangnya debar jantung, bibir yang selalu bersenandung dan bersiul?

“Kenapa kita baru dipertemukan sekarang? Andai saja kita bisa bertemu saat masih di sana?”

Irsyad hanya membalas dengan senyum terpaksa. Jika mereka ketemu lebih dulu saat di sana, mungkin pertemuan ini lebih baik tidak terjadi. Laki-laki itu menyandarkan tubuh pada sandaran bangku kayu. Mata menatap langit Jakarta yang sekarang sering memerah saat senja datang.

Sebenarnya perempuan  yang tingginya hanya sebahu Irsyad dan berat badan yang mungkin menyentuh angka 70 kilo, bukanlah perempuan yang sangat buruk. Dia termasuk orang cerdas dan gampang beradaptasi dengan siapa saja, termasuk dirinya. Mungkin ia dokter yang disegani, bisa memberikan semangat pada pasien yang sudah pasrah dengan hidup karena usia yang tinggal menghitung hari.

“Apa betul kertas di dalam botol itu benar tulisan Anda, Tuan Irsyad?” tanya perempuan itu karena sedari tadi dirinya yang paling aktif bertanya. Sayangnya lawan bicara di samping hanya menjawab sepatah atau dua patah kata saja, deheman lirih bahkan senyuman terpaksa.

Irsyad menahan rasa terkejutnya. Ingin rasanya amnesia karena telah menulis ajakan menikah dengan orang yang tak dikenal. Sedari tadi berharap jika perempuan berinisial A ini tak membahas masalah isi dalam botol.

“I-iya,” balas Irsyad dengan gugup. Tubuh bergerak tidak jelas, laki-laki itu sangat panik, membuat perempuan di samping seketika melirik dan tersenyum kecil.

“Bagi saya, Anda adalah laki-laki hebat. Berani mencintai dan menerima seseorang yang sama sekali belum pernah ditemui dan dikenal. Jarang saya menemukan laki-laki seperti Anda.   Apalagi tanpa melihat fisik terlebih dahulu, langsung pada tujuan utama yaitu menikah—ibadah terlama sepanjang hidup.”

Irsyad meneguk air liur karena cukup terkejut dengan pembicaraan barusan yang terkesan formal. Bukan terasa seperti dua orang yang menaruh rasa suka. Bagi Irsyad ini adalah sindiran sangat telak. Andai saja, yang di sampingnya tahu bagaimana gejolak hatinya. Bukan karena debaran  cinta melainkan rasa ingin mundur, mengakhiri semua kebodohan, dan melupakan seolah tak terjadi apa-apa.

“Di saat beberapa orang mengajak perempuan dengan jalan taaruf terlebih dahulu untuk mengambil keputusan, tetapi tidak dengan Anda. Saya sangat salut,” imbuhnya lagi.

Irsyad hanya meringis dan menautkan kedua alis karena terjebak pada posisi ini. Ia tak bisa berkata apa-apa, alias kalah telak. Entah mengapa yang orang yang selalu berkirim makanan terus berbicara perihal pernikahan, seakan tanggal yang ditetapkan sudah di depan mata. Padahal dari lisannya sendiri belum menyinggung hal yang lebih ke tahap lebih serius lagi.

“Lantas, kapan Anda bersama keluarga mau datang ke rumah?”

Tubuh Irsyad sedikit melorot ke bawah, untung saja kedua kaki masih bertumpu pada rerumputan agar raga tak terjatuh. Ini pertanyaan yang sangat memaksa dan mengharuskan dirinya  menyerah pada takdir yang sudah tertulis.

Kedua tangan menyentuh wajah, kedua mata dipejamkan sangat rapat. Ia berhasil menghadirkan  bayang-bayang siluet hitam yang terus datang dalam mimpi, saat kedua matanya tertutup.

‘Ya Allah semoga apa yang ada dalam mimpi berubah menjadi nyata,’ pinta Irsyad dalam doa terakhir sebelum mengambil keputusan paling berat.

“Sekarang saya tanya balik? Apa Anda mau menerima laki-laki seperti saya?” tanya Irsyad dengan berat hati. Ia kembali berdoa agar setelah pertemuan ini, perempuan di samping akan bimbang dan menolak keputusan di awal.

“Eh, kok saya? Kalau saya pasti menolak karena selera saya bukan seperti Anda.”

Bagai mendapat angin segar, senyum yang dari tadi tersimpan seketika langsung menghiasi wajah Irsyad. Ia seakan bebas dari belenggu tekanan yang mengimpitnya.

“Sebentar saya tanya kepada Azkia. Lebih baik kalian berdua bertemu dan bicara langsung karena kalian  yang akan menikah, bukan saya,” sahut Anisa meraih ponsel di tas kerja berlogo rumah sakit ternama di daerah Jakarta.

Irsyad seketika syok bukan main. Tubuhnya yang tadi mendadak lemas seketika langsung berdiri dengan wajah bukan main panik. “Ja-di, Anda bu-kan orang yang saya mak-sud?” tanya Irsyad terbata-bata, efek terkejut.

Dokter Anisa seketika menggoyangkan telapak tangan. “Bukan. Saya sahabatnya Azkia—orang yang selama ini menulis balasan di botol dan mengirim makanan untuk Anda. Tunggu sebentar. Saya telepon dulu, tadi dia ada di sini,” sahut Anisa yang terus gagal menghubungi sahabatnya. Entah ke mana perempuan itu pergi, padahal dia sudah menyuruh untuk bertahan di tempat ini dan jangan pergi jauh.

‘Sialan!’ jerit Irsyad dalam hati karena marah. Ia merasa seperti dipermainkan. Entah mengapa kedua kaki bergerak kian kemari. Mata melihat sekitar berharap bertemu dengan perempuan yang menjadi secret admirer-nya.

“Di mana kamu?” Irsyad setengah berbisik dengan langkah yang sudah berganti berlari kecil. Sayangnya, tidak menemukan siapa pun.

Sementara itu, seorang perempuan yang sedari tadi bersembunyi dari balik tanaman langsung berlari cepat menggapai pintu kecil di samping taman. Napas masih memburu, mulut sedikit terbuka untuk mengatur napas. Tangannya menepuk dadanya yang sesak karena berlari. Untung saja di depan sana ada mobil milik Ray. Tanpa pikir panjang lagi, Azkia masuk dan duduk di samping laki-laki itu.

“Cepat jalan!”

Dreams Come True Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang