🔆𝕻𝖊𝖗𝖒𝖎𝖓𝖙𝖆𝖆𝖓 𝕴𝖗𝖘𝖞𝖆𝖉 🔆

66 21 2
                                    

Embun pagi yang sepenuhnya belum hilang tak menyurutkan langkah Irsyad menuju kantor

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Embun pagi yang sepenuhnya belum hilang tak menyurutkan langkah Irsyad menuju kantor. Berbalut sweater  warna cokelat gelap untuk menutupi kemeja putih yang dikenakan, jas hitam terpaksa ia pegang bersama tas kantor yang berisi laptop. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah, jam enam pagi sudah berada di tempat kerja.

Laki-laki itu duduk di sofa lobi. Suasana masih sepi, orang yang menjadi penghuni meja resepsionis belum datang. Dari semalam sama sekali tak bisa memejamkan mata berharap Novita memberi kabar baik untuknya.

Setengah jam berlalu begitu lambat, yang ditunggu belum saja datang. Irsyad menghirup aroma kopi yang sudah disediakan seorang office boy untuknya, lalu menyesap minuman pahit untuk sedikit menghangatkan tubuhnya. Telinga mendengar suara langkah sepatu memasuki lobi yang masih terasa sunyi. Irsyad menatap pintu, mata berbinar karena yang ia tunggu sudah di depan mata, tengah menatap ke arahnya. Hati seketika bahagia, ibarat baru saja memenangkan hadiah lotre.

“Bagaimana hasilnya? Sudah dapat orang inisial huruf A itu? Terus apa kata dia? Kapan bisa ketemu sama saya?” Pertanyaan berondong laki-laki itu berikan dan sudah tak sabar dengan jawaban Novita.

Perempuan yang berdiri itu hanya bisa menunduk, bibirnya seketika bungkam karena sejujurnya ia tak pernah berbohong, apalagi di depannya adalah orang nomor dua di perusahaan ini. Bisa jadi jika ada salah kata atau menyakiti hati, yang ada pekerjaannya menjadi taruhan.

“Maaf, Pak. Dari kemarin saya istirahat karena tidak enak badan,” ucap Novita akhirnya terpaksa harus berbohong.

Ucapan Novita seketika membuat Irsyad langsung kecewa. Padahal ia berharap jika hari ini akan membuahkan hasil. Irsyad sendiri bisa menangkap ada sesuatu yang tidak beres pada wajah yang selalu menyembunyikan dan mengalihkan tatapan. Bukan seperti gadis lugu dan ceria yang biasa ia temui.

“Baiklah. Anggap saja saya tidak pernah menyuruh sesuatu sama kamu.” Laki-laki yang sudah kecewa karena terlanjur berharap, melangkah lesu kembali duduk di sofa. Mungkin saja harus dirinya langsung  yang memecahkan teka-teki ini. Andai saja mempunyai nomor telepon secret admirer itu mungkin saja tak serepot ini.

Hampir satu jam, laki-laki penyuka kopi masih bertahan di sofa lobi. Sedari tadi hanya mengetuk-ngetukkan kakinya di permukaan lantai keramik yang dingin. Ia memejamkan mata, lalu membukanya. Mengulang seperti itu terus menerus dengan otak yang  berpikir keras bagaimana bisa menghubungi secret admirer itu.

Sayangnya, Irsyad tidak paham jika selama ini banyak orang-orang yang mengintai dirinya. Bukannya melanjutkan aktivitas di kantor, ia malah bergegas pergi begitu saja. Melewati sang resepsionis yang masih bertanya-tanya ke mana atasan itu pergi.

“Maafkan saya, Pak. Bukannya saya tidak mau memberi tahu, tapi takut bapak kecewa jika nanti ketemu Mbak Anisa yang tidak sesuai impian Bapak,” lirih Novita merasa bersalah karena sudah berbohong.

Resepsionis itu sangat paham bagaimana standar atasan seperti Almira, perempuan cantik yang wajahnya sering berseliweran di televisi. Namun, sekarang namanya agak redup karena berita kematian ayahnya yang tidak wajar.

Baru juga Novita menatap agenda yang berisi kunjungan ke perusahaan tiba-tiba dikagetkan kemunculan laki-laki lain dari balik pintu, ia berjalan cepat mengikuti ke mana atasannya pergi.

**

Taman kota menjadi tujuan Irsyad selanjutnya. Entah ide dari mana datang. Ya, ia kembali menulis permintaan nomor telepon secret admirer itu. Sedikit terasa aneh baginya, tetapi siapa tahu perempuan itu akan kembali ke taman untuk mengecek balasan pesan darinya.

Irsyad hanya bisa termenung, duduk di bangku kayu. Ia memandangi langit Jakarta yang kelabu. Pernah berkeinginan duduk berdua bersama perempuan yang namanya terukir di hatinya sampai maut memisahkan. Laki-laki itu sangat percaya jika tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Allah sudah membuat rencana ini jauh-jauh hari tanpa sepengetahuan makhluk-Nya.

Mobil hitam yang ditumpangi Ray terparkir di belakang mobil milik Irsyad. Laki-laki itu tak turun, hanya mengamati sahabatnya yang tengah menulis sesuatu untuk dimasukkan kembali ke dalam botol. Ray sendiri tertawa penuh kemenangan. Ia meraih sesuatu dari kantong celana. Tangan dengan lincah mengutak-atik layar ponsel untuk menelepon seseorang.

“Dia sudah terjebak dengan umpan yang kita berikan. Tunggu saja waktu yang tepat untuk mempertemukan mereka,” sahut laki-laki itu tersenyum penuh kemenangan.

***

Dua orang gadis menuruni mobil dengan sangat hati-hati karena jalan di depan mereka sangat licin. Gadis yang memakai cardigan warna abu-abu terpaksa merapatkan apa yang ia pakai karena hawa dingin menusuk ke dalam tulangnya.

“Yakin kita ke sini?” tanya gadis satu lagi melihat sahabatnya yang tengah memegang tangannya dengan erat. Wajahnya terlihat putih pucat. Ada rasa keraguan untuk mengajak ke taman ini untuk sesuatu hal yang tak begitu penting.

“Pasti, dong?” sahutnya bersemangat, kentara senyum mengembang di bibirnya yang mulai mengering.

“Sepertinya hujan mau turun kembali. Udara seperti ini tidak baik untuk kesehatan kita?”

“Sebentar saja. Cuma mau memastikan pesan dari dia. Semoga ada kabar baik.”

Gadis di sebelahnya hanya mengangguk. Ia menatap suasana taman kota yang sepi karena sebagian orang memilih bertahan di tempat teduh karena rawan akan turun hujan lagi mengingat awan hitam semakin mendominasi langit.

“Sebentar lagi sampai.”

Kedua orang itu berjalan pelan menuju bangku kayu tengah taman bunga, tempat favorit para pengunjung. Gadis berwajah pucat menggigit bibirnya. Rasanya tubuh sangat lemah mengingat nafsu makannya yang menurun drastis karena masalah pelik yang sedang dihadapi. Butuh tenaga ekstra untuk berjalan yang tinggal beberapa langkah lagi menuju bangku.

“Alhamdulillah sampai!” pekik keduanya berteriak sangat senang. Apalagi untuk gadis berkerudung itu sudah tak sabar membaca pesan dalam botol. Mereka sengaja kemari karena info dari seseorang. Rasa penasaran yang melanda hebat membuat mereka berdua mengabaikan takut akan datangnya hujan.

“Coba cari di sekitar sini!” perintah gadis satu lagi yang tengah mengatur napasnya akibat kelelahan berjalan menuju tempat yang ia duduki.

“Sebentar. Aku cek dulu.”

Tangan dengan lincah menyibak bunga-bunga untuk mencari sebuah benda. Ada rasa penasaran karena sepertinya apa yang ia temukan tidak ada.

“Sepertinya tidak ada, deh.”

Gadis yang duduk di bangku terkejut, merasa tidak percaya. Ingin rasanya ia bangkit untuk ikut mencari, tetapi pergelangan kaki yang merasa letih membuatnya hanya bisa bertahan di tempat yang diduduki.

“Pasti ada deh. Menurut informasi botol itu ada di sini.”

“Sebentar aku cari lagi,” balas gadis itu mencari di belakang bangku. Matanya berbinar seketika tatkala menemukan botol dibalik bungkus snack yang dibuang sembarangan. Benda dari plastik itu kali ini berbeda dengan kemarin. Sekarang, berwarna abu-abu sama seperti cardigan sahabatnya.

“Alhamdulilah ketemu. Ayo buka.” Suara di belakang berseru.

Tangan yang sedikit gemetar membuka botol dan gulungan kertas di dalam. Mata sempat terpejam sebentar karena rasa panik luar biasa.

“Apa katanya? Apa yang dia tulis?”

Gadis itu menghirup napas dalam-dalam. “Irsyad memintaku untuk meninggalkan nomor telepon. Ia juga meminta untuk bertemu sebelum orang tuanya datang ke rumah untuk acara lamaran.”

Dreams Come True Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang