🔆𝕭𝖊𝖗𝖘𝖆𝖓𝖙𝖆𝖕 𝖉𝖊𝖓𝖌𝖆𝖓 𝖐𝖊𝖓𝖆𝖓𝖌𝖆𝖓 🔆

81 27 9
                                    

Irsyad termenung di dalam ruangan yang sengaja disetel suhu AC secara maksimal untuk mendinginkan hati yang panas dan berkecamuk hebat. Impiannya adalah bekerja secara maksimal setelah ilmu yang ia dapat selama di kota  Karlsruhe. Namun, impian tak selalu berjalan mulus. Ada saja halangan untuk mencapai itu. Irsyad baru tersadar karena keinginan itu hanya berakhir dalam mimpi saja.

Irsyad sendiri apakah akan kuat jika harus bertatap muka terus menerus dengan Ray. Ingin rasanya pergi dari perusahaan ini. Mungkin bisa mengikuti jejak rekan-rekannya yang sudah sukses. Laki-laki itu pernah berkeinginan mendirikan perusahaan startup yang sedang memelesat beberapa tahun ini. Banyak founder startup di negeri ini yang mampu mendongkrak perekonomian di bidang era digital.

Namun, apa kata Mamah dan Om Rio jika dirinya hengkang dari perusahaan ini? Apa harus mengeluarkan Ray agar bisa nyaman dalam bekerja? Namun, apa jadinya nanti Almira mempunyai suami pengangguran? Bisa jadi  perempuan itu semakin menderita.

Tiga jam berlalu begitu cepat, tidak ada yang dikerjakan selain menatap laptop yang menampakkan wallpaper gambar dirinya saat di RWTH Aachen. Dengan langkah lunglai, Irsyad berjalan menyusuri lorong menuju resto kecil yang disediakan untuk para petinggi di perusahaan ini. Sementara untuk karyawan biasa sudah disediakan kantin yang sangat luas untuk menampung seluruh karyawan di sini.

Setelah memesan soto ayam yang menjadi favorit menu di resto, Irsyad berjalan menuju meja kosong di pojok resto. Meja yang sengaja ditempatkan dekat jendela kaca agar pengunjung bisa menikmati pemandangan selama pesanan sedang disiapkan.

Dari ujung pintu resto sebelah utara, masuklah sepasang kekasih yang saling bergandengan tangan. Usia pernikahan yang baru beberapa hari, cukup membuat mereka bisa menerima satu sama lain. Semua meja penuh, kecuali yang ada di pojok sana. Mau tak mau mereka berdua bergabung dengan laki-laki yang sedang termenung sendiri.

Perempuan yang hendak menuju meja itu hanya menggeleng lemah, tampak dari belakang sangat jelas sekali siapa yang duduk di sana. Laki-laki yang tengah terpuruk karena patah hati olehnya. Bagaimana bisa melupakan jika Ray terus membawanya ke sini, bertemu terus menerus dengan Irsyad.

“Please, jangan?” pinta Almira menghentikan langkah dan menggoyangkan lengan Ray. Perempuan berbalut sweater warna abu-abu memilih menahan lapar daripada menyantap makanan bersama yang pernah menjadi kenangannya.

“Tak apa, toh kita hanya makan,” balas Ray singkat sambil meneruskan beberapa langkah lagi ke meja itu.

Almira hanya memejamkan mata sambil meraba apa yang akan terjadi nanti. Mungkin kata Ray  ini sebatas makan-makan saja. Namun, kisah Almira dan Rayhan terjalin setelah pertemuan mereka di kantin kampus.

“Kosong?” tanya Ray menatap Irsyad. Suatu kesempatan bisa membuat Irsyad semakin panas dan meradang, apalagi sekarang Almira tengah bersamanya.

Irsyad hanya menatap sekilas sebelum tatapan kembali pada langit Jakarta yang biru. Cukup terkejut juga siapa yang datang bersama Ray. Pura-pura tidak menggubris bahkan menjawab pertanyaan barusan. Namun, suara derit kursi sudah mengisyaratkan jika jam makan siang akan berakhir menyedihkan. Ingin rasanya berlari meninggalkan mereka berdua, sayangnya tidak bisa. Irsyad sudah telanjur memesan makanan dan saat acara penyambutan tadi pagi, ia tidak menikmati hidangan sama sekali.

“Mau makan apa, Sayang?” tanya Ray dengan suara dibuat-buat semesra mungkin. Suara yang agak keras agar selain Almira cukup mendengar ucapan barusan.

Almira hanya bisa diam. Mata tertuju ke bawah. Dua kali Ray mengulang pertanyaan yang sama tetapi belum juga ada jawaban. Sampai akhirnya Ray mencolek lembut lengan Almira. Baru hendak membuka mulut, tiba-tiba ada suara lain yang menimpali ucapan Ray.

“Soto ayam dan es teh tawar.”

Almira hanya bisa menggigit bibir merahnya. Irsyad masih paham apa yang menjadi menu favoritnya. Perempuan itu semakin terpojok, apalagi Ray terus menatapnya.

“Mau pesan apa?” tanya Ray sekali lagi dengan gusar. Seperempat jam lagi, istirahat makan siang sudah habis dan dirinya sudah kembali bekerja. Ia tak mau kebersamaan dengan Almira terbuang percuma.

“Sama yang seperti dikatakan Irsyad barusan,” ucap Almira lirih. Salah siapa Ray sengaja berbuat seperti ini. Ada rasa canggung ketika mengucapkan nama itu di hadapan suaminya.

Ray pergi begitu saja tanpa sepatah kata apa pun lagi. Suasana mendadak canggung, Irsyad mengabaikan perempuan itu.

“Bisakah untuk ke depannya kita bisa dekat layaknya teman dan mengabaikan rasa yang pernah ada?” pinta Almira lirih.

Irsyad tergelak, bukan karena ada yang lucu tapi permintaan itu sangat aneh. Pura-pura tertawa tetapi tidak dengan hatinya, sakit seperti ditusuk sebuah pisau.

“Bagaimana bisa lupa jika apa yang menjadi favorit dan apa yang kamu benci, aku tahu semuanya,” balas Irsyad membuat Almira merasa terpojok. Waktu terasa berjalan sangat lamban. Bagi Almira, rasanya waktu seperti memihak kepada Irsyad karena laki-laki tampak biasa saja, tak seperti dirinya yang dilanda kepanikan luar biasa.

Untung saja karyawan resto datang memecah kesunyian. Satu mangkuk soto ayam terhidang di depan Irsyad. Almira melirik ke arah makanan itu yang mengundang perhatiannya.

“Sengaja memesan itu untuk mengingat aku?” tebak Almira.

Lagi-lagi Irsyad tersenyum, kebersamaan yang baru beberapa detik ternyata mampu membuat hatinya porak-poranda.

“Jangan lupakan kalau ini adalah makanan favorit aku juga,” balas Irsyad sambil membubuhkan beberapa sendok berisi sambal pada hidangannya.

Tangan Irsyad menggeser mangkuk itu menuju depan Almira, membuat perempuan itu menahan napas karena secara tidak langsung mereka berdekatan. “Silakan makan?”

“Bukankah—“

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari belakang mereka, membuat Almira tak jadi meneruskan ucapannya. Ketegangan yang terjadi membuat Almira tak menyadari kedatangan Ray.

“Sayang? Ternyata soto sudah habis,” seloroh Ray sambil membawa dua botol air mineral. Ketika menatap meja, sekarang gantian Ray yang terkejut karena sudah terhidang makanan yang menjadi favorit istrinya.

“Selamat makan,” pamit Irsyad bangkit dari kursi. Sepertinya siang ini, perutnya akan diajak kompromi untuk tak diisi makanan lagi.  Laki-laki itu berjalan menuju ruang di sebelah resto, sengaja  tempat itu tak terpasang AC karena digunakan beberapa laki-laki untuk merokok. Hal yang sudah lama Irsyad tinggalkan tetapi detik ini juga kembali menyentuh benda yang bernama rokok.

Waktu sudah menunjukkan jam untuk kembali bekerja. Semua orang sudah berada di tempat masing-masing. Irsyad berjalan lunglai menuju meja kantornya. Tiba-tiba, mata membulat ketika melihat sebuah benda ada di atas mejanya. Saat sebelum pergi, tak ada satu pun benda bukan miliknya di sana.

‘Milik siapa?’ batin Irsyad bertanya-tanya.

Setelah dibuka ternyata kotak yang berisi makanan. Ada nasi lengkap dengan sayur serta lauk terhidang cantik di kotak itu. Irsyad meraih sebuah kertas kecil yang bertuliskan ucapan singkat.

“Selamat makan siang.” Begitu isi tulisan itu, sebuah huruf menjadi inisial siapa pemberi makanan itu.

“A. Apakah Almira yang melakukan ini?” tanya Irsyad pada diri sendiri. Hanya perempuan itu yang tahu jika dirinya tadi  gagal makan siang padahal makanan sudah terhidang di depannya.

Dreams Come True Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang