🔆𝕬𝖜𝖆𝖑 𝖇𝖆𝖇𝖆𝖐 𝖇𝖆𝖗𝖚 🔆

76 23 3
                                    

Siang ini,  matahari bersinar sangat terik. Seorang perempuan yang ingin berangkat kerja, tiba-tiba tertarik pada taman kota di tepi jalan. Bukan udara AC mobil tak mampu mendinginkan suasana siang ini, tetapi tiba-tiba ada dorongan yang kuat dan menggerakkan dirinya untuk ke sana.

Gamis panjang warna putih mengiringi langkah perempuan itu. Setelah bertualang di negeri orang, taman kecil ini cukup menarik perhatian. Udara tropis di sini sudah melekat di hidupnya. Tidak seperti di sana, dirinya selalu diserang flu, kadang imun yang tidak stabil membuat dirinya terus menerus mengonsumsi berbagai vitamin.

Pandangan terpaku pada sosok laki-laki yang duduk di bangku taman kota. Wajah yang tidak asing karena sudah beberapa kali bertemu tetapi tak pernah bertegur sapa karena mereka memang tak saling kenal. Kesendirian laki-laki itu cukup menarik perhatian perempuan itu sampai orang tersebut benar-benar pergi meninggalkan sesuatu di bangku taman.

Setelah dirasa suasana aman, Azkia pemilik nama perempuan itu segera bergegas ke bangku tadi. Ia sangat tertarik dengan sesuatu yang ditinggalkan pria tersebut. Perempuan berkerudung itu seketika tersenyum.

“Botol minum,” ucapnya sendiri sambil menimang botol warna gelap. Mengamati sebuah nama terpatri di sisi botol tersebut.

“Irsyad Al Farizi. Sebuah nama yang bagus, sesuai dengan wajah laki-laki tadi,” ucap Azkia sendiri sambil menahan senyum dan mata yang terus mengeja huruf pada nama itu. Dibaca berulang kali tak pernah bosan melafalkan nama itu.

“Kenapa aku bisa bodoh dan gila seperti ini?” tanya lagi sambil menahan malu di wajahnya. Ia tak tahu seperti apa wajahnya sekarang. Pasti sangat merah, untung saja ia sendirian. Kalau orang lain lewat dan melihat pasti sudah menyangka jika dirinya orang gila.

Perempuan itu hendak meletakan kembali pada tempat semula, siapa tahu pemiliknya akan datang kembali untuk mengambil. Baru hendak meletakkan, dia baru tersadar jika ada sesuatu benda di dalam botol.

“Apa ini?” tanya Azkia sambil menyipitkan mata untuk memperjelas apa yang ada di dalam botol. Bukan air minum, tetapi selembar kertas tergulung.

Perempuan berkerudung itu sangat penasaran dengan kertas di dalamnya. Ia melihat ke sekeliling, suasana taman masih sepi.

“Buka, enggak, ya?”

Ada rasa ragu untuk membuka botol tetapi hati menyuruhnya melakukan hal itu daripada rasa penasaran terus datang.

‘Bismillahirohmanirrohim.’

Dengan tangan gemetar, Azkia membuka kertas itu. Wajah yang tadi tegang berubah menahan tawa. Isi yang sangat singkat tapi tak semua orang bisa mengerti isi tulisan itu.

“Aneh,” ucap Azkia di sela tawanya. Ia mengambil pulpen di dalam tas warna cokelat. Membalas tulisan itu dengan kata-kata sama singkatnya. Menutup kembali botol, meletakkan pada bangku taman berharap pemilik botol itu datang dan membaca balasan coretan tangannya.

“Semoga bisa berjumpa kembali Irsyad Al Farizi,” bisik Azkia dengan senyum hangat dibarengi lesung pipinya.

Ponsel berdering di dalam tas, Azkia menduga dari tempat kerjanya. Siapa lagi  kalau bukan dokter Anisa, rekan sekaligus sahabatnya. Tujuan sebelum ke taman adalah tempat praktiknya. Gara-gara coretan dari laki-laki misterius tadi, membuat Azkia menjadi perempuan paling berbahagia di dunia ini. Setelah beberapa langkah hendak masuk ke mobil, Azkia menatap kembali ke belakang.

‘Kemungkinan kecil jika Irsyad akan membaca tulisannya. Bisa jadi beberapa menit kemudian, botol itu sudah diambil orang yang tidak tepat, atau bisa jadi berakhir di tempat sampah.’

Sama halnya dengan jodoh, di usia yang memasuki dua puluh tujuh, ia sama sekali belum memikirkan pendamping. Terlalu sibuk memikirkan karier sehingga urusan yang paling utama dalam hidupnya ia kesampingkan. Semoga saja jodohnya sama seperti botol minuman itu, berakhir pada orang yang tepat dan sesuai yang tertulis dalam takdirnya.

•┈┈•••○○❁❁𝕯𝖗𝖊𝖆𝖒𝖘 𝕮𝖔𝖒𝖊 𝕿𝖗𝖚𝖊❁❁○○•••┈┈•

Pagi ini bagi Irsyad adalah sama seperti pagi kemarin, hari kelabu baginya yang teramat sia-sia karena belum sepenuhnya bisa melupakan Almira. Janjinya saja yang berakhir di mulut tetapi di hati tetap saja nama Almira terpatri erat, tak bisa dihapus. Apa kabarnya setelah menjadi istri Ray? Apakah bahagia? Semoga tidak. Entah kenapa Irsyad masih berharap kepada Almira walaupun status perempuan itu sudah berubah.

Hari ini Irsyad sudah memantapkan untuk berangkat kerja setelah kemarin mengambil cuti dua hari. Jika tidak ditelepon oleh CEO mungkin saja ia akan malas berangkat kerja. Alasan hari ini wajib masuk karena dua hari yang lalu sebenarnya sudah disiapkan sambutan kecil-kecilan atas kepulangan dirinya dari Jerman. Acara itu gagal, makanan yang sudah dipersiapkan terpaksa dibagikan kepada karyawan secara cuma-cuma. Bukan ingin melalaikan apa yang menjadi kewajiban, tetapi saat bertemu dengan Ray yang menjadikan Irsyad takut lepas kontrol kembali.

“Selamat Pagi,” ucap satpam yang berbadan besar membukakan pintu untuk Irsyad saat tiba di perusahaan.

Laki-laki yang merasa di sapa hanya tersenyum kecil. Ia tak paham dengan petugas keamanan yang baru. Ternyata peruasahan yang ia tinggalkan banyak mengalami perubahan di tata ruang dan karyawan.

“Bapak Irsyad di tunggu di ruang serbaguna lantai dua. Acara sebentar lagi mau dimulai,” ucap satpam tadi dengan sopan.

Irsyad hanya membalas dengan deheman lirih. Ternyata satpam itu paham juga dengannya,  termasuk bagian dalam petinggi di perusahaan ini, meskipun baru pernah ketemu hari ini.

Laki-laki itu melangkah pelan. Kemeja yang lama menjadi penghuni lemari membuat tubuh laki-laki itu terasa longgar, mengingat berat badan mengalami penurunan drastis karena lelah kuliah ditambah kerja sambilan saat di Jerman.

Pintu ruang serba guna terbuka, benar saja yang dikatakan satpam tadi. Beberapa orang sudah berkumpul termasuk Pak Rio—CEO perusahaan ini yang tak lain masih ada ikatan darah dengan Irsyad. Oleh sebab itu, CEO perusahaan ini memaksa Irsyad  kuliah di Jerman untuk pengembangan perusahaan di bidang Teknik.

“Willikomen,”¹ sambut pria usia empat puluh tahunan menyapa Irsyad sambil berpelukan singkat

“Danke schòn,”² balas Irsyad sambil melepaskan pelukan itu. Mata menyusuri seluruh orang-orang yang hadir di ruangan ini. Tak banyak yang hadir karena yang diundang adalah para petinggi perusahaan, termasuk Ray juga ikutan berdiri di sini.

“Silakan Saudara Irsyad untuk memberikan sambutan setelah menempuh pendidikan di Jerman. Siapa tahu ada visi dan misi terbaru yang akan disampaikan untuk perkembangan perusahaan ini,” ucap Pak Rio membuka acara singkat ini sebelum beraktivitas.

Mau tak mau Irsyad memberikan sepatah kata secara singkat. Visi dan misi bisa disampaikan lain waktu dalam rapat khusus. Lagian juga yang hadir sekarang, ada yang bukan termasuk bagian khusus di perusahaan.

“Acara kedua adalah syukuran pernikahan Saudara Ray. Berhubung dalam acara duka, acara resepsi ditunda. Sebagai gantinya istri Saudara Ray sendiri yang menyiapkan makanan untuk kita semua,” ucap Pak Rio kepada semua yang hadir.

Semua pasang mata seketika menatap ke arah Irsyad. Semua tahu jika yang menjadi istri Ray adalah mantan kekasih Manajer di sini. Suasana menjadi canggung dan kaku, hanya Pak Rio yang sudah memulai mengambil makanan yang sudah disediakan.

Irsyad menatap Ray dengan tatapan penuh kebencian. Laki-laki itu sendiri tak habis pikir kenapa syukuran dilaksanakan hari ini, tepat upacara penyambutan dirinya. Pasti sengaja membuat dirinya panas dan malu, apalagi selama ini orang-orang di sini paham jika Almira sering datang ke sini bersama Irsyad.

“Permisi,” pamit Irsyad keluar dari ruangan ini. Ray membalasnya dengan senyuman penuh kemenangan. Di pikiran laki-laki itu sudah tersusun rencana agar Irsyad semakin panas melihat kebahagiaannya.

Catatan kaki:
¹ (Jerman) : Selamat datang
² (Jerman) = Terima kasih banyak

Dreams Come True Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang