🔆𝕵𝖔𝖉𝖔𝖍 𝖉𝖆𝖑𝖆𝖒 𝖇𝖔𝖙𝖔𝖑 🔆

73 24 0
                                    

Sebuah tepukan pelan mendarat di bahu perempuan,  tatapan mata yang dari tadi tertuju pada mobil di bawah, kini berganti berbalik pada seseorang di belakangnya. “Heh, mengagetkan saja.”

Anisa melirik ke bawah kemudian tersenyum ke arah sahabatnya yang wajahnya berseri-seri. “Ada sedikit kemajuan, doi datang ke sini.”

“Bukan aku yang memberi tahu. Sepertinya dia tanya sama kurir yang biasa kirim paket makanan  deh,” elak perempuan yang memakai mukena biru tosca.

“Sepertinya ada yang lagi jatuh cinta, nih,” sindir Anisa mengamati wajah di depan yang sudah memerah.

“Ih, apaan sih? Enggak kok,” elak perempuan itu malu. Kedua tangan menutup sebagian wajahnya yang sudah memerah.

“Mau sampai kapan kamu  terus menerus bersembunyi seperti ini? Orang yang masuk jebakan kamu itu bukan orang sembarangan. Dia jenius dan pintar, jebolan RWTH Aachen pula. Pasti dia sangat penasaran dengan kamu,” terang Anisa mengingatkan sahabatnya.

Wajah perempuan itu berubah serius. “Ya. Dia bukan orang sembarangan.”

“Nah itu kamu paham. Mau sampai kapan menampakkan siapa kamu sebenarnya? Enggak baik mempermainkan perasaan orang,” tegur Anisa sambil menatap ufuk barat di mana lembayung senja sudah menghilang beberapa menit yang lalu, meninggalkan suasana  gelap gulita.

“Entahlah, aku bingung. Tunggu keputusan dulu, baru berani bergerak maju memunculkan diri.” Ada rasa takut dalam hati perempuan itu. Jalan yang ia ambil mempunyai risiko yang sangat berat. Apalagi Irsyad bukan orang bodoh, laki-laki itu cukup mempunyai nama dan berpengaruh besar di kota ini.

“Saran aku hati-hati saja. Boleh saja  bawa dia masuk ke jebakan yang sudah direncanakan. Tapi ingat, jangan bawa perasaan masuk ke dalamnya karena takut kamu sendiri yang kena jebakan,” saran Anisa.

Keduanya termenung dan menatap depan. Berada di tempat perantauan  seperti ini  membuat kedua perempuan ini lebih hati-hati, apalagi untuk status mereka yang masih single.

“Jadwal kamu besok di mana?” tanya Anisa. Siapa tahu jadwal mereka bersamaan sehingga bisa berangkat ke rumah sakit bareng.

“Aku ditugaskan pencampuran obat sitostatika.”

Anisa bukan main terkejut, ia mengira sahabatnya akan ditugaskan di apotek seperti biasa. “Serius? Memang gak ada petugas lain apa? Kok kamu yang terjun langsung di situ?”

Tubuh perempuan itu disandarkan pada tiang di balkon. Tatapan mendadak kosong, menyimpan beban yang sangat berat. “Semua apoteker pada cuti. Terpaksa aku yang terjun langsung.”

“Kamu perempuan loh? Sudah tahu kan risikonya?” tanya Anisa mulai khawatir.

Tak ada jawaban dari seberang. Diam dan masih berpikir keras.

“Aku takut kamu terpapar bahaya obat sitotaksika. Paparan obat kemoterapi yang tidak disengaja bisa membuat petugas mengalami gangguan sistem saraf dan reproduksi. Bahkan saat baru terserap dan masuk ke sistem peredaran darah, racun-racun tersebut juga sudah bisa memicu risiko kanker darah. Apalagi kamu perempuan, suatu saat akan hamil dan melahirkan. Berat bayi bisa lahir rendah atau bayi abnormal.”

“Aku pasrah saja, Nis. Takdir aku sudah tertulis di sana, yang penting aku sudah bekerja semaksimal mungkin. Besok juga ada jadwal pasien kemoterapi.”

Anisa menatap sahabatnya. “Tetap hati-hati dan jaga diri.”

“Baik, Bu Dokter.”

Keduanya tertawa, berjalan beriringan menuju ruangan lumayan besar, tempat yang biasa digunakan penghuni kost melakukan salat lima waktu.

Dreams Come True Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang