"Aku, kamu, Didit, Amie, Surya."

"Udah?" Aku menaikkan kedua alis, agak terkejut dengan jumlah manusia yang baru saja disebutnya. Kupikir, dengan semangat sebesar itu, akan ada banyak orang yang datang.

"Udah. Lumayan loh ada lima orang. Ini kan baru permulaan."

"Oke."

Obrolan selanjutnya adalah tentang kabar terbaru teman-teman di grup yang dia dengar dari berbagai sumber, tentang film yang sedang di bioskop, yang sedang ingin sekali dia tonton tapi belum kesampaian, sampai pada berita politik yang juga sedang ramai menjadi bahan perbincangan sekarang. Sebagian besar adalah cerita tentangnya. Ya, tentangnya. Karena memang Kaia menjadi pihak yang lebih banyak berbagi cerita sedangkan aku adalah pihak yang mendengarkan dan menimpali.

"Tapi nggak bisa gitu sih sebenernya, Ja. Harusnya nggak cuma sekedar nyediain fasilitas fisik aja, tapi juga harus lihat dong itu fasilitas bisa dipake apa nggak. Ya kaya pemasangan guiding block misalnya. Jangan asal pasang. Perhatikan juga dong tuh guiding block kepake apa nggak, nabrak pohon apa nggak, udah bener belum masangnya," tuturnya panjang setelah untuk kesekian kalinya dia mengubah topik pembicaraan.

Dia sedikit banyak mirip denganmu, suka sekali mengganti-ganti topik tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Kecuali kalau kata-kata 'eh eh' dianggap sebagai pembuka topik baru. Kalau kamu, benar-benar tak ada 'eh eh', hanya jeda saja, tapi seringnya tak ada apa-apa. Langsung masuk ke topik berikutnya. Lalu aku akan tersenyum geli saat sadar obrolan sudah berganti topik yang kemudian membuatmu langsung ikut sadar telah mengganti topik dan ikut menertawakannya bersamaku.

"Eh, kok senyum-senyum sendiri?" Kaia bertanya bingung.

Aku langsung menghapus senyuman di wajahku dan obrolan tak lagi dilanjutkan. Kaia tak bercerita apa-apa lagi. Tak masalah bagiku. Ini bukan kamu. Kalau ini kamu, aku pasti sudah kebingungan. Aku akan mencoba segala cara untuk membuatmu bercerita tentang apa saja.

"Yak, sampai." Kaia menghentikan mobil. Aku bisa mendengarnya menarik handrem.

Aku melepaskan sabuk pengaman, sesaat bertanya apakah aku sudah bisa turun dari mobil, segera turun setelah mendapatkan jawaban dari Kaia.

"Kamu mau aku tuntun, Ja?" tanya Kaia tepat saat ujung tongkatku menyentuh tanah.

Aku tak merasa perlu berpikir panjang, langsung mengiyakannya, kembali melipat kembali tongkatku. Karena sama sekali tak mengenal tempat ini, belum tahu bagaimana kondisinya, akan jauh lebih aman untukku ketika ada yang menuntun.

Kaia memberikan lengannya tanpa merasa perlu menjawabku. Aku menggenggamnya.

"Waaaa.. Senja. Lama banget nggak ketemu!" Suara perempuan. Pastinya Amie. Dia satu-satunya perempuan dari tiga nama yang disebut Kaia tadi.

"Hai, Mi. Sehat?" tanyaku sambil mengulurkan tangan ke arahnya.

"Baek, Ja." Amie menyambut uluran tanganku. "Kamu kok bisa sih nggak berubah? Tetep kurus gitu. Aku nih kerja setahun udah naik sepuluh kilo."

"Geser satu kursi lagi, Ja," kata Kaia.

Aku bergeser satu kursi lagi lantas duduk.

"Rahasianya apa, Ja?" tanya Amie lagi.

"Sering lupa makan aja, Mie," jawabku garing.

"Huuu.. garing. Eh tapi, ngomong-ngomong, kalian nih pacaran sekarang? Mesra amat!" Pertanyaan Amie terdengar antusias.

Mesra?

"Menurutmu?" tanya Kaia, bukannya memberikan penjelasan.

"Waaaa.. selamat!! Akhirnya dapet juga," sambut Amie sambil tertawa. "Dulu tiap kali ke basecamp, yang dicariin kamu terus tuh, Ja. Senja mana? Senja nggak dateng ya? Senja jadwal ngajar lesnya kapan? Sampe pas udah nggak jadi pengurus, masih sering da.."

Merah MatahariWhere stories live. Discover now