"Mas Senja nih, bikin malu aja. Aku dipelototin mami, tau," protes Reno pelan.

Kepalaku masih tertunduk, masih berusaha menahan tawa sampai ada tepukan pelan di bahuku.

"Dengerin dulu," kata tante Tri.

Aku menganggukkan kepala dan menegakkan tubuh, beberapa kali berdeham agar tawaku bisa benar-benar teredam.

"Tadi kita ke Jogja, nganterin Ei ke Jogja sih lebih tepatnya. Nengokin Mbak Rekta yang lagi praktik di desa, kaya KKN gitu. Malam ini dia ikut nginep di sana. Soalnya tempat KKN-nya deket pantai. Ada penginapannya. Besok ke sana lagi jemputin dia."

"Oh."

Hanya satu kata itu yang keluar dari mulutku. Aku bahkan tak yakin kalau itu adalah sebuah kata. Mereka baru saja bertemu denganmu. Lalu kenapa? Tak lagi ada urusan denganku.

"Mas Senja mau ikut nggak besok?"

Aku menggeleng pelan.

"Mas Senja nggak pengen tahu gimana kabar Mbak Rekta?" Reno bertanya lagi, pelan.

"She's fine. I know."

"She is. You're not." Arik yang duduk di depanku, yang sedari tadi tak mengatakan apa-apa, tiba-tiba ikut berkomentar.

***

Pintu depan kembali kututup begitu kamu berpamitan pulang. Aku sadar bahwa aku tak bisa terlalu lama berpura-pura untuk terlihat baik-baik saja. Tubuhku rasanya lemas sekali. Kepalaku masih terasa berat. Kalau harus menunggumu benar-benar pergi, kurasa aku hanya akan menambah kekhawatiranmu saja.

"Cepetan makan. Itu insulinmu udah masuk dari tadi, bisa hipoglikemia lagi nanti." Omelan Arik langsung menyambutku di ruang keluarga.

Aku menyeret langkah ke ruang makan, sedang tak ingin menanggapinya.

"Buat apa sih dia ke sini? Ganggu orang aja. Udah tahu kan kalau kamu lagi sakit, bukannya ngasih kesempatan istirahat, malah dateng ke sini."

"Dia cuma pengen tahu kondisiku."

"Sok perhatian. Padahal sudah kukasih tahu nggak usah gangguin kamu. Masiih aja.."

Langkahku berhenti. Dengan cepat aku berbalik. "Kamu kasih tahu? Maksudnya?" Aku tak paham.

"Iya. Aku kasih tahu. Waktu kamu opname kemarin itu dia telpon ulang-ulang, ya udah kuangkat. Ku kasih tahu buat nggak gangguin kamu lagi."

Kedua mataku langsung terpejam. Astaga, jadi ini sebabnya aku tak menerima pesan atau panggilan lagi darimu beberapa hari ini?

"Sejak kapan aku ngasih izin kamu buat nerima panggilan di telponku?" tanyaku dengan kesal. "Ini urusanku, hidupku. Kamu nggak seharusnya ikut campur." Aku menarik napas dalam. "Satu hal lagi, Rik. Dia itu temenku. Tolong bersikap lebih baik sama dia."

"Aku itu udah cukup baik sama dia, Ja."

"Tadi itu apa?" tanyaku.

"Harusnya aku yang tanya ke kamu. Tadi itu apa?" Arik balik bertanya dengan nada tinggi.

Tak ada jawaban tepat yang bisa kutemukan. Ada hening yang cukup lama.

"Ja, aku kan udah bilang. Dia itu nggak serius sama kamu. Dia itu cuma jadiin kamu mainan! Buat seneng-seneng doang!"

Bukan. Bukan begitu. Tak seharusnya dia berkata seperti itu tentangmu. Ini bukan salahmu. Ini salahku. Aku yang memulai semuanya. Arik salah. I'm the villain in this story, not you.

Merah MatahariWhere stories live. Discover now