1 - Dua ribu buat teh sisri

11 0 0
                                    

Perempatan Sudarno, tempat paling ramai jika dilewati pagi hari. Sudah seperti hari-hari biasanya, banyak angkot yang mangkal sembarangan, biasanya sih disebut.. ngetem.

Tempat itu mungkin selalu ramai, jelas saja, ada rumah susun dan sekolah dasar di dekat perempatan itu. Mulai dari pelajar hingga orang dewasa yang akan bekerja selalu melewati tempat itu, salah satu dari mereka adalah Dara.

Suara benturan sepeda yang jatuh ke tanah menarik perhatian beberapa pejalan kaki. Wanita paruh baya dengan sepeda biru itu ditabrak oleh seorang pemuda dengan sepeda gunungnya.

"Eh! Nek sini aku bantu berdiri.." Dara menghampiri salah seorang yang terjatuh, tubuh wanita paruh baya itu tertimpa badan sepeda dengan tangan merah akibat gesekan aspal. Gadis itu membantu mengangkat sepeda nenek tersebut, seragam sekolahnya menjadi sedikit berantakan karena membantunya.

*BRUK! Salah seorang yang terjatuh tadi menjatuhkan kembali sepeda nenek itu ke tanah, dengan tampang kesal karena amarah dan membuatnya seolah-olah menjadi korban.

Dara menatap kesal laki-laki dengan sepeda gunungnya itu, tidak merasa bersalah, tidak meminta maaf, malah menjatuhkan sepeda nenek yang ditolongnya. Pengunjung taman juga sama, tak ada yang menolong nenek yang jatuh ini.

"Apa? Udah gede kok gak ngerti sopan," cetus Dara, lalu mendorong sepeda laki-laki itu hingga jatuh.

"Apaan sih? gak ngerti sopan? Dia yang nabrak gue!"

Dara membantu nenek itu agar sedikit menjauh dari tempatnya, "Jaga mulut nya bang! Gue tau kalo lo yang nabrak nenek itu."

Seorang laki-laki memperhatikan kedua orang itu yang kini sedang bertengkar, dirinya memperhatikan Dara yang berusaha membela seorang nenek yang bahkan tak dikenalnya itu. "Ribet lo ah, mending lo urus tuh nenek tua bangka," umpatnya lalu naik ke sepeda miliknya.

Belum sempat dia mengayuh sepedanya, Dara sudah menarik baju orang itu lebih dulu. "Minta maaf." Dara berbisik pelan, "Gue teriak nih," ucapnya.

Laki-laki itu memelintir lengan Dara yang sedang singgah dibahunya, "Teriak aja, kuker banget gue minta maaf."

"AH!" Laki-laki itu memelintir tangan Dara kencang. Raut wajah Dara terlihat kesakitan, dia mencoba melepaskan tangannya dari orang itu, "TOO-" Teriakan Dara dibungkam oleh tangan pesepeda itu.

"Ngapain lo teriak, bego banget."

"Enak banget lo ngomong bego, tangan lo tuh.. bau sampah." Dara menjauhkan tubuhnya dari orang aneh didepannya.

"Gue minta maaf, semuanya selesai."

"Dari tadi kek." Dara menarik tangan orang itu kearah nenek yang kini duduk dibawah pohon beringin besar, "Cepetan minta maaf," desak Dara dengan suara pelan.

"Saya--minta maaf bu," ungkapnya sambil menunduk.

Nenek itu hanya menjawabnya dengan kata "Terima kasih" lalu tersenyum dan kembali ke sepedanya, "Makasih ya dek, saya kira remaja-remaja sekarang cuma anak-anak nakal yang gak bisa diatur.." ujarnya.

Dara kembali melihat arloji yang dikenakannya, "EH?" Dara segera berpamitan dengan nenek itu dan lari secepatnya dengan harapan gerbang sekolahnya masih belum ditutup.

Ah! Pagi yang penuh dengan kesialan, tidak ada satu pun angkot yang berhenti di tempat nya menunggu, "Arrgh bisa kena hukum kalo gini ceritanya." Gadis itu memeriksa arlojinya berkali-kali.

"Mau bareng gak?" Seorang laki-laki memberhentikan motornya didepan Dara. Jika dilihat dari seragamnya, dia anak SMA Sumbana Mandiri, biasanya disebut SBM. Sekolahnya tak searah dengan Dara, gadis itu dari SMA Kejora.

Surat Untuk DaraWhere stories live. Discover now