35

21 7 0
                                    

Takdir tak pernah memberiku waktu untuk bersiap. Semuanya selalu terjadi tiba-tiba.

***

Hari minggu biasanya dipakai untuk menghabiskan waktu liburan dengan bersantai atau pergi ke tempat-tempat yang menyenangkan. Berbeda dengan Putri, hari minggunya dipakai untuk konsul kepada dokter.

"Apa cream yang saya berikan sudah habis?" Tanya pria ber-jas putih yang sedang duduk di kursi kebanggaannya.

Sambil menuliskan sesuatu yang tak dapat diartikan oleh orang biasa, mata pria itu menelisik, memerhatikan Putri dari atas hingga ke bawah. "Saya lihat kamu berani memakai baju terbuka?"

Putri memutar bola matanya malas, ia dengar memang penderita kanker kulit harus memakai pakaian tertutup agar tidak terkena sinar matahari. Tapi ia bodo amat, toh ia tidak merasakan apapun meski pakaiannya terbuka. "Saya gak ngerasain apa apa dok. Jadi saya gak pernah pakai creamnya."

Dokter itu berdiri dari duduknya, menghela napas lalu mengetikan sesuatu di telephon. Sambungan pun terhubung, "Sus, tolong bawakan cream XV dan Anestesi. "

Putri hanya diam menatap dokternya itu, "Dok, saya udah gak punya uang. Saya gak tau mau bayarnya gimana lagi, jadi lebih baik gak usah."

"Anda hanya pasien, dan saya dokter. Hanya saya yang berhak untuk memutuskan harus memberikan obat atau tidak," ujar Dokter itu, lalu ia kembali pada duduknya.

Sementara Putri hanya mendengus, "Saya gak akan tanggung jawab kalau gak bisa bayar."

Dokter itu hanya diam. Putri tak bisa melihatnya, tapi dari pantulan kaca meja terlihat jelas bahwa seringai licik tercetak jelas di wajahnya.

Tak lama suster datang, membawa nampan dengan jarum suntik di dalamnya. Putri bergidik ngeri, jarum suntik untuk apa?

Perlahan dokter itu menggiring tubuh Putri ke kasur pasien, mendudukannya disana. Pikiran Putri masih tidak jelas, ia masih tidak bisa sadar apa yang akan dilakukan dokter itu padanya.

Dokter membawa jarum suntik, mendekat ke arahnya. Pertama ia menyuntikan jarum itu ke dalam sebuah tabung kecil, lalu mengambil cairan di dalamnya.

Mata Putri membulat kala dokter itu menekan suntikan hingga sedikit cairan keluar dari jarumnya. Putri semakin mundur ke ranjang, "Saya gak mau disuntik lagi dok!"

Dokter itu menatap Putri, menyeringai. Menatap suster itu, seakan memberinya sebuah kode. Suster itu langsung mendekat ke arah Putri, dan memegang lengan Putri sebelum ia memberontak.

"Dok kok maksa gini sih?!" Putri menggerakan tangannya kesana kemari, memberontak dari suster itu.

"Pasien, hanya perlu selalu menurut pada dokternya," kata dokter itu diakhiri seringainya.

Dokter itu memegang lengan Putri, menyentuhnya lembut. Dirabanya lengan atas Putri hingga ke jari-jarinya. Tangan dokter itu meraba lagi ke atas, "Argh," erang Putri ketika jarum suntik menancap di lengannya.

Perlahan kesadarannya mengabur. Semuanya, gelap. Putri tak bisa melihat dan merasakan apa-apa lagi. Rasanya semua indra di tubuhnya, mati rasa. Putri telah benar-benar kehilangan kesadarannya.

***

Hari ini hari ulang tahun Alfa, sesuai rencana Putri akan membawakan Alfa kue ulang tahun buatannya sendiri, "Selesai!" ucap Putri girang ketika selesai menghias kuenya.

Pintu rumah Alfa terbuka, namun ketika masuk ke dalam, suasananya sangat suram.

Dan,

Ada Ezra di sana, sedang duduk di depan Alfa.

Putri menatap Alfa, seolah bertanya apa yang sedang terjadi. Namun Alfa mengalihkan pandangannya, enggan untuk menatap mata Putri. Tak mendapat jawaban dari Alfa, Putri beralih menatap Ezra. Putri mengikuti mata Ezra, ke meja ruang tamu.

Sebuah foto berisi gambar Putri yang hanya menggunakan bra, bersama seorang pria berjas putih. Tergeletak di atas meja.

Tubuh Putri rasanya langsung lemas, tak bertenaga. Putri menatap mata Alfa, namun Alfa hanya diam menatap ke arah lain. "Al please kamu percaya aku kan?"

Netra mata hitam Alfa menghilang, lalu perlahan menutup matanya. Tangannya benar-benar mengepal, urat-uratnya terlihat menonjol meminta untuk keluar. Rasanya Alfa sangat marah hingga tak bisa berkata apa-apa.

Melihat itu Putri mulai terisak, meremas jari-jemarinya di kantung berisi kue.

"Lo gak lihat? Cewek lo ini cewek murahan! Jalang!" Ujar Ezra menatap Putri nyalang.

"Gue bukan cewek murahan! Gue juga bukan jalang!" Ujar Putri terisak.

Ezra berdiri mendekati Putri, memutari tubuhnya, menatap dari atas hingga ke bawah, "Halah jalang mana ada yang mau ngaku jalang! Dibayar berapa lo hah?"

"Udah bunuh orang gak puas juga ya hidup lo hah? Murahan!"

"Ezra lo-" tangan Putri naik ke udara, hendak menampar wajah tampan Ezra.

"UDAH PLEASE STOP! KASIH GUA WAKTU BUAT NGERTI SEMUANYA!" teriak Alfa membuat semuanya terhenti.

Rasanya, dunia Putri terhenti. Jantungnya terasa mau copot.

"Apalagi yang harus lo mengerti anjir?! Itu semua udah jelas!"

"Al kamu percaya aku kan?"

Alfa berdiri dari duduknya, lalu menatap Ezra dan Putri bergantian.

"Diam."

"PERGI DARI RUMAH GUA SEKARANG!"

Putri terisak, kue ulang tahun yang ia bawa untuk Alfa ia simpan di meja ruang tamu. "Hubungan itu dibangun dari kepercayaan, kalo kamu senggak percaya itu sama aku, tahu 'kan artinya?" Lalu pergi meninggalkan mereka berdua. Putri tak bisa menghentikan isak tangisnya, Se-nggak percaya itukah Alfa padanya?

Alfa butuh waktu, maka Putri juga butuh waktu. Putri hanyalah korban di sini, tak hanya waktu ia juga butuh dukungan dari seseorang yang kemarin menaruh hati padanya. Setidaknya katakanlah sesuatu, katakan sesuatu yang bisa membangun kepercayaan Putri padanya, tapi Alfa sama sekali tidak melakukan itu. Alfa membiarkan gadisnya sendirian tanpa memberinya waktu untuk bicara.

"Lo itu cewek rusak! Gak pantes buat Alfa!"

Putri menatap Ezra nyalang, "TAPI ITU BUKAN GUE! NGAKU! ITU PASTI EDITAN KAN?"

Ezra tertawa renyah, "Selain murah ternyata lo naif."

Putri maju selangkah, menunjuk pada wajah Ezra, "Lo bajingan!"

"GAK USAH NUNJUK-NUNJUK!"

"Lo pikir apa yang dilakuin dokter ketika lo gak sadar?"

Putri menahan napasnya, otaknya langsung memutar ketika ia dibius oleh dokter bajingan itu. Air matanya semakin menetes deras.

"Diem kan lo."

"Gue laki, liat cewek pakai bra doang apa gue bisa tahan? Sama kayak dokter itu."

Putri mendongak, menunjuk wajah Ezra lagi, emosi "LO... JANGAN JANGAN LO YANG RENCANAIN SEMUANYA? IYA? LO DALANG DARI SEMUANYA?"

Ezra mendengus, "Kalau iya kenapa?"

"Gue janji, gak akan pernah bikin hidup lo tenang setelah apa yang lo lakuin!" Ezra lalu meninggalkan Putri di pekarangan rumahnya.

Putri merosok, jatuh ke tanah. Ia lemas. Hidupnya.. sudah hancur.

***

Garis TakdirWo Geschichten leben. Entdecke jetzt