ON'7

6 2 0
                                    

Langit kembali ke kamar Bintang dengan membawa segelas air. Bintang yang melihat kakaknya kembali, sontak menarik sudut bibirnya. "Tuh, kan. Mana bisa sih, si Langit marah sama aku," batinnya.

"Asal kau tahu, aku masih marah." Ujar Langit setelah ia menaruh gelas bekas minum Bintang.

Oke, langsung terpatahkan. Bintang salah duga. "Yaudah, maaf Ngit." Ujar Bintang setelah melihat Jeje keluar dari kamarnya, disuruh Langit sih. "Aku minta maaf.. sepenuh dan setulus hatiku."

"Kau tahu 'kan apa salahmu?"

"Iya. Masuk ke kamarmu tanpa mengetuk pintu,"

"Terus.."

"Mengendap-ngendap ke kamarmu kayak maling,"

"Terus.."

Berfikir sejenak, "Dengar suaramu menggeram," Bintang masih menundukkan kepalanya, tak berani mendongak.

"..." Langit mengepalkan tangan,

"Terus,"

"Bayangan hitam."

"Huh?"

Nah, barulah Bintang berani mendongak "Iya, palingan hantu."

Oke, stop. "Tang. Kau tahu salahmu kan?"

Bintang mengangguk, penuh keyakinan. "Iya, tadi kan sudah minta maaf, Ngit."

Langit menghela nafas berat, "Salahmu gak sekedar itu Tang. Kau tau kalau aku melarangmu masuk ke kamarku. Terlebih saat malam hari."

"Iya," Bintang kembali menunduk. Ia yakin, kali ini Langit a kan mengomelinya sampai subuh.

"Tapi kau melanggarnya, Tang. Kau mengecewakanku."

Sebenarnya Bintang tak terima dikatain mengecewakan, masa masuk kamar abang sendiri gak boleh sih? Mereka kan tinggal bareng juga dari orok, pernah tidur bareng juga, dan kenapa 'ini' jadi sesuatu yang musti diributkan?

Bintang lelah, ngantuk juga. "Ngit, aku kan sudah minta maaf. Jadi ya sudah, apalagi yang mau diributkan?"

"Siapa yang ngajak ribut? Aku kan cuma njelasin salahmu." Sedikit nyolot.

"Ya kan tadi aku sudah bilang maaf!"

"Kenapa nadamu meninggi?!"

'Tuh, nadamu aja lebih tinggi dari pohon kelapa di sekolah, Ngit. Dasar abang tidak berperikeadikan.' Bintang membatin dongkol.

Langit mengontrol emosinya, beberapa detik menenangkan diri dengan menarik nafasnya secara kasar. "HUH.. HUH.. HUH.."

Sampai akhirnya, ia baru menyadari ada seorang lain yang sedari tadi terbengong-bengong dengan wajah linglungnya, Jeje. Iya, Jeje masih disana. Satu-satunya saksi hidup pertengkaran Langit dan Bintang, eh kecuali jika cicak tidak ikut menguping.

"Kau? Disini?"

Jeje mengangguk dengan cepat.

"Keluar, kau!"

Tidak apa sebenarnya Jeje berada disana, namun ini di situasi yang berbeda. Langit tak enak bila orang lain melihat pertengakarannya dengan Bintang.

Bintang pun tak tinggal diam, ia juga menyuruh Jeje agar segera keluar dari kamarnya. Alhasil, dengan terpaksa Jeje melangkah dan menutup pintu kamar Bintang dengan lesu. "Padahal masih seru," batin Jeje.

Suasana kamar itu makin tegang, hanya ada Langit dan Bintang. Langit yang menahan emosinya, dan Bintang yang menahan kantuknya.

"Tang, kau tahu bukan apa salahmu?"

Dengan malas, Bintang menyahut "Hm, tadi sudah di bahas."

"Tidak, kau belum mengerti apa maksudku."

Bintang menoleh, "Maksudmu, aku harus minta maaf lagi?"

"Ti..."

Ucapan Langit terpotong, "Oke, aku minta maaf, Ngit. Maaaaaf banget karena sudah masuk ke kamarmu tanpa izin, maaf karena kupingku mendengar eranganmu, dan maaf sekali lagi.. aku mengecewakanmu." Panjang, cepat dan hanya sekali tarikan nafas.

Terlihat sekali minta maafnya tidak ikhlas.

"Bukan begitu, Tang." Langit perlahan mendekati jendela, menatap bintang-bintang bertaburan di langit tengah malam. "Kau, tahu bukan kalau aku abangmu?"

'Ya iyalah, bambang.' Tahu kan ini siapa yang membatin?

Sementara Langit terus melanjutkan, "Ayah ibu menyuruhku menjagamu, Tang. Dari apapun itu. Padahal umurmu dan umurku hanya terpaut setahun saja." langit terkikik dengan omongannya sendiri.

Bintang masih tidak paham dengan alur pembicaraan Langit, maka ia hanya membuka kupingnya lebar-lebar; mencerna segala kata demi kata dari Langit. Siapa tahu Langit ingin mengundurkan diri dari jadi abangnya kan?

"Setiap kali ayah dan ibu telpon, yang pertama kali ku dengar adalah.. bagaimana kabar Bintang? lalu, baru menanyakan kabarku."

Bintang membulatkan matanya; kaget. Tertarik akan pembahasan macam ini, tapi masih enggan turun dari tempat tidur.

Terdengar hembusan dalam dari Langit, "Padahal disini aku abangnya, aku anak pertamanya. Tapi selalu aku yang nomor dua."

Langit menoleh ke belakang, dan langsung bersitatap dengan Bintang. Lalu Langit berbalik lagi; menghindari tatapan adiknya itu.

"Awalnya aku tak terima di nomor dua-kan, aku menyayangimu tentu. Namun sulit bagiku membagi kasih sayang ayah dan ibu.

Setiap kali mereka menanyakanmu, mengkhawatirkanmu, menyuruhku ini dan itu hanya karenamu.. hanya untuk melindungimu, aku selalu menolak. Berat rasanya menanggung beban ini sendirian. Mereka hanya mengkhawairkanmu, mereka hanya takut kau yang tersakiti.

Hanya kau yang selalu dipikirkan mereka."

Bintang tak menyangka, jadi.. selama ini? kasih sayang Langit padanya dan segala bantuan Langit untuknya, itu semua terpaksa?

Alih-alih memikirkan perasaan Langit, Bintang malah menyalahkan Langit akan ketidakikhlasannya.

"Pernah suatu waktu, aku bertanya pada ayah. Apakah hanya Bintang anak mereka? Namun ayah menjawab bahwa.. aku juga anaknya."

Lalu, Langit menoleh. Dan mendapati Bintang yang ternyata tepat dibelakangnya. "Maksudmu.. kau keberatan Ngit, karena menjadi abangku? Karena menjagaku? Iya? Kalau begitu, aku tidak tahu berapa banyak salahku, Ngit."

Bintang menangis, kencang. Langit terpaku. Akankah perbincangan ini akan diteruskan? Atau.. cukup sampai sini?

Dengan nafas tersengal dan suara parau, Bintang berucap "Aku.. Aku mana tau kalau selama ini kau begitu. Aku tak tau.. kalau.. kalau ayah dan ibu seperti itu," ... "Aku.. aku,"

Ucapan Bintang terhenti, Langit memeluknya. "Maaf.. maaf,"

"Maaf.. maaf,"

Mereka berdua berpelukan cukup lama sembari menggumamkan kata maaf berkali-kali; bersama. Meminta maaf satu sama lain tanpa ikrar saling memaafkan.

Langit menarik diri dari dekapan Bintang, pelukan pun terlepas.

Canggung.

Langit masih bimbang, menimbang-nimbang akankah ia akan tinggal dan membicarakan sesuatu yang lebih penting? atau.. meninggalkan Bintang dan kembali ke kamarnya?

Masih di lingkupi rasa bersalah yang dalam, Bintang menunduk menyembunyikan air mata yang masih saja mengalir –di hadapan Langit–.

Hingga Bintang menyadari adanya tepukan lembut di bahunya, lal Bintang menatap Langit keluar dari kamarnya.

Iya, Langit memustuskan untuk tidak membicarannya. –bukan, belum. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 13, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ON (KTH)Where stories live. Discover now