PERBINCANGAN

192 24 2
                                    

Malam ini terasa begitu pekat. Rembulan bersinar tak begitu terang. Bintang berhamburan tak begitu banyak. Hawanya dingin dan terasa sedikit mencekam. Hanya terdengar dengungan sunyi yang memenuhi ruangan.

Saat ini, Azzam sedang berada di rumah Meisya. Ya, di rumah istrinya setelah Savierra itu. Beberapa hari terakhir ia menjadi jarang mengunjungi rumah Meisya karena ia pernah mengatakan pada Savierra bahwa ia akan selalu mengusahakan untuk tidak pulang terlambat. Jadi, hari ini karena ia memiliki waktu yang sedikit senggang, ia mengunjungi Meisya sekaligus melihat kondisi gadis itu.

Malam ini, Azzam makan malam di rumah Meisya. Sebetulnya, Azzam ingin makan malan di rumahnya saja bersama Savierra. Namun saat Azzam datang, kebetulan sekali Meisya tengah menyiapkan makan malam. Alhasil Azzam menghargai gadis itu. Ia pun mau makan malam di sana.

"Mau seberapa nasinya, mas?" Tanya Meisya sembari mengambil nasi.

"Sedikit saja." Jawab Azzam seadanya.

Meisya mengangguk. Mengambilkan nasi untuk Azzam sesuai yang Azzam mau. Lantas mengambil lauk ayam kecap untuk Azzam pula. Tak lupa gadis itu juga menuang segelas air untuk minum Azzam. Barulah ia menyuguhkannya pada dosen muda yang kini telah menjadi suaminya tersebut.

"Terima kasih." Ucap Azzam.

"Sama-sama." Jawab Meisya sembari tersenyum dan duduk di tempatnya.

"Kamu, nggak makan?"

"Mas duluan aja. Aku nanti aja."

"Nggak apa-apa. Kamu makan aja sekarang. Jangan ditunda-tunda."

Meisya menunduk mendengarnya. "Masih males suntik insulinnya, mas."

"Kan kamu sudah terbiasa,"

"Ya iya. Tapi kan tetep aja sakit rasanya."

"Mei, mending kamu makan. Nanti malah jadi tambah sakit." Ucap Azzam seadanya. Tidak salah, kan? Azzam hanya mengingatkan. Toh Meisya juga adalah istrinya. Sudah menjadi kewajibannya untuk menjaga.

Sedangkan Meisya sendiri menghela nafasnya. Lantas gadis itu nampak beranjak dari duduknya dengan enggan. "Ya udah. Sebentar, aku suntik dulu."

Azzam pun mengangguk. Barulah ia membaca doa sebelum makan. Setelah itu, ia mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Perlahan-lahan Azzam mengunyahnya. Lantas ia menyadari sesuatu.

"Masakan Savierra," Gumam Azzam.

"Rasanya persis seperti masakan Savierra."

"Kok bisa sepersis ini,"

Seketika Azzam teringat akan Savierra. Pasti saat ini, istrinya itu tengah makan malam sendirian. Hanya ditemani Bi Siti juga Arsy dan Arsyad. Istrinya itu tidak akan mengambilkan makanan untuk siapa-siapa. Sebab dirinya sedang tidak ada. Biasanya, Savierra yang selalu menyajikan makanan untuknya. Namun malam ini, Meisya lah yang melakukannya.

"Savierra,"

Tangan Azzam terulur, merasakan degup jantungnya yang berdegup cukup kencang. Tapi di sisi lain, ia kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri. Lagi dan lagi ia harus menutupi fakta dari Savierra bahwa sebenarnya ia sedang berada di rumah Meisya.

Tak lama kemudian, lamunan Azzam tentang Savierra terbuyarkan karena Meisya datang. Gadis itu nampak sedikit menahan rasa sakit di perutnya karena bekas suntikan insulin.

"Kenapa, mas?" Tanya Meisya yang menyadari bahwa Azzam melamun.

"Hah?"

"Mas kenapa? Mas nggak makan itu namanya. Tapi ngelamun."

Separuh ImankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang