PULANG

142 20 0
                                    

Pada akhirnya, hatiku memutuskan untuk menyelipkan sebuah nama. Setelah sebelumnya lebih memutuskan untuk mengharap yang terbaik dari-Nya saja. Allah, bolehkah ku meminta supaya dialah yang terbaik untukku?

• Aisya Syahzeeqava •

¤¤¤¤

Hari semakin petang. Tak lama, senja akan hilang diterkam oleh gelapnya malam. Seruan suara adzan menggema memenuhi segala penjuru ruang. Rupanya, sang gadis tengah khusyu beribadah di hadapan Rabb-nya.

Malam ini, Meisya akan pergi ke bandara untuk menjemput Aisya. Saudara kembarnya itu sebentar lagi akan sampai dan kembali ada di sampingnya. Seusai melaksanakan sholat maghrib, Meisya segera bersiap-siap untuk menjemput Aisya. Bahkan, Ajil, supir yang akan mengantarnya itu sudah sampai di rumahnya.

Setelah Meisya cukup bersiap-siap, ia terduduk di pinggiran tempat tidur. Masih ada waktu untuk sekedar bersantai sebentar saja. Meisya menatap ke arah mini fridge miliknya. Benda itu, di dalamnya menyimpan banyak alat medis yang ia butuhkan demi kelangsungan hidupnya.

Sampai saat ini pun, Meisya masih belum memindahkan alat-alat medisnya ke kamarnya yang baru. Sebab hari ini, Aisya tidak akan pulang ke rumah. Gadis itu akan melanjutkan perawatan di rumah sakit. Jadi, Meisya merasa sedikit lega karena setidaknya hari ini Aisya tidak akan melihat alat-alat medisnya.

"Sampai kapan harus nyembunyiin ini semua sama mereka," Gumam Meisya lirih.

Sejujurnya, Meisya masih sedikit takut ketika akan bertemu dengan keluarganya. Ia takut nantinya, Aisya dan orang tuanya akan curiga terhadap perubahan dirinya. Mulai dari perawakan yang semakin kurus, menu makanan yang sudah tidak bisa sembarangan lagi seperti dulu, juga beberapa bagian anggota tubuh yang meninggalkan bekas suntikan jarum. Terkadang Meisya kebingungan. Ia khawatir keluarganya akan mempertanyakan hal-hal itu.

"Hah, Bismillah aja dulu lah. Semoga mereka semua nggak curiga,"

"Belum sekarang waktunya buat bilang. Tahan dulu. Meskipun berat, tapi nggak apa-apa,"

"Allah, Meisya nggak niat bohong. Cuma nggak mau nambah beban keluarga aja. Semoga nggak dosa,"

Meisya bergumam lirih di dalam kamarnya. Dalam keadaan yang seperti sekarang ini, rupanya ia merasa lebih aman ketika sendirian. Sekalipun ia memang merindukan sosok keluarga, namun yang lebih penting baginya saat ini adalah penyakitnya yang jangan sampai diketahui oleh keluarganya.

Dengan segala kegusaran yang mengusik pikirannya, Meisya masih saja terdiam di kamarnya. Padahal, jam dinding sudah menunjukkan pukul 6 kurang 15 menit. Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai di bandara sebab jaraknya terpantau cukup jauh.

Ketika sibuk dengan pikiran gusarnya, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ada panggilan masuk rupanya. Meisya melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Beberapa detik kemudian, ia pun mengangkat panggilan tersebut.

"Hallo, Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam, Mei."

"Ada apa, dokter?"

"Mei, sudah berangkat ke bandara untuk jemput Aisya?"

"Em, sebentar lagi berangkat, dok. Ada apa emangnya?"

"Nggak ada apa-apa. Cuma mau kasih kabar aja, kamar Aisya yang di rumah sakit sini sudah disiapkan."

"Dokter lagi di rumah sakit, ya?"

"Iya. Kebetulan, saya lagi ada jam praktek."

"Em, papa kasih tau dokter kalau Aisya baliknya ke rumah sakit, ya?"

Separuh ImankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang