BHS | 4

44.3K 4.7K 55
                                    

Hari Sabtu pun tiba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari Sabtu pun tiba. Seperti permintaan Meghan— ibu mertuanya, hari ini mereka datang berkunjung.

Selama perjalanan, baik Sesil maupun Reagan, sama sekali tak ada yang membuka percakapan. Reagan yang selalu dingin dan irit bicara, jelas tak akan memulai terlebih dahulu. Sedangkan Sesil, ia terlalu takut untuk merusak mood Reagan di pagi hari begini.

Begitu sampai di kediaman orang tua Reagan, keduanya langsung turun. Sesil meringis saat ia hampir saja menjatuhkan kotak klappertaart yang dibawanya karena keseimbangannya terganggu. Luka bekas pecahan kaca di telapak kakinya tak sengaja ia tekan ke tanah.

Sesil melangkah masuk ke dalam rumah, mengekori Reagan yang sudah duluan. Gadis itu berusaha untuk terlihat biasa saja saat berjalan. Dalam hati, ia terus berdoa, semoga luka di kakinya tak kembali berdarah.

"Mbak, tolong taruh di kulkas, ya." Sesil menyerahkan klappertaart-nya pada Mbak Asti, asisten rumah tangga yang menyambut kedatangan Reagan dan Sisil.

"Siap, Non," balas Mbak Asti. Gadis seumuran Sesil itu langsung melakukan perintah menantu kesayangan Nyonyanya.

"Ini nih, yang Mama tunggu-tunggu dari tadi."

Suara Meghan langsung membuat keduanya menoleh. Reagan melangkah mendekati sang ibu, memeluk, dan mencium kedua pipi Meghan. Lalu, Sesil ikut menyusul.

"Mama apa kabar?" tanya Sesil begitu pelukan mereka terurai. "Baik, Sayang," balas Meghan.

"Papa mana, Ma?"

"Keluar jalan pagi. Nggak tau kok nggak balik-balik," balas Meghan. "Kalian udah sarapan?"

Sesil mengangguk, begitu juga Reagan.

"Ya udah," balas Meghan. "Sesil, ikut Mama ke belakang, yuk? Kita ngeteh bareng."

Senyum Sesil melebar. "Boleh, Ma."

***

Saat ini, Sesil dan Meghan sedang duduk di halaman belakang rumah. Keduanya duduk bersebelahan dengan dibatasi meja kecil yang diatasnya terdapat dua cangkir teh bunga, dan klappertaart buatan Sesil.

"Gimana, Ma? Ada yang kurang, nggak?" tanya Sesil saat Meghan mencicipi klappertaart buatannya.

"Enak, kok," balas Meghan. "Pas, kayak biasanya."

Sesil tersenyum senang. Sesil memang sengaja membuatkan klappertaart untuk Raihan dan Meghan, karena mertuanya itu sangat menyukainya. Kata mereka, tidak ada klappertaart yang lebih enak daripada buatan Sesil.

"Nanti Sesil buatin lagi, Ma."

Meghan mengangguk. Keduanya sama-sama terdiam, menatap taman luas yang menjadi pemandangan mereka saat ini. Meghan sangat menyukai bunga. Karena itu, Raihan membuatkan taman khusus di belakang rumah agar sang istri bisa bebas berkreasi di sana.

"Gimana Reagan, Sil? Dia memperlakukan kamu dengan baik?"

Sesil langsung menoleh. Ia tak langsung menjawab. Tapi tak lama, Sesil mengangguk.

"Baik kok, Ma," ucapnya. Tak sepenuhnya berbohong, menurutnya. Reagan masih memperbolehkannya tinggal di dalam rumah dan melakukan apapun yang ia mau. Reagan juga tidak main tangan.

Benar, bukan?

"Syukurlah." Meghan bernapas lega. "Kalo dia macem-macem atau jahatin kamu, bilang sama Mama ya, Sil."

Meghan tahu betul, Reagan tak pernah memperlakukan Sesil layaknya pasangan. Sejak mereka bertunangan empat tahun lalu, Reagan terlihat sangat membenci Sesil. Berkali-kali Meghan menegur anaknya untuk memperlakukan Sesil lebih baik, Reagan hanya iya-iya saja tanpa melakukan.

Sesil mengangguki ucapan Meghan.

"Kapan-kapan ikut Mama arisan, yuk? Temen-temen Mama sering bawa anak atau menantunya. Sekalian Mama kenalin sama temen-temen Mama. Kamu juga bisa nambah koneksi juga, kan."

Sesil menggaruk tengkuknya. "Nanti Sesil tanya Reagan dulu ya, Ma."

Meghan mengangguk. Lalu, tatapan Meghan beralih pada lantai di sekitar kaki Sesil. Ada bercak merah di sana.

"Sil, itu darah?" tanya Meghan.

Sesil segera mengikuti arah pandang Meghan. Gadis itu terkejut saat melihat bercak darah di lantai.

"Angkat kaki kamu coba, Sil," pinta Meghan. Sesil terpaksa mengangkat kakinya. Meghan terkejut saat melihat luka di telapak kaki Sesil yang terbuka. Plester yang menutupinya sudah hilang entah kemana.

"Astaga, itu kenapa?!"

***

"Kamu ini gimana. Bisa-bisanya luka begini, Sil." Meghan terus mengomel. Ia memberikan obat pada Sesil, agar gadis itu mengobati lukanya.

"Kamu ini juga, Gan. Masak nggak tau istrinya luka begini?!"

Reagan mendengus malas. Lagi-lagi, ia ikut kena karena ulah Sesil. Terkadang ia bingung. Sebenarnya yang anak di sini siapa? Setiap Sesil kenapa-napa, ia pasti ikut kena imbasnya.

Menyebalkan.

Melihat wajah masam Reagan, Sesil meringis tak enak. Gadis itu mengobati lukanya sambil sesekali melirik ke arah Reagan.

"Ini kenapa bisa begini?" tanya Meghan lagi.

"Sesil nggak sengaja nginjek kaca, Ma," jujur Sesil.

Meghan berdecak. "Lain kali hati-hati dong, Sil. Untung nggak papa itu." Meghan masih mengomel. "Ini udah kamu bawa ke dokter, belum? Nanti infeksi lagi."

Reagan menatap tajam Sesil, memberi peringatan. Gadis itu mengangguk, terpaksa berbohong. Selain karena takut dengan tatapan Reagan, Sesil juga merasa tak enak bila suaminya harus terus menerus dimarahi ibu mertuanya.

"Udah kok, Ma. Ini juga nggak sesakit itu."

Omelan Meghan diakhiri dengan peringatan dan wejangan, agar Reagan lebih memperhatikan istrinya, dan Sesil harus lebih memperhatikan dirinya sendiri.

***

Tak terasa, malam pun akhirnya tiba. Saat ini, keempatnya sedang makan malam. Seharusnya ada Mikhayla, kakak Reagan, namun wanita itu sedang berada di Paris.

Makan malam mereka diselingi obrolan kecil. Raihan dan Reagan lebih mendominasi. Mereka membahas urusan bisnis yang tak dipahami Meghan dan Sesil.

"Malam ini, kalian menginap saja. Ada yang mau Papa bicarain sama kamu, Reagan," ucap Raihan. Reagan dan Sesil mengangguk.

"Antar Sesil ke kamar dulu, Gan, lalu kamu ke ruangan Papa," titah Raihan, sebelum bangkit. Tak lama setelah Raihan pergi, Meghan ikut bangkit, dan berjalan menuju kamar, meninggalkan pasangan muda itu.

"Pergi sendiri sana. Jangan sampe Mama Papa tau kalo lo ke kamar sendirian," peringat Reagan. Sesil mengangguk. Gadis itu bangkit, lalu berjalan menuju kamar Reagan yang ada di lantai dua. Gadis itu berjalan sedikit tertatih, berusaha agar lukanya tak menapak lantai dan meninggalkan jejak darah. Ia tak mau mertuanya mencurigai dan menyalahkan Reagan lagi.

Begitu sampai di kamar, Sesil langsung mematung. Keinginannya untuk tidur cepat menguap begitu saja saat melihat kamar Reagan. Gadis itu memindai kamar Reagan sekali lagi, mencari keberadaan sofa, namun nihil.

Kalau begini, Sesil harus tidur di mana?

Gimana nih sama part ini??

Behind Her Smile.
17-6-2021.

BEHIND HER SMILE ✓ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang