"Kamu sih ngejawab dia terus. Dia itu maunya anak buah nurut gitu. Dia suruh-suruh ya sendika dhawuh, manut, ikut perintah. Nggak usah banyak nanya dan banyak protes," jawab Mas Trias.

Aku tak ambil pusing, lebih memilih menghabiskan makan siang daripada menanggapi mereka.

"Hati-hati loh, Ja. Dia yang menilai kinerja kita. Kalau kebanyakan ngeyel bisa-bisa jelek nanti nilai kinerjamu. Dilaporin sama atasan. Bisa dipecat."

"Ya kalau dipecat berarti rezekinya di kantor sini udah habis, Mas. Nyari yang lain," jawabku.

"Waah.. gaya banget. Kaya yang gampang aja nyari kerja," komentar... entah. Aku tak tahu ini suara siapa. Tak juga peduli.

Punggungku tiba-tiba ditepuk-tepuk. Mas Agung tertawa di sebelahku, seperti memberi tanda padaku agar tak melanjutkan komentar.

"Kalau Senja sih kayanya bakalan aman. Kan dia punya channel di atas," celetuk Mas David yang semenjak tadi diam.

Aku tak suka ini. Semua orang langsung heboh bertanya. Sepertinya, bagi mereka, memiliki channel di atas itu hal yang sangat penting sampai-sampai mereka harus tahu siapa.

"Kemaren aku ikut rapat sama dewan direksi. Terus ada tuh satu direktur yang tiba-tiba nanyain kamu ke Mbak Adel, Ja." Nadanya tak menyenangkan di telingaku.

"Waaa.. ternyata," kata Adri. "Nggak pernah cerita loh dia kalau ada kenalan di atas."

"Kenalan gimana sih, Dri. Sodara. Orang nanyainnya gini, 'Gimana ponakan saya? Kerjanya baik? Ada masalah nggak?'. Gitu." Ada senyuman terdengar dari suara Mas David barusan.

"Oh pantees kamu berani ngelawan si Adel, Ja. Hahahaha.. tapi baguslah. Perempuan itu tuh memang sekali-kali perlu dilawan. Biar nggak semena-mena." Mas Agung kembali menepuk-nepuk punggungku pelan. Kali ini seolah sedang membanggakanku.

Padahal tak ada hubungannya. Tak ada hubungan antara aku yang akhirnya memilih untuk melawan Mbak Adel di rapat minggu lalu dengan fakta bahwa kawan dekat bapak adalah salah satu direktur di perusahaan ini. Beliau memang selalu menganggap bapak sebagai kakaknya sendiri, pun aku dan Arik sebagai keponakannya sendiri. Tapi sungguh, tak ada hubungannya dengan kejadian minggu lalu itu.

Kepalaku saat itu sedang dipenuhi banyak hal. Sebagian besar adalah hal-hal yang aku, dengan sadar penuh, tahu seharusnya tak lagi perlu kupikirkan. Tapi, sayangnya, aku seperti hilang kontrol pada pikiranku sendiri. Ditambah beberapa hari ini aku tak bisa tidur dengan nyenyak, tak cukup tidur. Makanya begitu Mbak Adel tiba-tiba mengungkit-ungkit masalah evaluasi pameran terdahulu, bahwa ada pegawai yang tak segera melaksanakan tugas begitu perintah turun, emosiku memuncak, tak lagi bisa kukendalikan seperti pada rapat evaluasi sebelumnya.

"Udah, Ja. Nggak usah dipikirin. Santai aja. Toh, posisimu masih aman, kok. Lagian kan kamu juga nggak salah. Kan emang si Adel tuh suka ngasih perintah dadakan, mintanya langsung dikerjain. Nggak peduli kita juga ada kerjaan lain. Kaya kita ini nggak ada kerjaan gitu," kata Mas Agung lagi.

Pembahasan berhenti saat makanan yang mereka pesan datang. Sesaat, hanya saat mereka menerima makanan saja. Obrolan berlanjut setelah mereka mulai makan, tapi kali ini tak lagi tentang Mbak Adel.

"Jadi ceritanya kamu kerja di sini dititipin gitu, Ja? Pantes aja. Kok kantor nerima pegawe... mm.. sori." Dia tak melanjutkan kalimatnya.

"Cacat?" lanjutku. "Perusahaan punya kewajiban kok. Dan memang mulai tahun kemarin mulai membuka lowongan."

Tak ada komentar balik. Keadaan tiba-tiba menjadi canggung. Untungnya ponsel di dalam tasku bergetar, membuatku mendapatkan pengalih perhatian. Tapi pendapatku berubah begitu tahu siapa yang menelpon. Satu nomor yang sudah cukup lama tak menghubungiku. Sepertinya ini bukan keberuntungan juga.

Merah MatahariWhere stories live. Discover now