Tetapi Yongseung, entahlah. Tidak ada yang tahu apakah dia pernah bosan atau tidak karena kepribadiannya yang cenderung tertutup.

Sesampainya di kedai, ketika penjaga kasir melihat mereka, ia segera berlari ke belakang untuk memanggil seseorang. Tak berselang lama seorang kakek tua mendatangi mereka dengan senyum lebarnya. Kakek tua itu adalah pemilik kedai yang sudah dekat dengan Yongseung dan Soora. Itu sebabnya semua karyawannya ia beritahu jika Yongseung dan Soora datang mereka harus segera memanggilnya karena kakek itu akan membuatkan pesanan Soora dan Yongseung secara pribadi.

"Sudah lama sekali kalian tidak datang." ujar sang kakek seraya memeluk Yongseung lalu Soora.

"Biasa kek, sibuk," kekeh Yongseung membuat kakek pemilik kedai itu menepuk bahunya pelan.

"Mana Kangmin?"

"Masih sekolah, belum pulang."

Sang kakek mengangguk. "Pesan seperti biasa?"

Yongseung dan Soora mengangguk bersamaan. Lalu Yongseung berkata. "Tempatnya seperti biasa juga, di rooftop."

"Siap!"

Saat sampai di rooftop air muka Yongseung mendadak berubah. Padahal selama perjalan menuju kedai ini, Yongseung terlampau banyak bicara daripada biasanya. Namun sekarang, tiba-tiba ia membungkam mulutnya dan matanya sama sekali tak mau menatap Soora. Ekspresinya juga datar, sama seperti beberapa menit lalu saat ia menemui Soora di butik. Bedanya ekspresinya tadi datar karena merenung tetapi sekarang Soora merasa bahwa ekspresi datar Yongseung karena ia kalut dan sedih.

"Kenapa?" tanya Soora seraya mengulurkan tangan hendak menggenggam tangan Yongseung tetapi lelaki itu justru menepisnya.

Ia menatap Soora tajam disertai helaan nafas. "Aku nggak tahu ini benar atau salah. Tetapi kupikir hanya ini jalan satu-satunya."

"Maksudnya?"

"Bukannya aku menyerah, hanya saja cara kita ini salah."

"Kak Yongseung ngomong apa sih? Aku nggak paham." jawab Soora mulai panik dengan jantungnya yang mulai berdetak di atas normal.

"Kita akhiri saja semua ini."





***




Dongheon menatap bingung pada sahabatnya yang saat ini duduk di dahan pohon beringin besar dengan kakinya yang diayun-ayunkan secara tak bersemangat. Ia sudah menghibur sahabatnya dengan berbagai cara tetapi tetap saja sahabatnya itu masih nampak murung.

"Ada apa lagi?" tanya Dongheon seraya melayang naik dan duduk di dahan kosong samping Hoyoung.

Hoyoung mengerucutkan bibirnya. "Sebenarnya balas dendam kita itu benar atau salah sih?"

"Kalau menurut lo?"

"Ya benar, soalnya dia jahat banget makanya gue juga pengen lihat dia menderita."

"Ya udah, terus bagian mana yang buat lo selama beberapa hari ini badmood?"

Hoyoung menoleh menatap Dongheon dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kenapa lo nggak nolak rencana ini? Lo paling nggak suka kan sama yang namanya balas dendam? Justru aneh aja gitu ngelihat lo kok setuju-setuju aja."

"Kita udah mati." jawab Dongheon cepat tanpa banyak berpikir. "Cara mati kita aja salah. Terus kalau udah gitu tetap mau dukung kebenaran? Nggak tahu diri banget. Kalau udah dosa mah dosa aja, nanggung."

Hoyoung membelalak. "Dongheon--"

"Gue juga udah greget, kita udah mati aja masih dimanfaatin. Nggak ada yang namanya kebebasan dan keadilan buat gue sejak gue lahir sampai mati, apes banget nggak sih? Lo juga gitu kan? Jadi ya udah, terobos aja." jawab Dongheon santai seolah apa yang barusan ia ucapkan adalah kalimat biasa yang tidak sensitif.

[iii] Connect | VERIVERYWhere stories live. Discover now