☘ Enam belas ~

840 75 4
                                    

"Dan setelah sekian lama, penantianku tak sia-sia."

_I'm Sorry, Good Bye!_

Mengingat perkataan Zay kemarin, gadis rapuh itu langsung merindukan sosok Ibunya. Ia termenung di atas sofa empuk ruangan kafenya. Zay baru saja pulang ke rumahnya. Jadilah ia sendiri di sini, matanya masih terjaga karena jam masih menunjukkan pukul setengah sembilan malam.

"Apa aku pulang aja ke rumah, ya?" tanyanya pada dirinya sendiri.

Jujur saja, ia kini tengah merindukan wajah Zero, Rea, dan Zoa. Sudah lama rasanya tidak bertemu meski tadi ia sekolah tetapi tak bertemu dengan Zoa karena Zay menghalanginya.

Gadis itu berkali-kali mengembuskan napasnya lelah. Ia beranjak dari duduknya guna mengambil ponselnya dan tas kecilnya. Malam ini, ia memutuskan untuk pulang ke rumahnya sendiri, ia tahu resikonya dan ia siap menanggung resiko yang diberikan kepadanya.

Untung saja, ia sempat mengambil uang kafe kemarin. Uang itu ia gunakan untuk naik ojek menuju rumahnya. Selama diperjalanan, ia berpikiran tentang masa-masa selama dihidupnya. Ia tersenyum tipis saat mengingat betapa sayangnya Rea kepadanya dulu, bahkan Zoa dulu sedikit terabaikan karena Zia. Tapi sekarang sudah berbeda lagi.

"Neng, udah sampai." Gadis itu tersentak pelan, kemudian turun dari motor tukang ojek itu. Ia memberikan uang pas, setelah mengucap terima kasih, ia berjalan masuk ke dalam diiringi senyuman manisnya.

Saat di depan pintu utama, perasaannya kembali bimbang, mengembuskan napasnya menyakinkan kepada dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Mau apa lo ke sini?!" Kepala yang tadinya menunduk kini sudah mendongak mendengar suara penuh kebencian itu.

"A-Aku-"

Zoa tersenyum, tangannya sudah bersidekap dada, matanya menatap nyalang saudara kembarnya. "Udah puas main-mainnya, my twins?"

Gadis itu mencondongkan wajahnya dekat kepada Zia membuat Zia refleks mundur selangkah. Jantungnya berdetak kencang. "Udah, ah, gue mau tidur. Bye!"

"Untung aja," lirih Zia mengelus dadanya pelan, ia melangkah masuk ke dalam rumahnya yang seminggu ini ia tinggali. Tidak ada yang berubah, hanya saja ada sedikit debu yang mulai mengotori benda-benda. Ah, mungkin karena ia tidak pulang, jadi tidak ada yang membersihkannya.

●○●○●○●○

"Zia?"

Suara berat milik pria paruh baya itu membuat Zia menoleh ke belakang menatap Zero dengan tersenyum. Pagi-pagi sekali, Zia sudah bersiap-siap menggunakan seragam sekolahnya, dan memasak untuk keluarganya. Tadi malam, saat Zia ingin ke kamarnya, tak sengaja matanya melihat tong sampah yang sudah banyak plastik mie instan. Apa keluarganya makan makanan itu saat ia pergi?

Zero tertegun melihat senyuman manis Zia, terkadang ia berpikir, ia sudah berkali-kali memberi Zia luka yang dalam, tetapi gadis itu masih mampu tersenyum. "Ayah," lirih Zia pelan.

Gadis itu menggelengkan kepalanya, lalu melanjutkan kegiatan memasaknya yang tadi tertunda, mengabaikan tatapam Zero kepadanya. Ia tidak ada tenaga jika meladeni perkataan Ayahnya, lebih baik ia memasak dan berangkat ke sekolah.

"Udah selesai. Zia pamit ke sekolah, ya, Ayah." Zia melangkah mendekat kepada Zero, lalu mengambil tangan kekar yang selalu menamparnya. Ia bergerak mencium tangan itu dengan berani, lalu melangkah keluar rumah dengan perasaan campur aduk.

I'm Sorry, Good Bye! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang