33. Lagi-lagi Maaf

18.8K 4.3K 291
                                    


Aku dan Bimo tidak tahu harus mulai darimana. Sudah hampir 15 menit duduk berdampingan di taman tak jauh dari panti asuhan, tapi tak satupun mengeluarkan suara. Dari semalam sebenarnya aku sudah menyiapkan semua yang ingin aku sampaikan, tapi begitu melihat Bimo, semuanya menguap tanpa sisa.

"Amerika... gimana, Bim?" Dari semua pertanyaan, yang aku keluarkan malah basa-basi tak penting seperti ini. Bimo menghembuskan napas berat.

"Cakra ada dimana-mana, Ka. On every corner I turned, on every red lights my car stopped, on every restaurant I've been to. He's there on every step I took."

Aku tidak membalas perkataan Bimo. Aku mengerti jelas apa yang dirasakan pria itu. Bagiku, kalimatnya nyata. Aku mengalami hal yang sama.

"Ka," panggil Bimo pelan. Aku menoleh.

"Gue beneran minta maaf. Kalian bilang tangan kosong, tapi gue tetap keras kepala lempar batu itu." Suara Bimo bergetar. Ini permintaan maaf resmi pertamanya setelah kejadian itu. Terakhir kali aku bertemu dengannya, aku terlalu marah untuk mendengar permintaan maafnya.

"Gue minta maaf karena harus bikin Cakra pergi di depan lo. Gue minta maaf buat semuanya," lanjut Bimo. Aku melirik tangannya yang ia kepal, berusaha menyembunyikan bahwa tangannya juga bergetar tak kuasa menahan emosinya.

Aku menepuk punggung Bimo pelan. "Kita bego banget ya Bim dulu?" kekehku. "Kalau dipikir lagi, kita bahkan nggak tahu kan, kita berantem gara-gara apa? I don't even know you that well."

Pundak tegang Bimo sedikit dilonggarkannya ketika mendengar nada bicaraku. Ia mengangguk.

"Gue udah lama banget mau ngomong sama lo, Ka. Cuma gue tahu lo pasti nggak mau ketemu gue," ujar Bimo. Aku tersenyum kecil.

"Kalau lo minta ketemu gue dua bulan yang lalu aja... pasti gue tolak mentah-mentah, Bim. Tapi gue udah mutusin untuk coba berdamai. Gue nggak sanggup lari lagi," kataku.

"Cakra akan biarin gue lakuin hal yang sama nggak ya, Ka? Berdamai?"

"Bim, satu-satunya orang di dunia ini yang dari dulu nahan lo buat berdamai, itu gue. Lo nggak bisa maafin diri lo, karena lo tahu gue belum maafin lo. Bayangan Cakra yang selalu lo lihat, itu cuma alam bawah sadar lo yang ngingetin lo untuk ke dateng ke gue," jelasku. "Gue juga sama kok. Sampai gue memutuskan untuk berdamai sama semuanya."

Bimo tertegun mendengarku. Mungkin ia menerka-nerka seberapa akurat perkataanku.

Mengalihkan pandanganku dari Bimo yang masih menunduk, aku menatap lurus ke depan, hanya untuk mendapati Auriga yang muncul entah darimana, berdiri di sana dengan tangan terkepal. Pria yang bisa-bisanya tidak kusadari kehadirannya itu berjalan pelan ke arah aku dan Bimo. Wajahnya dingin, dan langkah kakinya terlihat berat.

BUG!

"AURI!" Aku berteriak ketika tangan Auri melayang bebas mengenai pipi Bimo. Bimo terkejut dan memegang pipinya, melotot pada Auriga. Bimo bangkit dari duduknya, hampir bicara lagi sebelum Auriga kembali menyelanya.

"Itu buat hidup yang nggak sempat Cakra jalanin karena lo."

BUG!

"Itu buat janji yang nggak sempat dia tepatin ke gue karena lo!"

BUG!

"Itu buat semua air mata dan hari-hari kayak neraka yang Nika jalanin gara-gara lo!"

Aku melihat tangan Auri yang siap kembali mengenai Bimo, tapi sebelum itu terjadi, aku beranjak dan berdiri di depan Bimo, mengahadang pukulan Auriga dengan telapak tanganku.

Auriga Arsa (Completed)Where stories live. Discover now