Raisa memang telah mengetahui penyakit sahabatnya. Terlalu menyakitkan waktu pertama kali dirinya mengetahui di saat memaksa Jisya periksa ke dokter karena sering mengalami pusing dan mimisan.

Melihat kekhawatiran yang dirasakan Raisa Jisya tersenyum tipis. Setidaknya masih ada Raisa, seseorang yang setia menemaninya sejak di bangku SMA. "Siapa sih Ra yang gak mau sembuh? Aku juga pengennya gitu, memang dasar tubuh ku aja yang lemah"

"Tubuh kamu gak akan lemah kalau kamu jaga kesehatan, gak banyak pikiran, dan gak terlalu lelah dalam beraktivitas. Dokter bilang kamu sepertinya lagi banyak pikiran, kamu mikirin apa sih? Bunda kamu? Atau adik kamu buat ulah lagi?"

"Mereka gak ada sangkut pautnya sama penyakit aku Raisa. Berhenti menyalahkan mereka"

Rasa penasaran dengan pembahasan kedua wanita di dekatnya membuat Vano mengernyit heran. Apa mungkin hubungan Jisya dengan keluarganya sedang dalam kondisi yang tidak baik? Meski bisa dikatakan tidak sopan tapi Vano malah semakin menajamkan pendengarannya coba mencari tau lebih banyak mengenai keluarga Jisya.

"Tapi mereka udah–" Tangan Raisa digenggam erat oleh Jisya. Gadis itu terlihat menggeleng pelan berharap Raisa melihat tempat sebelum membahas masalahnya. Di sini ada Vano, Jisya tidak ingin lelaki itu semakin iba pada keadaannya.

Raisa berbalik menatap Vano intens yang dibalas tatapan canggung dari muridnya. "Why are you here? This is not school, Where you play and show your naughty nature!!"

"Boleh bahasa Indonesia aja gak? Saya gak pernah masuk pelajaran Mam Ra, jadi gak tau cara balas pertanyaan nya" Polos Vano. Dia mengerti artinya namun terlalu bingung untuk membalasnya dengan kalimat bahasa Inggris juga seperti aturan Raisa pada setiap murid yang berbicara padanya.

Itu sebabnya jika bertemu sang kakek atau para pamannya yang tinggal di luar negeri Vano lebih memilih berbicara dengan bahasa asalnya. Dia bukan Alvino yang pintar dalam hal akademik jika kalian ingat.

"Shut up! Don't try to test my patience. Get out of here!" Bentak Raisa. Dia sangat sensitif pada Vano karena tau lelaki itu salah satu murid nakal yang sering membuatnya kesal.

"Lah diusir. Saya bicara baik-baik juga. Kalau kata Tama dasar Nenek lampir!!"

"Vano!" Ucap kedua guru wanita itu bersamaan. Jisya sendiri merasa bingung harus bersikap seperti apa. Raisa belum mengetahui jika Vano dan dirinya memiliki hubungan yang sulit dijelaskan.

Vano meneguk ludahnya kasar. "Duhh mainnya keroyokan. Cukup pelajaran kalian aja yang bikin pusing, gurunya jangan" Ujar Vano santai.

"Pantesan gak ada murid disekolah yang suka pelajaran matematika dan bahasa Inggris. Yang satu gurunya dingin sekalinya bicara nusuk banget, yang satu lagi cerewetnya bikin elus dada" Cibir Vano panjang lebar memelankan nada suaranya.

"Dia kenapa bisa disini sih, Sya? Untung aku belum Isi, kalau udah amit-amit marah kayak gini. Takut nular sifat nakal dia ke anak aku" Raisa menatap muak pada Vano yang menyengir tanpa beban.

"I-itu sebenernya Vano ke sini–"

"Wajarlah kan saya pacarnya" Potong Vano. "Saya kesini buat jenguk bukan buat cari ribut. Cukup disekolah, gak baik emosi di rumah sakit. Kita selesaikan secara kekeluargaan aja"

"Saya dan kamu bukan keluarga! Gak ada yang harus diselesaikan dengan cara kekeluargaan" Sarkas Raisa. "Lagian kamu ngaku-ngaku jadi kekasih sahabat saya, percaya diri sekali kamu! Dasar murid nakal!"

"Cih, dikasih tau gak percaya"

"Ra" Panggil Jisya pelan.

Raisa tidak menoleh melainkan memilih menjewer telinga Vano kuat dan menarik lelaki itu agar segera keluar dari ruang rawat. "Ayo keluar kamu sekarang!"

BUKAN CINTA TERLARANG {END}Where stories live. Discover now