6. Alecia Dan Mata Biru

Start from the beginning
                                    

Zee mengangkat tangannya, memegang pergelangan tangan kanannya dengan tangan kiri, matanya menyorot urat-urat nadinya yang terlihat samar-samar di balik kulit.

Dia baik-baik saja.

"Zeleyaa!! Kamu nggak tidur lagi kan?!!"

Suara teriakan Ibu membuat Zee melepaskan fokus dari tangannya. Dia menghela nafas dan langsung menyingkap selimut yang masih menutupi kakinya.

Tak berniat membalas teriakan Ibunya dengan teriakan yang sama karena menurutnya, itu sama sekali tidak sopan. Dia akan menghampiri ibunya nanti, setelah mandi.

~🌙~

Zee tak lupa mengecek kembali isi dari tas yang ia bawa, setelah memastikan tak ada yang kurang ia mulai mengangkat tangannya, buku-buku jarinya bersinggungan dengan pintu bercat putih di depan.

Seperti biasa, selama libur sekolah –entah itu hari minggu atau hari besar nasional– Zee harus membantu Ibunya mengantarkan pesanan makanan.

Dan saat ini, ia sudah berada di rumah sakit yang untungnya tak terlalu jauh dari rumahnya sehingga bisa ia jangkau hanya dalam sepuluh menit menggunakan sepeda.

"Masuk!"

Suara dari dalam menarik kembali perhatian Zee, dia menjangkau knop pintu, memutar benda itu perlahan sehingga pintu pun secara perlahan terbuka.

"Permisi, Dok, saya mau mengantarkan pesanan makanan," ujarnya seraya mengintip isi ruangan dari sela-sela pintu yang terbuka sedikit.

Wajah Dokter Anton, salah satu yang paling sering memesan makanan pada Ibunya yang pertama kali Zee dapati. Pria itu tersenyum dan mempersilahkan Zee masuk.

"Taruh di meja saja ya, maaf saya nggak bisa nerima langsung karena ini, ponakan saya takut ketemu orang asing."

Zee hanya mengangguk tanpa melunturkan senyum sedikitpun. Dia sudah sering mengantarkan makanan pada Dokter Anton, pria itu baik dan ramah, sesuai dengan title-nya yang bergelar psikiater.

Zee mengeluarkan semua makanan yang ia bawa, meletakkannya di atas meja. Mengenai ponakan Dokter Anton, ia belum melihat dengan jelas wujudnya, sesuai dengan apa yang dikatakan pria itu, pasti ponakannya sedang bersembunyi karena takut bertemu orang asing.

"Sudah semua, Dok, nanti kalau ada yang kurang Dokter bisa telepon Ibu."

Dokter Anton mengangguk. "Iya, terima kasih ya, Zee."

"Saya yang harusnya terima kasih, Dok. Kalau begitu, saya permisi ya, Dok, mau ngantar makanan ke tempat lain."

"Iya, sekali lagi maaf, ini ponakan saya bener-bener nggak ngizinin saya berdiri, sampai dipegangin terus kaki saya." Dokter Anton sesekali tertawa geli, matanya menatap ke bawah meja kerjanya.

Zee mengangguk maklum. "Umur berapa, Dok, ponakannya?"

"Baru empat tahun."

Basa-basi singkat terjadi, setelah merasa cukup, Zee akhirnya benar-benar pamit dari ruangan itu.

"Alecia lain kali jangan begini ya, Om jadi nggak enak kan sama Kakak Zee." Samar suara Dokter Anton terdengar, menasehati keponakannya.

Through the Dark   [ HIATUS ]Where stories live. Discover now