Part 18-[Really bad]

8.7K 559 25
                                    

Jempolnya masih sehat, kan? Alhamdulillah.
Jangan lupa vote❤

⋆┈┈。゚❃ུ۪ ❀ུ۪ ❁ུ۪ ❃ུ۪ ❀ུ۪ ゚。┈┈⋆

Di karenakan pasien koma yang tidak boleh dijenguk banyak orang sekaligus, maka mereka semua memutuskan bahwa Devan dan Femi lah yang terlebih dahulu memasuki ICU dengan pakaian sterilnya. Nira, Deon, Yoga dan Rizal memutuskan untuk pulang terlebih dahulu setelah melewati banyak pertimbangan. Lagipula, Nira juga harus mengemasi baju-baju Secha yang ada di Rumah untuk ganti di sini. Bisa dilihat tubuh Secha yang dipenuhi peralatan pernafasan dan lain sebagainya. Rasanya, Devan ingin tenggelam saat ini juga ketika melihat hal tersebut.

“Cha, separah ini, ya?” Devan berjalan kaki mendekat kearah sang kekasih. Ah, masih pantaskah dirinya menyebut status itu?

Lelaki tersebut menitikkan air matanya, menatap lurus wajah Secha yang tampak putih pucat, bibirnya mengering juga tak ada kemerahan sedikit pun.”Maaf, maaf... banget...” Devan berbisik lirih. Kemudian ia mendudukkan dirinya dikursi yang tersedia disamping brankar.”Aku bodoh, Cha. Aku gak bisa menyangkal itu.”

“Bukan Cuma bodoh, tapi tolol banget!” suara Femi terdengar menyhuti pelan. Devan hanya melirik sekilas, sebelum kembali memusatkan perhatiannya kepada sang pujaan hati.

Laki-laki itu menggenggam jari-jemari Secha perlahan, tangan yang satunya dia majukan untuk mengelus pipi gadis tersebut yang terdapat goresan luka kecil-kecil. Devan menggeleng pelan, menundukkan kepala menjadikan lengan Secha sebagai tumpuan.”Maaf... Cha. Aku gak tahu mau ngomong apalagi sekarang. Rasanya... sesak, Cha. K-kamu... aku cinta kamu.” lelaki itu tak bisa berkata banyak. Yang ada, penyesalannya bertambah besar saat ini juga.

“Lo memang pembawa sial, Dev.” Femi yang berada disebelah Secha yang satunya pun kembali bersuara. Memaki Devan sesuai isi hatinya.”Kalau aja lo gak egois, mungkin sekarang ini, Secha masih ketawa-ketawa sama gue!”

Devan mendengar, itu memang benar.”Maaf...” memangnya, apalagi yang harus ia ucapkan selain meminta maaf?

“Maaf lo itu, gak bisa sembuhin sahabat gue! Percuma!”

Tak ada balasan lagi, Devan juga tidak tahu ingin membalas apa. Semua yang dikatakan Femi memang benar, ia tak bisa menyangkal.

Femi sendiri kembali memusatkan perhatiannya kepada Secha, menggenggam jemari gadis itu dengan lembut—sama seperti yang Devan lakukan saat ini. Femi terisak pelan, bayangan kebahagiaannya dengan sang sahabat melintas begitu saja diotaknya. Membuat ia tidak bisa mengetahui bagaimana cara mengurangi kesedihannya ini.

“Kira-kira, kapan lo bisa sembuh? Padahal baru tadi siang lo kecelakaan, tapi gue udah kangen sama tawa lo lagi.” Femi mendongak, mengusap air matanya yang tak bisa berhenti. Mungkin sekarang ini wajahnya sudah amburadul dengan kantung mata yang besar. Ia tak peduli.”Bahkan gue belum pulang daritadi, Cha. Gue belum mandi, belum makan, cuma pengen temanin lo doang.”

“Cepet sembuh, Cha. I love you, lo udah gue anggap sebagai saudari kandung sendiri.”

Diam-diam, Devan setuju dengan ucapan Femi. Kekasihnya memang sangat baik, jadi tak heran jika Femi sampai menganggap Secha sebagai saudari kandungnya sendiri. Lelaki itu kembali mengangkat kepala, mengusap wajahnya agak kasar. Devan benar-benar kacau saat ini.

“Love you, Cha. Kamu memang pantas mendapat cinta dari semua orang.” Devan sedikit berdiri dan membungkukkan badan, mengecup kening Secha dengan penuh kasih sayang.”Cepet sadar, kesayangannya Devan.”

***

Laudya menghela nafas kasar, menghampiri Devan yang duduk dengan pandangan kosongnya. Ia ikut mendudukkan diri disamping lelaki itu.”Yang kuat, Dev. Gue tahu, lo gak bakal nyerah begitu aja sama keadaan.” ucapnya sambil menepuk pundak Devan.

Devan menggeleng ringan, mengulum bibir bawahnya.“Gue takut, Lau. Takut kalau Secha....” tak bisa dilanjutkan. Ia terlalu takut mengatakan hal tersebut. Ia tak sanggup. Laudya diam tak memberi respon, namun dari raut wajahnya seolah menyakinkan sang sepupu bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Lo gak marah sama gue?”

Laudya termangu sebentar,”Marah? Buat apa?” tanyanya pelan. Kemudian terjadi keheningan sesaat, sebelum gadis itu kembali membuka suara.“Marah, sebenernya sih iya. Gue marah sama lo. Waktu itu, gue udah kasih peringatan sama lo, kan? Tapi kenapa gak di anggap?” ujarnya penuh kehati-hatian, takut membuat Devan bertambah kacau karena kalimatnya nanti.

“Dan untuk sekarang, semuanya udah terlanjur. Marah pun rasanya gak ada gunanya. Menyesal, apalagi? Penyesalan lo juga gak bakal ada gunanya. Gue maklumin lo, karena pada dasarnya manusia itu tempatnya salah. Eits, tapi walaupun gue gak marah dan maklumin lo, bukan berarti gue gak ada rasa kecewa, ya.” Laudya berhenti sejenak, menatap kesembarang arah sambil memainkan kuku-kuku jarinya yang indah dan lentik.

“Lo menyesal, itu udah baik. Buat pelajaran, besoknya jangan pernah lakuin hal buruk kayak gitu lagi.” Lanjut gadis itu dengan serius,“Dan, kalau dikasih wejangan itu, mbok ya didengerin. Gue juga gak suka sama salah satu sifat lo yang menyepelekan sesuatu dengan mudahnya.”

Laudya berdiri dari duduknya, menatap Devan dengan senyum tipis. Dia berjanji akan tetap menjadi sumber tenaga untuk sepupunya itu, disaat semua orang hanya ada disampingnya tanpa memberi kalimat  yang menenangkan dan berarti. Sesalah apapun Devan, ia tetap manusia biasa yang bisa hancur kapan saja. Tidak ada salahnya menjadi salah satu sumber kekuatan lelaki itu lewat kata-kata, kan?

“Gue keluar dulu, jaga Secha baik-baik, jangan lakuin aneh-aneh.” Laudya menepuk bahu sang sepupu, kemudian melangkah menjauh. Devan melirik sekilas punggung gadis itu, lalu mengacak rambut frustasi.

“AKKHHHH! I'M REALLY BAD!”

RELATIONSHIP Where stories live. Discover now