13. Bingung

5 2 1
                                    


Rabu, 14 November 2018
Pukul 08.14

Senja berlari-lari kecil mendekati Bahrain dan Fazura sambil membawa dua gelas plastik ukuran besar. Minuman yang lagi hit ini memang sangat digemari anak-anak remaja. Fazura dan Senja termasuk penggemar garis keras. Biasanya Fazura menyukai boba drink varian pearl milk tea yang berbahan dasar teh dan susu dicampur topping bola-bola mutiara hitam. Sedangkan Senja, dia menyukai lemon tea drink. Gadis itu kemudian menyerahkan pesanan Fazura.

"Elu tadi teriak kenceng kenapa?" Senja bertanya sambil menyeruput minumannya. Bahrain menolak dibelikan minuman itu, dia memilih meneguk minuman mineral yang dibawanya dari rumah.

"Tuh tanya Rain aja, kepo lu ya?"

Senja tertawa kecil. Namun saat dia hendak bertanya kepada Rain, ponsel di dalam tas kecilnya berdering. Gadis itu meraihnya dengan cepat. Matanya membeliak dengan bibir sedikit terbuka. Disentuhnya tombol panggilan itu sebelum deringnya berhenti.

"Ada apa, Ma?"

"Kamu coba hubungi Kak Samy deh, kata maminya dia enggak jadi ke luar kota. Ada di Jakarta, hanya saja enggak bisa pulang." Terdengar suara Mama Senja di ujung telepon.

"Oke, Ma. Nanti Senja telepon dia."

Gadis itu menutup percakapan. Lalu, tanpa menunggu waktu, dia mencari kontak sepupunya. Minuman yang dipegangnya diberikan kepada Fazura. Namun, panggilan itu tidak tersambung. Beberapa kali dia mencobanya, tetapi selalu gagal. Keresahan hatinya tidak bisa disembunyikan. Tangan sebelahnya menyugar rambut perlahan. Fazura mengamati dan berharap sebuah keajaiban akan datang. Bahrain menyembunyikan tangannya ke dalam saku celana.

Sepuluh menit berlalu. Hampir saja Senja putus aja. Ketiga berdiri di depan danau kecil dekat taman kompleks perumahan. Hening menggelayuti waktu. Bunyi detik jam samar terdengar, menyiratkan sebuah masa berjalan tanpa bisa dihentikan. Fazura melemparkan batu kerikil ke tengah danau yang bening. Permukaan air yang tenang beriak membentuk bias lingkaran.

"Semoga yang ini bisa," gumam Senja penuh harap.

Gadis bermata sipit itu mencoba menelepon kembali. Air mukanya berubah sesaat kemudian. "Kak Samy, dimana sekarang? Kamu bawa kamera punya temanku ya?" Suara Senja menukik tajam.

Fazura mendekati gadis itu dan mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel. Senja kemudian menekan tombol pembesar suara di sudut kiri bawah. Sengaja, agar percakapannya bisa didengar kedua temannya.

"Itu bukannya kamera punya papa kamu, Ja?" Nada suara keheranan Samy dari ujung sana. Terdengar jelas ada keramaian di belakangnya dan itu cukup mengganggu percakapan mereka.

"Bukan, kamu salah ambil kamera, Kak. Kamu ambil yang di meja kan? Bukan yang di dalem lemari?"

"Lho, bukannya kamera itu udah disiapin di meja?"

Senja mendengkus. "Kamera Papa masih ada. Yang Kakak bawa itu punya temanku. Aku pinjem dan mau dibalikin. Kakak anterin sekarang ya?"

"Enggak bisa, Ja. Kakak lagi kerja dan butuh kamera itu. Please, bilangin teman kamu dong. Aku balikin minggu depan deh." Samy setengah berteriak.

"Gila kamu, Kak. Itu kamera mau dipake besok sama kakaknya Fazura. Dia kena hukuman ayahnya kalau enggak bisa ngembaliin kameranya," teriak Senja geram.

Fazura merebut ponsel dari tangan Senja. Roman gadis itu menegang, dia tidak suka dengan respon sepupu Senja itu. "Kak, Elu jangan seenaknya ya! Itu kamera gue yang elu bawa tanpa izin. Di mana elu sekarang?"

Samy terbatuk-batuk di seberang sana. Mungkin dia tidak mengira jika Fazura mengambil alih ponsel adik sepupunya. "Oh, maaf. Tapi aku lagi pake kamera ini. Lagi pula enggak bisa pulang, lagi ada pemotretan iklan Sampireun. Boleh pin--"

Tiba-tiba suara Samy terputus. Fazura meminta Senja untuk menghubunginya kembali. Sayang sekali, usahanya tidak berhasil. Fazura kesal sekali. Emosinya meledak! Dia mengambil batu berukuran cukup besar dari pinggir jalan, lalu dilemparkannya sejauh mungkin ke danau. Percikan air terlempar ke udara dan menimbulkan gelombang riak pada permukaannya.

"Gila! Sepupu lu enggak punya hati!" tuding Fazura sambil menatap tajam ke arah Senja. "Ja, minta nyokap lu hubungin sepupu lu tuh!"

Senja cemberut. Tidak! Dia bukan sebal pada perkataan Fazura, justru omongan kakak sepupunya yang membuatnya dongkol. Sejurus kemudian, gadis remaja yang pandai menyembunyikan amarah itu menghubungi mamanya dan menjelaskan kejadian yang baru saja terjadi. Entah apa yang diucapkan mamanya, Senja terlihat muram.

Bahrain melirik jam tangannya. Sudah pukul sembilan. Dia meraih ponsel di saku celananya, lalu jemarinya mengetikkan sesuatu. Wajahnya terlihat serius. Fazura melangkah menjauh dan memutuskan untuk duduk di bangku taman. Dadanya terasa sesak dan semangatnya sedikit memudar. Boba Drink tinggal setengahnya, sayang, Fazura sudah tidak tertarik untuk meminumnya kembali.

Bahrain mendekatinya. "Ayo, cabut yuk!"

"Kemana?"

"Lho, bukannya mau cari kamera? Ayo!"

"Iya, mesti ke mana, Rain? Itu ditelepon aja terputus. Enggak jelas!" sungutnya.

"Gue udah tau Kak Samy ada di mana. Buruan kita jalan. Entar keburu siang. Lu enggak mau 'kan kamera itu enggak balik lagi?"

"Lu jangan bikin gue tambah bingung ya! Sekarang, kita mau kemana?"

Bahrain tersenyum simpul.

-- to be countinued --

HIDDEN SIGHT (On Going)Where stories live. Discover now