12. Bergerak

6 2 0
                                    

Rabu, 14 November 2018
Pukul 07.10

Fazura memarkirkan motornya di halaman rumah Senja. Dia yakin, sahabatnya itu sudah menunggu sesuai dengan janji mereka tadi malam. Sebuah rencana sudah tersimpan, hanya saja dia sedikit gamang mengingat percakapannya dengan Bahrain. Sudahlah, yang penting dia keluar dulu dari rumah dan mencoba mencari solusi bersama kedua sahabatnya.

Fazura terlihat segar dalam balutan jeans overall dan kaos gombrong yang membalut tubuhnya. Sepatu sneakers terlihat manis membungkus kaki. Tak lupa, topi baseball bertengger di kepalanya.

Demi misi ini, tadi pagi, dia diam-diam keluar rumah saat Ayah dan Kak Alaina sudah berangkat, sedangkan Bunda pergi ke pasar dengan Mbak Sari. Tidak ada yang tahu jika Fazura tengah merencanakan sesuatu. Dengan membawa dompet yang sengaja diisi uang dari tabungan kaleng yang dibobolnya, dia melangkah pergi. Motor matik miliknya sudah siap menunggu di garasi.

Gadis itu berdoa agar hari ini tidak hujan seperti beberapa hari sebelumnya agar tujuannya berhasil. Repot juga 'kan kalau cuaca tidak mendukung. Belum lagi banjir di sejumlah titik Jakarta.

Tiba-tiba, sebuah perasaan terselip di hatinya. Dia merasa akan menemukan sesuatu yang berbeda dalam hidupnya. Apa itu? Entahlah, yang jelas kata hati memintanya bergerak. Ikhtiar dulu. Kata itu yang diingatnya dari Pak Razak, guru agama di sekolah.

Setelah mengambil tas kecil yang disimpan di dalam jok, kakinya melangkah ringan menuju teras rumah Senja. Matanya terpana, di sana sudah ada Bahrain yang menatapnya sambil tersenyum. Teh manis hangat dan camilan kecil tidak jauh dari tempat duduknya. Anak laki-laki remaja itu terlihat lebih dewasa dibanding saat memakai seragam SMP.

Bahrain mengenakan kemeja biru tua kotak-kotak tangan panjang yang digulung sampai siku, celana jeans hitam membungkus kaki panjangnya. Rambutnya yang sedikit ikal bergelombang disisir rapi. Fazura tertawa kecil melihatnya.

"Wih, anak bos toko emas udah dateng. Jamber nyampe?" sapa Fazura sambil melongok ke dalam rumah mencari-cari keberadaan Senja. "Senja mana, Rain?"

"Di dalem, katanya mau mandi dulu. Gue barusan nyampe, belum lama. Lu udah dapet info dari Senja belum kalau sepupunya di mana sekarang?" tanyanya seraya menggeser tubuh memberi ruang kosong untuk gadis itu.

Fazura menggeleng sambil menghela napas panjang, lalu diembuskannya dengan kasar. Dia menatap Bahrain sekilas, lalu melempar pandangan ke arah luar. Wajahnya terlihat resah. Dari balik pintu, muncul mama Senja membawa nampan kayu berisi makanan. Bibirnya tersenyum saat melihat Fazura.

"Ayo, dimakan dulu yuk, lontong sayur buatan Tante. Masih anget nih. Kalian berdua pasti belum makan 'kan?" Sebuah ajakan yang  langsung disambut antusias Bahrain dan Fazura. "Ngomong-ngomong, kalian mau kemana hari ini?"

Fazura menggeleng pelan. "Belum tau, Tante."

Mama Senja menghela napas. Dia merasa bersalah pada gadis manis di depannya. Bagaimana pun juga, masalah yang dihadapi Fazura saat ini berawal dari dirinya yang teledor. Senja sudah bercerita banyak mengenai hal itu.

"Tante minta maaf ya, Fazura. Mestinya waktu Samy ke sini, Tante yang kasih kamera Om langsung sama dia. Samy mungkin berpikir kalo kamera yang mau dipinjemnya itu yang disimpan Senja di meja. Haduh, mana susah dihubungi lagi tuh anak."

"Iya, Tan. Nanti bantuin lagi ya teleponin Kak Samy."

"Iya, iya pasti Tante teleponin lagi."

Fazura mengangguk. Dia sungkan untuk berbicara banyak, hingga akhirnya mama Senja berlalu dan Senja bergabung dengan mereka sesaat kemudian. Anak itu memakai atasan kaos tangan pendek berwarna kuning gading dipadu celana jogger aprikot yang lagi hits.

"Cabut yuk!"

"Kemana?" jawab Bahrain dan Fazura bersama-sama, lalu mereka saling menoleh, Senja berdeham.

"Ya, kemana aja kek, siapa tau kalau kita keluar rumah, kita dapet ilham atau petunjuk. Gue juga mau telepon Kak Samy lagi."

Setelah menimbang beberapa saat, Fazura kemudian menyetujuinya. Mereka sengaja berjalan kaki ke luar dari komplek. Motornya sengaja disimpan di teras rumah Senja. Tak ada tujuan yang jelas pagi itu. 

"Faz, elu masih ingat enggak apa yang lu omongin sebelum kamera dipinjem sama Senja?" tiba-tiba Bahrain bertanya saat Senja membeli boba drink di sebuah outlet minuman pinggir jalan.

"Yang mana?" Gadis itu melirik sekilas, lalu kakinya menendang batu kerikil.

"Yang elu bilang, pengen berpetualang tanpa melibatkan keluarga ke tempat yang belum pernah lu singgahi."

"Maksudnya?"

"Ini saatnya kita bertiga menjelajah Jakarta, Faz. Elu sadar enggak? Jakarta punya tempat yang mungkin kita enggak pernah tahu. Apalagi, elu, gue atau Senja terbiasa keluar masuk tempat-tempat yang gampang dituju atau terkenal." Anak laki-laki itu menoleh ke arah Fazura. "Next, kalau mau, kita bisa pergi ke tempat lain yang lebih jauh. Ujung Jawa atau ... Raja Ampat sekalian. Tenang Faz, gue bakalan temenin lu ke mana aja," sambung Bahrain.

Fazura terdiam. Pikirannya membenarkan ucapan Bahrin. Jujur, selama ini dia lebih mengenal Jakarta lewat pusat perbelanjaan, kafe tempat nongkrong, bioskop, hotel, restoran, dan wahana permainan yang terkenal dan selalu ada dalam iklan di instagram atau TV serta brosur yang dibawa Ayah dari kantor. Selebihnya dia melancong ke Bali dan Lombok. Tak hanya itu, Jepang, Turki, dan Perancis pun sudah pernah disambangi. Semuanya bersama keluarga dengan fasilitas yang menyenangkan.

"Bahrain! Ide lu brilian. Cemerlang! Gue suka itu. It's time for us to go on adventure!" pekik Fazura sambil melompat. Hal itu membuat Bahrain kaget. " Bentar, tidak boleh ada yang tahu hal ini."

Dengan cepat, gadis itu meraih ponsel di saku overall-nya. Dengan sekali tekan layar benda pipih itu pun berwarna hitam. Dia mematikan ponselnya.

-- to be continued --

HIDDEN SIGHT (On Going)Where stories live. Discover now