5. Bujukan yang Tidak Mempan

19 3 3
                                    


Minggu, 10 November 2018
Pukul 06.15

Tadi pagi, beberapa menit setelah azan subuh terdengar, Bunda membangunkan Fazura untuk salat. Itu pun pakai acara memukul panci pakai sodet kayu di samping kuping. Pastinya berisik sekali. Kalau tidak begitu, si gadis yang mulai berjerawat di pipi bakal bablas sampai siang. Padahal, Bunda sudah wanti-wanti untuk menyetel alarm. Sebenarnya, alarm sudah diatur sedemikian rupa, hanya saja empuknya bantal dan kelembutan selimut lebih kuat mendekap tubuh gadis itu.

Kini, dengan memakai kaos merah bertuliskan NBA dipadu celana pendek selutut, gadis itu terlihat malas-malasan keluar dari kamar. Sebelum joging dengan Ibu RT, Bunda sudah mengingatkan tugas yang harus dikerjakannya hari ini. Mbak Sari, pembantu di rumah, sedang pergi ke pasar. Kak Alaina, gadis perfeksionis itu pasti ikut lari pagi bareng teman-teman satu kompleks. Lagi pula, mana mau dia membantunya kali ini.

Fix ... dia benar-benar harus menyelesaikan sendiri hukuman itu. Dua kamar mandi di lantai bawah dan satu di lantai atas, belum termasuk kamar tidur khusus tamu. Setelah itu menyapu dan mengepel seluruh ruangan. Arrgh ... liburan yang tidak libur!

Hhmm ... ada bala bantuan satu lagi. Dia pasti mau, pikir Fazura. Ayah enggak mungkin menolak permintaan anak gadisnya. Sejak semalam, dia sudah memikirkan cara agar Ayah mau membantunya. Gadis berkulit kecokelatan itu mulai menjalankan aksinya. Namun, di ruang tamu, ruang keluarga, dan di dapur, beliau tidak ada. Pasti di sana! tebak Fazura sambil menjentikkan jarinya.

Pikiran Fazura tidak salah. Ayah tengah serius di ruang baca yang di desain mirip galeri buku dengan satu set kursi sofa di tengah-tengah ruangan. Hawa di sana terasa sejuk dan segar walaupun tanpa pendingin. Sirkulasi udara dari taman depan rumah mengalir ke dalam lewat jendela kaca yang lebar dan besar.

Ruangan ini tempat favorit Ayah dan Alaina. Mereka sering menghabiskan waktu di sini sampai tertidur dengan posisi buku menutupi wajah. Ayah terlihat segar, jempol kakinya sudah diperban. Saat melihat Fazura, Ayah pura-pura tidak melihat dan sibuk membaca buku. Tubuhnya sengaja membelakangi gadis berhidung mancung itu.

"Ayah, lagi ngapain?"

Manis sekali sapaan Fazura. Suaranya lembut. Ayah masih diam saja. Fazura kemudian mendekat, lalu merangkul lengannya. Ayah tahu, jika gadis tomboy sudah seperti itu, artinya ada sesuatu yang sedang direncanakan.

"Kamu lihat, Ayah lagi ngapain?" Mata Ayah masih tertumpu pada buku.

"Ayah mau dibikinin apa, roti bakar isi telur? Kopi susu? atau .... dibeliin nasi uduk Mpok Lela yang enaknya yahud? Entar aku siapin deh."

"Engga usah, tuh, nasi uduk Mpok Lela." Ayah menunjukkan bungkusan berwarna cokelat yang sudah kosong di tempat sampah.

"Kopi susu? Teh tubruk? Lemon tea? Boba drink ..."

"Enggak, udah dibikinan teh panas sama Bunda tadi."

Fazura diam. Keningnya berkerut. Duh, Ayah sepertinya tidak tertarik. Padahal, bantuan dari laki-laki tersayang adalah harapan satu-satunya saat ini. Gadis itu melirik lagi. Aha, ada satu lagi. Pasti Ayah mau.

"Ayah, Ayah mau dipijitin enggak kakinya? Biar enggak pegal. Ayah pasti capek 'kan abis kerja dari Senin sampai Jumat." Fazura menampilkan wajah manisnya sambil memijit pundak sang ayah.

Sumpah ... hati laki-laki itu tersentuh. Meleleh seperti cokelat yang lumer. Dadanya terasa sesak. Ucapan Fazura membuat jiwanya merapuh. Kalau bukan karena perjanjian dengan Bunda tadi malam, saat mereka hanya berdua di kamar, tanpa bujuk rayu pun dia ingin sekali membantu putrinya itu.

"Mas, kumohon, untuk kali ini bantu aku mendidik Fazura dengan tegas ya."

Mata cantik Bunda menatap dengan lembut, dagunya ditopangkan ke pundak Ayah. Mata dan wajah itu, karunia Tuhan yang terindah dan selalu dirindukan olehnya setiap berjauhan.

"Apa yang kamu inginkan? Kasihan Fazura jika kita terlalu keras menekannya."

"Fazura harus tahu arti tanggung jawab dan menjaga kepercayaan orang lain padanya. Walaupun itu orang terdekat sekalipun. Jika kita membiarkan dia senaknya dalam bertindak, bisa jadi ke depannya dia mudah menyepelekan, bahkan lari dari masalah. Mas paham 'kan maksudku?"

Ayah menatap Bunda. "Mas harus gimana, Sayang?"

"Janji dulu?"

"Iya ... Janji."

"Jangan bantu ngerjain tugas hukuman yang aku kasih sama Fazura. Selain itu, Mas harus tegas mengenai kamera. Aku memintanya untuk mengambil kamera itu besok sore."

Duh, Ayah bingung. Sudah terlanjur berjanji tadi. Sejenak dia tidak bisa berkata apa-apa. Namun, dicobanya untuk menawar. "Dek, untuk urusan hukuman oke, Mas janji, tapi ... masalah dia harus ke rumah Senja, apa jangan besok gitu? Mungkin Senja masih pake barangnya."

Bunda mengembuskan napas. Dia menarik tubuhnya, lalu sedikit menjauh dari Ayah. "Ini yang selalu bikin kita berseberangan dalam masalah Fazura. Selalu ada ragu. Kita ini mendidik manusia, Mas. Bukan robot. Biar dia mengetahui kesalahannya di mana, dan bisa tidak mengulangnya lagi."

"Baiklah."

"Ayah ... Ayah kok diam?"

Suara Fazura membuyarkan lamunannya. Ayah menoleh. "Kamu mau apa?"

Fazura bersorak dalam hati. Ayah mulai memahami hatinya. Ah, Ayah memang orang yang paling bisa diandalkan dalam segala situasi dan kondisi. Tidak sia-sia tadi mengeluarkan jurus maut. Pasti, pasti ini karena Ayah orang yang tidak tegaan. Beda sama Bunda. Tegas!

"Yah, masa kemarin aku diomelin Bunda. Dihukum terus mesti ngambil kamera ke rumah Senja. Aku enggak salah 'kan? Tapi Bunda enggak mau denger penjelasanku." Fazura melancarkan aksinya agar Ayah luluh. Laki-laki itu hanya mengangguk.

Melihat Ayah terlihat mulai tertarik, Fazura berkata lagi. "Hukuman Bunda terlalu berat. Aku musti bersihin bak kamar mandi. Ayah 'kan tahu, kamar mandi di rumah ini ada tiga. Belum yang di kamar tamu. Mana gede-gede lagi. Duh, pasti bikin capek. Aku tuh suka pegal-pegal. Belum naik turun tangga. Abis itu, mesti nyapu sama ngepel. Wah, aku makin lemas dong. Ruang atas sama bawah banyak tuh. Ayah sih, bikin rumah gede." Mimik wajah Fazura dibuat memelas.

"Terus?"

"Ayah Sayang ... bantuin aku ya! Please, I need your help. Ayah pasti bisa. Mumpung Bunda enggak ada."

Ayah menatap Fazura. Seulas senyuman lebar terlukis di wajah yang baru saja dicukur kumisnya. Tangannya kemudian menyentuh pundak gadis remaja yang tengah menatap penuh harap.

"Fazura Sayang, kali ini Ayah enggak bisa bantuin kamu. Kerjain tugas dari Bunda ya. Lihat, kaki Ayah masih sakit. Tuh, diperban. Pasti kamu bisa! Selamat berjuang, Manis. Eh, jangan lupa! Nanti sore kamu ke rumah Senja. Ambil kameranya. Oke!"

Apa? Enggak salah denger?

Mata Fazura langsung melotot mendengarnya. Ayah kemudian berjalan santai ke luar perpustakaan.

Dih, kok jadi gini? Ayah abis makan apa tadi? Sekarang udah kena virus Bunda. Iih, sebel deh. Jadi ... ini beneran? Aku mesti kerja sendiri.

Dengan hati dongkol dan mulut yang menggerutu, Fazura akhirnya melaksana semua tugas hukuman itu. Ternyata, gadis itu mampu menyelesaikan dalam beberapa jam. Kamar mandi sudah bersih. Bahkan sampai bak air pun dikurasnya. Ruangan semua sudah disapu dan dipel.

Mbak Sari memuji pekerjaan Fazura. Ayah bertepuk tangan dan mengacungkan jempolnya. Fazura hanya membalas dengan mencebik. Masih kesal rupanya. Sebagai penyemangat, Ayah kemudian membelikan es krim dan ayam goreng krispi dari restoran siap saji yang ada di depan kompleks.

Satu tugas sudah selesai. Tinggal satu lagi. Hanya saja, Fazura bingung. Apa yang harus dikerjakannya? Tetap meminta kamera itu atau berterus terang kepada Ayah dan Bunda mengenai segalanya? Namun, setelah dipikirkan masak-masak, Fazura memilih opsi pertama.

-- To be continued --

HIDDEN SIGHT (On Going)Where stories live. Discover now