8. Janji Palsu

14 3 2
                                    

Selasa, 13 November 2018
Pukul 06.10

Aroma nasi goreng teri medan yang dimasak Bunda pagi ini membangkitkan selera Fazura. Gadis remaja itu menelan saliva saat bau khas makanan kesukaannya menguar hingga rongga hidung. Indera penciumannya berhasil membuat kerja otak meningkat, sel-sel dalam tubuhnya saling memberi pesan dan perut pun membunyikan alarm.

"Olahan tangan Bunda memang juara, selalu bikin perut keroncongan," gumamnya.

Borborygimi mulai mengalun dalam perutnya yang keroncongan, sebagai bentuk protes agar segera diisi. Namun, Fazura bergeming. Dia memilih tetap berbaring malas-malasan di atas kasur sambil mendengarkan lagu yang lagi hit milik Anne Marrie-Marshmello, Friend.

You say you love me, I say you crazy
We're nothing more than friends
You're not my lover, more like a brother
I known you since we were like ten, yeah

Don't mess it up, talking that shit
Only gonna push me away, that's it!
When you say you love me, that make me crazy
Here we go again

Sungguh, Fazura sangat bosan dan kesal pada semesta yang tidak mendukungnya, bahkan dia merasa, semua orang tengah menyudutkannya.

Kenapa Ayah, Bunda, dan Kak Alaina tidak mengerti, sih? Kenapa pula Senja menambah dan memperparah keadaan? Argh ....

Dia mengepalkan tangan dan memukul kuat bantal. Namun, bunyi krucuk-krucuk dalam perut, tidak bisa diabaikan.

Gadis itu ingat, sepulang dari rumah Senja sore kemarin, dirinya tidak keluar kamar untuk menghindari bertatap muka dengan Ayah, Bunda, dan Kak Alaina. Belum siap rasanya jika ditanya kembali mengenai kamera. Alhasil, semalam dia tidak ikut menikmati sajian makan malam dengan menu ikan bakar Manado dan sambal dabu-dabu yang paling digemarinya. Padahal, beberapa kali Bunda memanggilnya. Dia tahu itu, tetapi pura-pura tidur dan lampu kamarnya sengaja dimatikan.

Namun, pagi ini, dia sangat kelaparan, tak mungkin tidak turun makan. Persediaan kotak rahasianya pun sudah kosong. Lupa mengungsikan persediaan makanan kering dari dapur ke kamar. Perutnya kembali berteriak dan berisik, kali ini teras perih. Baiklah, waktunya mengalah demi cacing yang protes keras.

Dengan piyama yang masih melekat di tubuh, Fazura menuju ruang makan. Pemandangan di depan membuat mulutnya terkunci rapat. Tiga pasang mata menatap. Gadis tomboy itu terkesiap, seolah-olah dirinya tengah berada di tengah pengadilan yang akan segera digelar. Fazura membayangkan, dirinya sebagai terdakwa, Kak Alaina duduk sebagai penuntut umum, Bunda menjadi hakim, dan Ayah sebagai saksi. Fazura bergidik, lemas sudah tubuhnya. Apa balik badan saja?

"Fazura." Panggilan Bunda membawanya kembali dari lamunan. "Kok bengong? Makan sini! Masih remaja, jangan banyak ngelamun."

Fazura mengangguk. "Ya, Bun."

Alaina memandangnya, kemudian bangkit dari meja karena sudah selesai makan dan bersiap berangkat sekolah diantar Ayah. Gadis itu tidak berkata apa pun. Hari ini Ayah tidak ke kantor karena ada meeting di luar dengan orang cabang.

Fazura makan dengan lahap saat yang lain sudah meninggalkan meja makan. Hmm, nikmatnya saat suapan nasi goreng masuk ke mulut. Dia melupakan sejenak persoalan yang sedang dihadapi dan meyakini segalanya akan baik-baik saja. Baginya, masalah akan mudah teratasi dengan perut yang sudah terisi.

Setelah makan, disempatkannya membantu Mbak Sari supaya mendapat simpati Bunda. Dengan begitu, Fazura berharap Bunda bisa membantunya jika Kak Alaina mulai bertanya kembali.

Beberapa jam kemudian, dia sudah di atas motor matik kesayangan menuju rumah Senja. Sebuah keyakinan melingkupi hatinya. Semua akan baik-baik saja, katanya penuh harap. Namun, dia tak menyangka, sebuah fakta yang tak pernah terlintas di pikiran sedikit pun datang dibawa sang sahabat.

"Ja, elu lagi enggak becanda 'kan? Elu enggak lagi menempatkan gue dalam masalah besar 'kan?" Tatapan resah Fazura mengarah kepada manik hitam milik Senja.

"Sumpah, Faz. Gu-gue aja bingung. Kak Samy enggak datang. Hapenya juga enggak bisa dihubungi. Kemarin gue juga ke rumahnya di Benhil. Maminya bilang--"

"Bilang apa?" potong Fazura cepat.

Senja menggosok ujung hidungnya, tak lama kemudian dia menarik napas dalam-dalam. "Maminya bilang ... Kak Samy pulangnya seminggu lagi. Dia ada kerjaan buat motret iklan." Gadis itu tertunduk lesu

"Gila, lu, Ja!" teriak Fazura histeris. "Mati gue!"

"Maafin gue, Faz. Sumpah! Ini di luar perkiraan. Gue enggak nyangka bakalan jadi gini."

Fazura merutuki nasibnya. Amarah sudah di ubun-ubun. Pertahanan dan kesabarannya jebol sudah. Ibarat magma yang mengendap di perut bumi, kini meledak dan memuntahkan lahar panas. Tiba-tiba, ditendangnya kaki kursi plastik di depan rumah Senja hingga bergeser beberapa meter.

Tak hanya itu, tangannya meninju tembok, menyisakan sakit dan memar, tetapi dia tidak peduli. Hilang sudah kepercayaannya pada Senja. Diliriknya sang sahabat yang menunduk ketakutan. Fazura menyesali kebaikannya yang berbalas masalah, tetapi nasi sudah menjadi bubur.

Sepuluh menit berlalu, hening tanpa ada suara apa pun. Mama Senja tengah mengantarkan pesanan katering ke komplek sebelah. Kalau sudah begini, rumit bukan? Fazura mengusap wajahnya dengan kasar.

Gadis itu bangkit. Dia bukan anaķ cengeng, tetapi masalah harus selesai. Dia pun menyadari semuanya sudah terlanjur, lagi pula ini bukan kesalahan Senja seratus persen, walaupun andil gadis berambut sebahu itu cukup besar.

"Gue balik, Ja. Entar gue telepon elu. Kalau ada kabar kasih tau cepat ke gue."

Tanpa menunggu jawaban Senja, Fazura melesat pergi. Dihidupkannya motor yang sejak tadi menjadi saksi bisu kemarahan gadis tomboy itu. Raungan keras motor dan kepulan asap sesaat setelah kepergiannya menjadi pertanda jika sang pengemudi dalam kondisi emosi yang membara. Diam-diam Senja menangis dan merasa menyesal, tetapi dia tidak bisa memenuhi janji kepada Fazura.

Ket :
Borborygimi : Suara perut 'krucuk-krucuk' karena lapar/keroncongan

-- to be continued --

HIDDEN SIGHT (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang