4. Omelan Bunda

30 6 3
                                    


Sabtu, 10 November 2018
Pukul 17.00

Alaina dan Fazura masih ribut dan saling berbalas kata. Sementara di luar, hujan kembali turun dengan deras. Percikannya masuk ke dalam kamar lewat jendela yang terbuka. Namun, mereka tidak peduli.

Suara teriakan saling bersusulan dengan beberapa benda berjatuhan. Hal ini ditakutkan Ayah yang tertatih-tatih memaksa kakinya untuk berjalan cepat. Dari kamar Alaina ke kamar Fazura tidaklah jauh, tetapi rasa sakit menghalangi langkahnya.

Sesekali Ayah menoleh ke belakang, seolah takut keributan di balik pintu kamar putri keduanya terdengar Bunda. Padahal, kakinya semakin nyut-yutan dan serasa mau copot dari tempatnya. Ayah berhenti sejenak sambil membungkuk dengan tangan bertumpu ke lutut, lalu mengembuskan napas setelah jaraknya dengan pintu hanya beberapa langkah lagi.

Semenit kemudian, tangan Ayah membuka pintu dengan keras. Apa yang dilihat di depan mata membuatnya melotot. Lantai dan tempat tidur Fazura sudah penuh dengan isi bantal yang pecah berhamburan. Bahkan, kepala dan tubuh kedua gadisnya pun tidak luput dari dakron. Benar-benar kacau saat itu.

"Kalian berdua apa-apaan, sih? Emang enggak bisa ya, tahan diri untuk tidak berantem? Gimana kalau Bunda tau? Kamu juga Fazura, udah jelas salah, bukannya minta maaf, malah ribut."

Alaina mencebik ke arah Fazura yang dibalas adiknya dengan pelototan.
Namun, Ayah tidak tinggal diam. Matanya beralih pada Alaina.

"Kamu juga, Kak. Kayak anak kecil. Kan bisa disabarin dulu."

Kali ini Fazura tertawa mengejek. Dia merasa Ayah mulai membelanya. Alaina merengut kesal. Kakinya dientakkan ke lantai. Rambutnya yang panjang berantakan. Begitu juga dengan adiknya.

Keadaan hening. Ayah menutup pintu pelan-pelan. Namun, Baru saja berbalik, tiba-tiba seseorang membuka pintu dengan cepat. Ayah yang tidak siap dengan keadaan itu langsung terdorong, lalu terhuyung beberapa langkah. Untung tertahan meja kecil. Sayang, jempolnya kembali mencium kaki meja.

Jantungnya terasa copot. Kena lagi! Apes sekali ya, nasib Ayah hari ini. Tak tahan, beliau menggigit bibir sambil memejamkan mata. Menikmati sakit yang menjalar hingga ke atas. Alaina dan Fazura tidak menyadari itu.

Di depan pintu, Bunda menatap dengan pandangan yang kaget. Kamar seperti kapal pecah. Alaina lengah, saat Bunda tiba-tiba menerobos masuk tadi. Kesempatan ini tidak disia-siakan Fazura yang langsung merebut earphone yang masih dalam genggaman kakaknya. Alaina mengepalkan tangan dengan marah, Fazura menjulurkan lidah.

"Ada apa, sih, kalian? Sore-sore kok berantem?" Suara Bunda terasa menggelegar di telinga Ayah. Laki-laki itu melirik ke arah Bunda.

"Ini, Bunda, Fazura. Dia minjemin kameraku sama Senja. Engga bilang-bilang lagi. Kamera itu 'kan enggak pernah aku pinjemin ke orang lain. Kita enggak tau, itu orang jorok engganya make barang." Alaina kembali terisak. Dia teringat betapa hati-hatinya merawat kamera mahal itu.

Bunda menggeleng-gelengkan kepala. Tangannya berkacak pinggang. Duh, wajah Bunda mulai angker. Fazura melipir menjauh ke dekat lemari pakaian. Pasti kultum sore dimulai lagi. Mesti siap-siap dengan omelan yang tidak bisa dibantah.

"Fazura! Benar apa yang dikatakan Kak Alaina?"

"Iya, cuma sehari doang, kok!"

"Kamu tahu 'kan, kalau kamera itu mau dipake Minggu depan?"

Fazura menatap Bunda lurus. "Tau, Bunda. Senja butuh cuma satu hari. Apa salahnya kasih minjem?"

"Pemilik kamera itu siapa?"

"Kak Alaina."

"Kamu bilang sama Senja enggak kalau kamera itu punya Kak Alaina dan mau dipake buat study tour?"

Fazura menggeleng lemah. Pandangannya beralih kepada Ayah untuk meminta bantuan, tetapi Ayah diam. Kalau Bunda sudah seperti itu, Ayah tidak bisa campur tangan. Alih-alih keadaan menjadi baik, yang ada Bunda akan berbicara panjang tanpa titik koma. Heran, banyak sekali kosakata yang dimilikinya. Seperti petasan yang beruntun tanpa henti. Ayah menunduk lemas.

Bunda menatap Ayah, lalu matanya mengarah ke bawah. Kali ini Bunda tertegun. Sedetik kemudian tersadar. "Alaina, ajak Ayah keluar! Siapin air hangat yang dikasih garem di baskom. Kakinya direndam di situ. Entar diobati kakinya tuh. Cantengan dipiara."

Alaina mengangguk lalu memapah Ayah yang mulai berani mengaduh kali ini. Sengaja, Ayah memasang wajah memelas supaya tidak kena semprot. Di hadapan Bunda, Ayah sering tidak berkutik jika menyangkut dua gadisnya. Tidak tega rasanya kalau harus berkata keras apalagi membentak. Di kantor bolehlah Ayah tegas dan berwibawa, ditakuti anak buahnya karena kedisiplinan. Namun, di rumah Bunda yang mengambil alih peran penentu aturan untuk Alaina dan Fazura.

Kini, di kamar hanya ada Bunda dan Fazura. Bunda memanggilnya untuk mendekat, menyuruh duduk di atas tempat tidur. Bunda sendiri menarik kursi belajar, lalu duduk di depan Fazura.

"Bunda mau tanya, kalau kamu punya barang yang sangat disayangi, terus diambil sama orang lain. Gimana perasaan kamu?"

"Senja tidak mengambil, dia pinjam sama aku, Bun," kilah Fazura.

"Apa kamu merasa punya hak memberikannya tanpa seizin pemilik aslinya?"

"Kan aku juga suka pake."

"Itu berbeda, Nak! Bagaimana pun cara kamu dengan niat baik sekalipun, itu tidak boleh. Kak Alaina dengan rela meperbolehkan barangnya kamu pake. Karena dia sayang kamu. Nah, kamu tidak boleh meminjamkan kepada orang lain kecuali ada izin dari pemilik barang. Nah, kamu bilang dulu enggak ke Kak Alaina sebelum ngasih sama Senja?"

"Enggak, Bun."

"Nah ini, yang bikin kakakmu marah besar."

"Pelit amat, sih. Kak Alaina-nya aja lebay dan pelit."

"Fazura!" bentak Bunda. "Enggak pantes bilang begitu. Bunda tidak suka cara kamu meremehkan sesuatu. Coba ingat, berapa kali kamu memakai barang kakakmu, apa kembali seperti semula? Apa kakakmu suka marah seperti tadi? Jawab Bunda!"

Fazura menatap perempuan berusia 42 tahun di depannya. Di balik kecantikan Bunda, tersirat ketegasan dan kasih sayang yang dia rasakan selama ini. Dalam hati, Fazura mengakui apa yang baru saja didengarnya. Hanya saja, dia tidak pernah peduli selama ini.

"Besok, sore kamu ke rumah Senja. Minta kamera itu. Tidak ada alasan lain. Bunda tidak mau mendengar tangisan kakakmu. Paham?"

"Tapi Bun, kenapa a--"

"Tak perlu membantah! Untuk besok, sebagai hukuman, kamu bangun pagi, bersihin bak kamar mandi dan nyapu ngepel. Enggak boleh minta bantuan Mbak Sari. Dia akan Bunda liburkan besok. No, no! Tidak ada tawar menawar. Ini pelajaran penting buat kamu agar tahu etika!"

Bunda menggoyangkan telunjuknya saat melihat Fazura membuka mulut hendak protes. Gadis itu cemberut. Bibirnya mengerucut. Bunda kemudian berdiri, lalu keluar dari kamar. Wah, Fazura kena batunya sekarang. Lihat! Dia sepertinya kesal, tidak terima perintah.

Tiba-tiba, mata Fazura berpendar. Dia mengulaskan senyuman di wajah. Jarinya dijentikkan. Besok, Fazura akan meminta bantuan seseorang. Pasti orang itu tidak akan bisa menolaknya. Fazura gitu lho!

-- To be continued--

HIDDEN SIGHT (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang