6. Demi Teman

24 4 1
                                    

Minggu, 11 November 2018
Pukul 17.07

Fazura mengacak rambut dengan kesal. Kesal pada dirinya yang tidak bisa menyelesaikan masalah. Sebenarnya dia bisa menjelaskan kepada Bunda dan Kak Alaina, tapi sudah terlanjur. Lagi pula, Senja sedang senang dengan kamera itu. Rasanya tidak tega untuk mengacaukan segalanya. Dia tahu persis apa yang sedang dihadapi sahabatnya.

Seperti yang diduganya, rumah Senja kosong. Menurut pembantu paruh waktu yang sempat dijumpai Fazura di depan gerbang saat mengunci pintu, Senja, Firza, dan kedua orang tuanya pergi sejak siang tadi. Mungkin mereka pulang nanti malam. Fazura bingung, apa yang harus dikatakan kepada Kak Alaina?

Sepanjang perjalanan pulang, ingatan Fazura melayang ke hari Jumat, dimana asal masalah bermula. Saat mereka sedang di sekolah. Seharian itu, Fazura, Senja, dan beberapa teman yang tergabung dalam ekstrakurikuler Fotografi mendapatkan tugas untuk mendokumentasikan kegiatan amal Jumat yang rutin dilaksanakan sebulan sekali. Santunan anak yatim, bazar murah, hingga talk show yang diadakan oleh sekolah. Kegiatan itu sukses berjalan hingga sore menjelang.

Selesai makan nasi kotak yang disediakan panitia, Fazura mengajak Senja duduk di taman sambil melihat-lihat hasil jepretan kamera Fazura. Suasana sekolah mulai lengang. Yang masih ada di sana panitia dan anggota OSIS saja. Beberapa tukang sedang membongkar tenda dan juga peralatan panggung.

"Yang ini kayaknya kurang oke deh, Fazura. Nanggung gitu. Mestinya elu bikin full shot. Masa cuma sampai betis doang. Kalau mau, tadi lu bikin mid shot. Setengah badan. Ketua OSIS cakep gini jadi jelek." Mata Senja mengamati satu persatu foto di galeri kamera.

"Yang mana? Coba gue lihat."

"Nih."

Pandangan Fazura mengarah ke kamera, lalu menggeleng. Tak lama kemudian dia menoleh ke arah anak lelaki tinggi yang sedang duduk tak jauh dari mereka. Dia tengah asyik menikmati boba drink yang dibelinya di kantin.

"Kayaknya bukan gue deh yang motret. Gue di bagian acara yang santunan anak yatim. Bahrain, ini yang motret elu, kan?"

Anak yang dipanggil Bahrain menoleh. Dia mendekati Fazura dan Senja. "Iya, itu gue yang ambil. Elu belum lihat foto lain lagi ya, Ja? Ada, kok, gue ganti sama yang full shot. Hapus aja itu." Anak yang dipanggil Bahrain duduk di samping Fazura.

"Faz, elu liburan empat hari ini mau kemana? Gue belum ada rencana apa pun," tanya Bahrain.

Hanya Bahrain yang memanggil Fazura dengan panggilan Faz. Gadis itu menggeleng. Teringat surat pemberitahuan libur sekolah terhitung Senin sampai Kamis karena gedung sekolah akan dipakai untuk kegiatan guru-guru nasional se-Indonesia. Menurut Pak Harnoto, kepala sekolah, SMP Duta Bangsa memiliki sarana dan prasarana yang sangat lengkap dan bagus. Wih, tentu saja, sekolah swasta tempat Fazura belajar merupakan salah satu sekolah swasta bonafide dan cukup terkenal di bilangan Jakarta Timur.

Di kawasan ini pula ada tempat pacuan kuda bertaraf internasional, dekat dengan kampus negeri dan swasta favorit, belum mall yang menyediakan kebutuhan harian hingga barang-barang mewah, dan yang tak kalah penting, di sini ada kompleks menengah ke atas di mana keluarga Fazura tinggal.

Fazura menghela napas, dia memandang ke sekeliling area taman dan bangunan sekolah, beberapa bulan lagi, dia akan meninggalkan sekolah kenangan setelah sembilan tahun menuntut ilmu di sini. Ya, sejak SD hingga SMP Fazura dan Alaina bersekolah di sini. Untuk jenjang SMA, yayasan belum membukanya.

"Faz, lu ngelamunin apa?"

Pertanyaan Bahrain mengembalikan kesadaran gadis bertopi baseball itu. "Gue lagi ngelamunin tentang sekolah kita ini, Rain. Beberapa bulan lagi, kita bakalan keluar. Gue belum ada bayangan mau lanjut ke mana. Ke SMA Negeri favorit yang ada di ujung jalan situ, atau ambil swasta yang ada di Rawamangun kayak Kak Alaina."

Bahrain melirik gadis tomboy itu. Hanya Fazura yang memanggilnya Rain ... dan dia sangat suka. Nama Bahrain Maliqi memang terasa kental bernuansa Arab, seperti keluarga Abah dan maminya. Bahrain memang keturunan Timur Tengah. Tubuh tinggi, kulit putih, mata yang tajam dan menjorok ke dalam, dibingkai alis hitam tebal. Belum lagi hidungnya yang ramping dan tinggi. Siapa pun akan mudah mengenal asal keluarga anak remaja laki-laki itu.

"Terus, liburan rencananya gimana?" Bahrain mengulang pertanyaan.

"Eggak tau, belum ada bayangan. Lagian nanggung juga. Cuma gue punya mimpi, sesekali ingin mengunjungi tempat yang belum pernah gue datengin. Tapi bukan luar negeri atau tempat-tempat yang terlihat menyenangkan aja. Gue mau semacam petulangan ke negeri dongeng atau darkland gitu. Enggak perlu ajak Ayah, Bunda, apalagi Kak Alaina." Mata Fazura menerawang.

"Jangan banyak ngehayal deh, Fazura Sayang. Enggak enak berjauhan sama ortu. Elu sih beruntung. Bisa kumpul bareng keluarga tiap minggu, Ayah sama Bunda lu perhatian. Sama kayak Abah dan maminya Bahrain. Biar kata Abah itu galak bin tegas, tapi dia selalu ada buat anak-anaknya. Enggak kayak gue." Senja menatap sendu keduanya.

Senja Alodia, gadis cantik bermata bulat itu menggigit bibir, tanda keresahan hatinya kembali mencuat. Fazura merangkul sahabatnya dan mengatakan segalanya akan baik-baik saja. Fazura mengerti, keadaan rumah tangga orang tua Senja tengah di ambang perpisahan.

Papanya Senja jarang pulang, walaupun semua kebutuhan Senja dan Firza terpenuhi. Bahkan, pernah beberapa kali Senja memergoki papanya berduaan dengan seorang perempuan muda di sebuah pusat perbelanjaan. Mungkin itu istri mudanya atau pacar.

Mama Senja yang memiliki usaha katering sepertinya sudah tahu, tetapi hanya bisa pasrah dan menerima keadaan. Bukan tidak mau berontak, hanya saja, mamanya Senja tidak ingin ribut dan berharap rumah tangganya utuh demi masa depan anak-anak. Itu yang Senja katakan beberapa waktu yang lalu sambil menangis.

Hanya Fazura dan Bahrain tempatnya bercerita selama ini. Tidak ada yang tahu, termasuk keluarga besar mamanya Senja. Bahkan, Bahrain pernah mengantar Senja yang nekat ke kantor papanya agar bisa bertemu setelah dua minggu tidak ada di rumah. Walaupun, tidak langsung hari itu datang, tetapi dua hari kemudian, papanya Senja pulang juga.

Tiba-tiba ponsel di saku baju Senja berdering. Gadis itu langsung menerima panggilan setelah tahu siapa yang menelepon. Tak lama kemudian, wajahnya berseri-seri. Fazura dan Bahrain memperhatikan. Sepuluh menit berlalu, percakapan itu selesai. Senja mengusap air matanya yang sempat berkaca-kaca.

"Fazura, Bahrain, tadi Mama telepon. Katanya Papa tiba-tiba mengajak Mama makan malam di Restoran Grand Kanura nanti hari Minggu. Katanya lagi ... Papa rindu ngumpul bareng berempat. Oh iya, Minggu ini kan, ulang tahun Mama yang ke-43. Ya ampun, mimpi apa aku semalam. Semoga ini langkah awal keutuhan keluarga gue." Senja menangkupkan tangan di depan dada, wajahnya semringah.

Fazura memeluk Senja dengan erat. Dia ikut bahagia mendengar kabar itu. Bahrain mengacungkan jempol sambil tersenyum. Mereka larut dan saling berpegangan satu sama lain. Ah, memang hidupnya penuh dengan kejutan-kejutan manis.

"Fazura, gue boleh pinjam kamera lu? Gue ada kamera, tapi enggak sebagus punya lu ini. Gue mau pake buat mengabadikan momen saat Papa duduk dan memeluk Mama. Gue pengen, di hari yang sakral ini, Mama gue bahagia. Jadi kenangan indah. Ada pelangi setelah badai menerpa." Mata Senja menatap sahabatnya.

"Ambil, pakai aja. Elu abadikan semua momen penting itu. Biar jadi kenangan manis buat keluarga lu. Semoga Papa lu kembali lagi pulang dan selalu ada untuk Mama, elu, dan Firza.'"

"Makasih ya, Fazura. Elu memang sahabat gue yang baik. Bahrain juga. Kalian selalu ada buat gue." Buliran bening mengalir dari mata Senja. Fazura mengusapnya perlahan, lalu ditepuknya punggung gadis berambut sebahu itu.

Tiba-tiba terdengar suara klakson yang sangat kencang dari arah depan. Fazura terperanjat dari lamunan. Sedetik kemudian, dia menyadari jika motor matik yang dikendarainya sudah berjalan di garis putih jalanan yang memisahkan dua arah berlawanan. Secepat kilat, dia kembali ke jalurnya. Beruntung, Fazura menguasai keadaan walaupun wajahnya memucat dengan dada berdetak cepat. Peluh membasahi kening dan tubuhnya gemetar. Hampir saja, karena melamun, nyawanya nyaris melayang. Fazura mengelus dada. Bersyukur bisa terhindar dari kecelakaan. Entah bagaimana jika itu terjadi. Fazura bergidik.

Gadis itu menyadari, satu belokan lagi, dia akan segera sampai di rumahnya. Biarlah, Bunda dan Kak Alaina nanti marah. Dia sudah pasrah. Toh ada alasan yang kuat.

-- To be continued --











































HIDDEN SIGHT (On Going)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon